Senin, 14 Mei 2012

Pendekatan Militer Akan Menuai Hasil Buruk di Tanah Papua

Yan Christian Warinussy, Direktur LP3BH Manokwari, Papua Barat (Foto: Ist)
PAPUAN, Jakarta --- Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI]) adalah sebuah integrasi politik, dan bukan integrasi budaya atau sosial.

Oleh sebab itu, tekanan yang dibuat dalam konteks integrasi politik tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan yang cenderung bertujuan menghapus kebudayaan utama dari kelompok minoritas, yaitu Orang Asli Papua (OAP).
“OAP sebagai kelompok minoritas selanjutnya dipaksakan untuk menerima kebudayaan dari kelompok dominan melalui asimilasi.”

Demikian penegasan Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, dalam siaran pers yang dikirimkan ke redaksi
 suarapapua.com, Sabtu (12/5). 

Menurut Warinussy, bukti konkritnya ketika pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatan militer untuk melakukan tekanan terhadap OAP agar tidak bisa bebas menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hak asasinya yang sudah diatur di dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
 (the Universal Declaration of Human Rights).

Karena itu, apabila ada orang Indonesia lain atau ahli sejarah atau pejabat publik di daerah ini yang mengatakan bahwa Papua dan Indonesia adalah saudara atau memiliki kesamaan budaya, maka itu adalah bohong besar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, sejarah maupun hukum.
 

”Dalam sejarah perjalanan OAP yang bisa disebut sebagai sebuah bangsa, mereka tidak memiliki kesamaan tertentu dengan Indonesia, baik dari aspek historis, kesamaan simbol, perasaan subyektif yang bersama,” ujar Warinussy yang juga salah satu pengacara senior di tanah Papua.
 

Warinussy justru berharap agar para pengamat dan penjabat daerah yang tidak paham tentang persoalan Papua untuk membaca buku karya Ibaraham Peyon, salah satu dosen Antropologii di Universitas Indonesia dengan judul "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat".

Dikatakan juga, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan-pendekatan dengan hati dan komunikasi secara baik dengan pihak yang dipaksakan berintegrasi, seperti halnya OAP.
 

Menurut pengacara senior ini, karena perilaku Pemerintah Indonesia yang senantiasa suka mengedepankan pendekatan kekerasan militer dan barbarisme politik, pada gilirannya akan menuai hasil buruk akibat jatuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan sikap kuat untuk menuntut kesempatan yang adil dalam menentukan nasib sendiri berdasarkan mekanisme hukum internasional yang berlaku.

Dalam siaran pers tersebut, Warinussy juga ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa fakta hukum telah membuktikan bahwa dalam penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas (Act Of Free Choice) yang oleh Indonesia disebut sebagai Penenetuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Tanah Papua pada tahun 1969 nyata-nyata tidak menerapkan mekanisme yang resmi sesuai dengan praktek internasional dalam Perjanjian New York (New York Agreement) tanggal 15 Agustus 1962, yaitu
 one man one vote atau satu orang satu suara. 

”Pemerintah Jakarta justru merekayasa secara sistematis dan terencana penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas itu dengan sistem musyawarah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, bahkan fakta yang ada membuktikan jika musyawarah tersebut telah dibarengi dengan kekerasan fisik dan intimidasi psikis yang serius bahkan ada sejumlah tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diduga melibatkan aparat TNI dan POLRI ketika itu dalam rangka memenangkan PEPERA 1969 tersebut.”

Karenanya, menurut Warinussy wajar jika OAP terus memberontak karena merasa harga dirinya dan hak asasinya sama sekali tidak dihormati oleh Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB}.
Ini karena OAP tidak pernah terlibat bahkan tidak pernah dilibatkan ketika terjadi perundingan-perundingan mengenasi status politik dan nasib mereka sebagais ebuah komunitas bangsa yang juga ada di muka bumi ini sejak purbakala. 

“Orang Papua sebagai subjek yang disengketakan dalam hal itu tidak pernah dilibatkan untuk berbicara mengenai bagaimana keinginan mereka atas dirinya sendiri,” kata Warinussy yang juga pernah bertindak sebagai pengacara Forkorus Yaboisembut Cs.
 

Perlu diingat juga, bahwa walapun PEPERA 1969 menentukan Papua menjadi bagian integral dari Republik Indonesia, tetapi itu belum final di tingkat internasional, khususnya di PBB.
Kenapa demikian, kata dia, karena di dalam Resolusi PBB Nomor 2504 yang selama ini dikatakan termasuk oleh Gubernur Papua Barat saat ini sebagai justifikasi bahwa Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai adalah bohong besar.
"Karena di dalam Resolusi tersebut tidak sedikitpun memberi penjelasan tentang Status Politik Papua Barat yang ketika itu disebut sebagai Irian Barat."

Di dalam Resolusi 2504 tersebut, PBB sama sekali tidak secara tegas mengakui dan mengesahkan Act of Free Choice atau PEPERA di Papua Barat tahun 1969.
Di dalam Resolusi tersebut,hanya disebutkan bahwa PBB mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal dan memahami dengan penghargaan atas pelaksanaan tugas Sekretaris Jenderal dan wakilnya sesuai tugas yang dipercayakan kepada mereka dan sesuai Perjanjian New York 1962.
Serta juga dicatat tentang penghargaan PBB atas misi bantuan internasional melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga PBB dan missi lainnya kepada Indonesia untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat.

Tidak ada komentar:

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...