Minggu, 12 Mei 2013

KANTOR OPM DI OXFORD DAN REAKSI PEMERINTAH INDONESIA

Oleh: Socratez Sofyan Yoman
Socratez Sofyan Yoman
Kita semua ikuti reaksi pemerintah dari berbagai media massa di Indonesia yang  berhubungan dengan pembukaan kantor OPM pada  28 April 2013 di Oxford. Pembukaan ini dihadiri  anggota Parlemen Inggris sebagai Koordinator Parlemen Internasional untuk Kemerdekaan Papua Barat (IPWP) Andrew Smith, Wali Kota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, mantan Wali Kota Oxford Elise Benjamin,  dan Jeniffer Robinson, Charles Foster dari  pembela dan penasihat hukum Internasional untuk Papua Barat Merdeka dan seorang pemain Rugby Nasional Papua New Guinea Paul Aiton.
Reaksi Pemerintah Indonesia
Reaksi Pemerintah Indonesia pada waktu Pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP)pada 15 Oktober 2008, di kantor Parlemen Inggris di London   dan  pembukaan kantor OPM di Oxford  28 April 2013 sangat berbeda. Reaksi pemerintah menyikapi peristiwa pembentukan IPWP lima tahun yang lalu seperti yang pernah disampaikan menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wiradjuda : “ kegiatan di London itu hanya kongkow-kongkow saja karena dihadiri oleh tiga orang anggota Parlemen Inggris dari semua yang diundang”. Peristiwa pembentukan IPWP itu dianggap remeh dan tidak ada dampak politik secara luas.
Sebalilknya, pembukaan Kantor OPM di Oxford tahun ini, pemerintah Indonesia memberikan reaksi keras kepada Pemerintah Inggris Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa  memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning untuk diminta penjelasan dan pertanggungjawaban.  Mark Canning menyampaikan posisi Pemerintah Inggris adalah tetap mendukung keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Papua.
Dinilai  dari bobot reaksi Pemerintah Indonesia seperti ini sangat memalukan kita semua.  Pemerintah Indonesia menjadi negara  paranoid. Pemerintah Indonesia diselimuti dengan rasa ketakutan yang sangat luar biasa dan berlebihan. Kalau pemerintah Indonesia paranoid-nya sudah berlebihan, patut dipertanyakan Apa yang dilakukan dan disembunyikan pemerintah  Indonesia terhadap rakyat Papua selama 50 tahun? Mengapa pemerintah tidak mengijinkan wartawan asing masuk Papua?
Pemerintah Indonesia harus menyadari dan mengakui kejahatan yang dilakukan dan kegagalan selama  50 tahun di Papua.  Sangat memalukan, pemerintah Indonesia  menyerang pemerintah Inggris dan Negara-negara lain yang simpati dan mendukung rakyat Papua untuk  penegakkan hak asasi manusia dan demokrasi sebagai pilar dan nilai universal.  Pembukaan kantor OPM di Oxford adalah hak politik rakyat dan bangsa Papua yang diperjuangkan selama 50 tahun. 
Respons  Rakyat Papua
Sementara reaksi rakyat Papua terhadap pembukaan kantor OPM di Oxford adalah disambut dengan penuh sukacita di seluruh Tanah Papua. Rakyat Papua melihat dan menilai bahwa pembukaan kantor OPM di Oxford merupakan cahaya kecil kemenangan dan harapan  yang diraih oleh rakyat Papua yang sudah diperjuangkan dan dinantikan selama 50 tahun dengan cucuran darah dan tetesan air mata. 
Menurut  rakyat Papua, walupun Pemerintah Inggris  dan Negara-negara lain di dunia internasional tidak mendukung perjuangan Papua Merdeka dan mereka tetap mendukung Indonesia, rakyat Papua sudah sadar, bahwa yang berjuang untuk bebas dan berdaulat penuh di atas tanah leluhurnya adalah rakyat Papua  bukan pemerintah Inggris dan negara-negara asing. Walaupun, rakyat Papua sangat membutuhkan dukungan Negara asing.  
Dalam semangat ini, rakyat Papua sudah merasa mendapat beberapa   keuntungan  dari pembukaan kantor OPM di Oxford adalah (1) persoalan Papua sudah menjadi masalah nasional dan  internasional. Sudah tidak lagi rahasia umum.  (2) Reaksi keras dan berlebihan Pemerintah Indonesia dapat memperkuat dan membuka mata komunitas internasional tentang masalah Papua yang selama ini ditutup-tutupi. (3) Sekarang Rakyat Papua sudah menyadari bahwa dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat demi masa depan mereka dan anak cucu  yang lebih baik dan damai tidak sendirian.  (4) Diplomasi pemerintah Indonesia yang berbasis pada  kebohongan-kebohongan selama ini  tidak berhasil meyakinkan komunitas internasional.  (5) Rakyat Papua yakin bahwa dunia sekarang semakin mengglobal dan masalah Papua yang disembunyikan selama ini sudah tidak lagi menjadi rahasia.  (6) Rakyat Papua semakin mendapat kepercayaan bahwa perjuangan melawan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia harus dilawan dengan cara-cara elegan bermartabat dan manusiawi, yaitu: lobby dan diplomasi di tingkat nasional dan internasional dengan menyampaikan bukti-bukti kejahatan dan kegagalan pemerintah Republik Indonesia atas Papua selama 50 tahun.
Reaksi PBB
Menanggapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia atas Papua,  Komisioner HAM PBB Ibu Navi Pillay   di Genewa pada 2 Mei 2013 menyampaikan kekecewaannya atas kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil Papua.  Pillay menyatakan ada banyak tanahan politik di Papua, tidak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul rakyat Papua.  “Setelah kunjungan resmi saya ke Indonesia bulan November tahun lalu, saya  kecewa atas kekerasan dan penyelahgunaan kekuasaan terus berlangsung di Papua.  Tidak ada pertanggungjawaban  terbuka terhadap kekerasan yang terjadi di Papua. Saya mendesak Indonesia untuk mengijinkan wartawan asing  masuk Papua dan difasilitasi pelapor Khusus Dewan HAM PBB”. (Sumber: Jakarta Globe, Saturday May 4, 2013, hal.8) 
Pembukaan kantor OPM di Oxport tidak terlepas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Dalam penegakkan HAM dan demokrasi, pemerintah di Indonesia mendapat raport merah dan  rekor terburuk dalam laporan PBB.  Penilain ini terbukti dengan tekanan dari Negara-negara anggota PBB( Amerika Serikat, Inggris, Swiss, Kanada, Norwegia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Jerman, Meksiko, Selandia Baru, Australia, Spanyol  dan Italia) dalam Sidang HAM PBB (UPR)  23 Mei 2012 di Genewa, Swiss.
Rekomendasi dari Negara-negara anggota PBB  ini belum dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Indonesia meningkatkan kekerasan dan kejahatan Negara atas rakyat Papua belakangan ini.    Tekanan dari PBB dan masyarakat Internasional itu sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah Indonesia dengan sungguh-sungguh membangun Papua sejak Papua dianeksasi ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa politik melalui PEPERA 1969
Kita patut pertanyakan sekarang setelah 50 tahun Papua dalam Indonesia.  Apakah  orang Papua sudah dimajukan dan berkembang dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan? Apakah pemerintah menghormati dan melindungi martabat dan hak-hak asasi orang Papua?  Bagaimana rakyat Papua sangat miskin di atas tanah dan sumber daya alam yang kaya? Apakah tidak ada tahanan politik di Papua? Mengapa Filep Karma dan Forkorus dan kawan-kawan sebagai tanahan politik tidak dibebaskan? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas kejahatan dan pelanggaran HAM selama 50 tahun dan pembunuhan 3 orang di Sorong Papua tanggal 1 Mei 2013? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap 2.200 anak Kristen Papua  yang dibawa ke Jawa Barat dan dididik dalam Pesantren dan di-Islam-kan yang selidiki oleh wartawan Michael Bacheland dimuat dalam laporan majalah The Sydney Morning Herald? 
Sebenarnya, ada kesempatan baik bagi  pemerintah Indonesia untuk memperbaiki rekor terburuk,  pemerintah dan sebagian orang terdidik Papua merancang UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan  DPR RI,  Pemerintah  dan didukung negara-negara asing. Ternyata Otonomi Khusus yang menjadi jalan tengah penyelesaian masalah Papua yang berprospek damai dan bermartabat itu telah gagal dan menjadi malapetaka terhadap rakyat Papua.  Otsus telah gagal, Pemerintah Indonesia menggantikan UP4B tanpa diminta pendapat rakyat Papua. Tapi sayang, UP4B  itu juga telah gagal dilaksanakan. Sekarang Pemerintah Indonesia sudah menyatakan Otsus Plus. Apa yang terjadi ke depan kalau pemerintah Indonesia terus-menerus berbohong dengan rakyat Papua?  
Kenyataan ini membuktikan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua telah gagal melindungi dan mengindonesiakan penduduk orang asli Papua. Keprihatinan ini sudah  disampaikan oleh orang Papua dalam (a) 11 rekomendasi Musyawarah Majelis Rakyat Papua Dan Masyarakat Asli Papua pada 9-10 Juni 2010; (b) Komunike bersama pimpinan  Gereja pada 10 Januari 2011; (c) Deklarasi teologi para pemimpin Gereja 26 Januari 2011;  dan (d) pesan profetis Pimpinan Gereja Papua kepada Presiden RI, 16 Desember 2011 di Cikeas, Jakarta.
Solusi yang diusulkan
1.         Dialog  damai, jujur dan setara tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral antara wakil-wakil rakyat Papua yang sudah dipilih dan ditetapkan seperti:  Rex Rumakiek di Australia, Otto Ondowame di Vanuatu, Benny Wenda di Inggris, Leoni Tanggahma di Belanda dan Otto Mote di Amerika) dan wakil Pemerintah Indonesia. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga yang netral karena persoalan Papua adalah masalah yang berdimensi internasional karena ada keterlibatan langsung PBB, Amerika dan Belanda. 
2.         Rakyat dan bangsa Papua diberikan kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri  (Self-Determination) dengan komitmen-komitmen politik, keamanan, dan ekonomi antara Papua dan Indonesia. Usulan ini sepertinya dianggap ekstrim Namun demikian, menurut saya usulan ini sangat relevan sesuai realitas dan tuntutan rakyat Papua selama ini karena  Pemerintah Indonesia sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat Papua.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Tidak ada komentar:

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...