Tampilkan postingan dengan label suara baptis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suara baptis. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Maret 2016

Lidia Tabuni: Kami Ini Panggilan Atau Paksaan

Badan Pelayan Pusat-Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP), melalui Departemen Wanita, salah satu program prioritas yang di lakukan adalah membagikan pelajaran bahan khotbah kepada seluruh anggota Persekutuan Wanita di tingkat Wilayah sampai ke jemat- jemat lokal.
Persekutuan Wanita (PW), Baptis wilayah Nabire pada minggu 13/3 setiap mimbar gereja diambil alih oleh Kaum Wanita.
Ny.Lidia Y Tabuni.S.AB.Sedang memandu acara
 dalam suatu kegiatan Rohani di Nabire.
Berkaitan dengan itu salah satu kader Wanita Baptis Lidia Tabuni,S.AB, diberikan tugas oleh Ketua untuk menyampaikan firman/khotbah di gereja baptis Kimi Waharia Nabire.
Sebelum menyampaikan Firman Tuhan/khotbah Lidia mengatakan “Yesus memilih murid-muridnya tidak dilihat dari latar belakang pendidikan teologi, keahlian,pendeta atau gembala tapi Yesus memilih murid-muridnya sesuai dengan ketekunan, keseriusan dan keteladanan mereka.”
Saat ini saya bukan seorang yang berlatar belakang pendidikan teologi,pendeta/vikaris tapi saya seorang yang berlatar belakang sarjana administrasi bisnis, sehingga sangatlah berbedah, namun karena landasan yang sudah dirintis oleh Yesus sehingga hari ini saya berdiri diatas mimbar ini untuk berkotbah;tuturnya
Pelajaran yang di tetapkan Departemen Wanita sebagai referensi Al-kitab Matius 7:24-27,1.Korintus 3:1, Yesaya 28:16,dan kolose 2:7 dengn Tema: “Ap mbere den O kambonegwarak wone” dua orang mendirikan rumah; kata Lidia.
Penjelasannya ada dua pokok penting yang menjadi dasar yaitu. “Orang yang bijaksana” dan “Orang yang bodoh”.
Orang yang Bijaksana.
Sebelum mengulas lebih dalam Lidia memberikan contoh. “Setiap anak sekolah, kalau anak tersebut belajar dengan sunggu-sunggu maka ia akan mendapatkan nilai yang bagus, tapi kalau tidak pernah belajar malas-malas maka ketika ujian dia jelas mendapatkan nilai yang jelek.”
Mengutip (Matius 7:24-25) Kalau manusia yang bijaksana maka setiap setiap kali ia mau mendirikan rumah terlebi dahulu survei tempat, lalu meletakan fondasi yang kuat (Batu, Pasir bercampur semen) lalu ia membangun, maka rumah itu tetap berdiri kokoh walaupun ada badai,angin, hujan dan banjir;tuturnya.
Yesus memberikan suatu perumpamaan terhadap bangunan, benda mati yang bisa di lakukan dengan akal manusia, tapi hari ini mengingatkan kita bahwa hidup ini sama dengan dasar kuat atau tidak. Karena menurut rasul Paulus ketika itu menyampaikan kepada jemaat di Korintus 3:11 “Karena tidak seorang pun yang dapat meletakan dasar lain daripada dasar yang diletakan yaitu Yesus Kristus.”
Bagaimana kita dapat menterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, apakah ini panggilan atau paksaan dalam pelayanan gereja?; tanyanya.
Setiap orang yang bersedia bekerja didalam pelayanan, menjadi hamba Tuhan itu tidaklah gampang, disana ada banyak tantangan, godaan, bahkan ujian sehingga bagaimana kita kendalikan semua itu;sambungnya.

Orang Yang Bodoh.
Mengutip (Matius 7:26-27), menyebutkan bahwa “Tetapi setiap orang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya ia sama dengan orang bodoh yang mendirikan rumahya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir lalu angin melandah rumah itu, sehingga rubulah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”
Sudah sangat jelas dalam ayat ini ungkap Lidia, hal tersebut sama dengan manusia yang hidup dalam hati yang ombang ambing, pendirian yang tidak jelas ibarat “ air diatas daun talas”.
Ibu yag juga istrinya bapak Kilion Wenda ini menuturkan “manusia mempunyai kelemahan dan kelebihan dari segi jasmani, tapi hal ini lebih menekankan pada kehidupan rohani.”
Kesimpulan “Bangunan adalah diri kita sendiri, sehingga apakah kita hidup sebagai orang yang bijaksana atau orang yang bodoh, sebagai manusia yang sempurna marilah kita melihat kiri dan kanan dengan mata rohani kita.”ajaknya.
Dasar Al-kitab “hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, dan hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur Kolose 2:7.”
Sementara bapak Yally Kogoya yang juga salah pengurus wilayah gereja Baptis Nabire dan juga pendiri Yayasan Baptis Nabire ini mengatakan, “saya sangat diberkati dan sangat terharu atas khotbah ini karena benar-benar menegur kita.”
Kami sangat mengharapkan bahwa adik sebagai generasi wanita Baptis Papua terus meningkatkan pelayanan untuk Gereja dan masyarakat kedepan; sambungnya.
Apresiasi yang sama diuangkapkan oleh Gembala Sidang Gereja Baptis Kimi Waharia, Ev.Palitinus Wenda, Dip.Th, saya juga terharu dengan satu kalimat pertanyaan yang diungkapkan oleh Lidia bahwa “kami datang karena panggilan atau paksaan?” saya merefleksikan perjalanan dalam pelayanan, sehingga saya terharu dan sangat diberkati atas khotbah ini.
Serupa juga keluar dari mulutnya mama Anggi dan Bapak Obeth Yigibalom, bahwa hari memang harinya ibu-ibu PW, sehingga kami sangat diberkati oleh firman yang di sampaikan oleh anak perempuan ini, kami berharap maju terus sesuai dengan kemampuan yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Artikel ini sudah dipublikasih oleh:www.suarabaptispapua.org

Rabu, 25 Februari 2015

Penerjemah Alkitab Dari Bahasa Indonesia ke bahasa Lanny, Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th Tutup Usia.

alm Pdt.Yunus Kogoya Dip.Th
Penasihat Badan Pelayan pusat-Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP)  Pendeta Yunus Kogoya Dip.Th Meninggal Dunia, Sabtu (/20/2/15), sekitar Pukul 05:00 dini hari  waktu papua di Rumah Sakit Umum Dian Harapan (RUSDH) Jayapura,Papua.
Menurut keterangan Rekanya Joni Kogoya, korban sebelumnya  sakit Paru- paru sejak lama ketika  berada di Suka Bumi Jawa Barat,namun menurutnya  sesudah tahun 2002 pulang ke papua, sering mengalami sakit- sakitan dengan  Sakit paru- parunya.
Sebelum Almarhum diantar oleh keluarga di rumah sakit, dirinya yang sakit lebih dulu sehingga,Almarhum pendeta Yunus  mendoakanNya;ungkap Joni.
Dia (almarhum) sering melalaikan perintah dokter, bahkan obat yang di berikan oleh dokter jarang minum, dia  lebih banyak menghabiskan waktu duduk di depan  layar komputer,untuk menyelesaikan buku- buku rohani dalam bahasa lani; ungkap  salah satu Badan pelayan di gereja Baptis Bahtra Ramoho Sentani Jayapura.
Alm.Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th. dikebumikan pada Minggu 22, Maret 2015 di Pekuburan umum Kemiri Sentani Papua.
Sebelumnya Alm.Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th, menyampaikan pada puncak peringatan  hari Hut Badan pelayan pusat-Persekuruan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP) 14 desember 2014 di Jayapura, bahwa, dirinya sudah selesai mengerjakan tugas yang di berikan oleh Tuhan Allah,
“Sejak saya umur 13 tahun sampai sekarang jadi,  tahun 2015, itu waktunya untuk saya harus beristirahat, kalau Tuhan masih berikan kesempatan untuk saya harus melayani, saya akan siap melayani, tapi kalau, Tuhan panggil saya untuk  harus beristirahat maka, saya akan istirahat”
Auto biografi .
Pdt.Yunus Kogoya, Dip.Th   Lahir di Nggoyagame,Distrik Pirime Kab Lani Jaya 15 April 1949, semenjak 12 Tahun, tepatnya pada tahun 1957-1960 misionaris “Tuan Larson” membawa injil Masuk di Ilaga.
Sedangkan  pada tanggal 28 Oktober, 1956 Missi ABMS sekarang GIA “Tuan Norman Drarpet,Tuan Hein Noordyk, dan Ian Gruber menginjak kaki di Tiom.
Sejak saat itu  Yunus Kogoya belum memakai Koteka ( belum berbusana), tepatnya pada tahun 1961,memakai koteka Pakaian adat orang Lani.
Tahun 1963, Ia belajar Sekolah dasr (Buta Huruf) di Pirime,
Tahun 1964 ia melanjutkan sekolah dasar di di Tiom
Tanggal 12 Desember 1965, Ia di Baptis secara ( menyelam), oleh Gembala Wurupanggup kogoya di Kuwogwe Tiom.
Tahun 1966, Yunus Kogoya, dipilih untuk belajar  Bahasa indonesia  di Tiom,dan Mengenakan Pakaian ( Celana dan Baju), sebelumnya Pakai koteka.
Tahun 1967, Ia dipilih sebagai Guru injil bersama gembala Nawimban kogoya di utus ke Kwiyawagi.
Tahun 1968, ia Kembali  dari Kwiyawagi Ke Pirime untuk menjadi Guru sekolah minggu di Nambume, sampai  tahun 1969.
25 Desember 1969, seluruh Anggota Jemaat Gereja Baptis Nambume, secara aklamasi Yunus Kogoya di pilih menjadi Gembala sidang, ia melayani selama lima tahun
Tahun 1971, saat itu Yunus Kogoya berumur 21 tahun, bertunangan dengan Dortea wakerkwa, Ia Menikah  tepat pada  6 Agustus 1971, di  Gereja Baptis Kulok Enggame. Tepatnya pada  10 Desember 1972 Yunus Kogoya dan Dortea wakerkwa di karuniai  satu anak, Yuratinus Kogoya.
Pada Bulan desember 1972 melalui sebuah konferensi gereja, Yunus Kogoya di tamatkan, dari sekolah Alkitab oleh Guru Tuan Noel Melzer.
Tahun 1973  Yunus Kogoya dipindahkan dari Nambume ke gereja Baptis Yiwaktogu, sementara sebagai gembala di gereja Yiwaktogu, ia masuk Kelas VI, SD YPPGI Kuopaga, sesudah tamat SD, Yunus Melanjudkan SMP di Tiom.
Tahun 1976, ia tamat SMP di Tiom, selanjudnya Yunus Kogoya dipindahkan sebagai gembala dari yiwaktogu ke Wulume.
Tahun 1977, Yunus di panggil oleh Misi Tuan  Magi Rod Bensly, untuk menjadi tenaga pengajar pada Sekolah Alkitab Bahasa Lanny, sekaligus di tugaskan sebagai Gembala sidang Magi-NggetPaga, selama 1 Tahun.
 Tahun 1978, Yunus Kogoya di kirim  sebagai Gembala di gereja Baptis Kondena.
Tahun 1980.Yunus Kogoya  diberhentikan sementara (Siasat) oleh pengurus Gereja karena terjadi perang suku di Pirime.
Tahun 1981.Yunus Kogya  diaktifkan kembali (cabut Siasat), untuk menjadi Gembala,  ia dipanggil oleh salah satu guru Peter Barclay untuk belajar Sekolah Alkitab Bahasa Indonesia di Tiom, selain ia belajar,juga sebagai gembala di gereja Baptis Ngguripaga selama tahun 1982-1983.
Tahun 1983 Yunus Kogoya dikirim  ke gereja Baptis Ongge’me, selama di sana tepat pada 6 September 1984 Yunus Dikaruniai  satu anak Rina Kogoya.
Tahun 1985. Yunus kogoya diutus untuk melanjudkan pada Sekolah Tinggi Teologi Baptis (STT Baptis) di Kota Raja, Jayapura.
Tahun 1990 Yunus Kogoya Tamat dari STT Baptis Kotaraja Jayapura, di berikan Gelar Diploma (Dip.Th)
Tahun 1990. Yunus Kogoya bersama Tuan  Gardon Larsonpergi ke Ilaga selama dua bulan.
Tahun 1991, Yunus Kogoya Dip.Th di panggil oleh  Tuan Wesley Dale untuk pergi ke Kanggime selama 6 bulan untuk menterjemahkan Alkitab perjanjian baru dalam  Bahasa Lani. Nanu satu  tantangan yang dia hadapi, setelah Tuan Wesly Dale sudah habis Visa, sehingga Yunus Kogoya kembali Ke Pirime, lalu ia sendiri melanjudkan pekerjaan sebagai menterjemahkan Alkitab dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Lani.
Tahun 1993, tepatnya pada tanggal 3 Agustus, Yunus Kogoya Dip.Th bersama, Rekannya Elaby bersama Keluarganya di panggil oleh Misi, Tuan David Scivill da, Tuan. Wesley Dale untuk melanjudkan pekerjaannya menterjemahkan Alkitab dalam Bahasa lani,  yang sempat tertunda di Kanggime, ke Parombong Cianjuang, Suka Bumu Provinsi Jawa Barat.
 Sejak tanggal 3 Agustus 1993, Sampai Tahun 2002 Yunus Kogoya  sukses menterjemahkan Alkitab Perjanjian Lama (PL) Dalam Bahasa Lanny.
Pada Tanggal 3 Agustus 2002, Yunus Kogoya,Dip.Th Pulang dari Jawa Barat ke Papua, menetap di Pos 7 sentani.
Tahun 2004. Yunus Kogoya,Dip.Th di pilih sebagai Gembala 1 dan Mazmur Kogoya sebagai Gembala 2.
Selama tugas Sebagai gembala Sidang di Gereja Baptis  Bahtra Ramoho Sentani, Ia juga menulis buku untuk  anak-anak sekolah minggu dan pemuda remaja, dalam  Bahasa lanny “AWANA”  nit ninone paga “ Aap ambi Enggali Lek Logonet Yetut Abok Paganiyak Mbake kenok”  dan “ Kabar baik yang bersambar. Wologwe komologwe inake mbanak”.
Yunus juga  terganung dalam Tim untuk menulis buku Sejarah perjalanan gereja GIDI, KINGMI, dan BAPTIS, berhasil di terbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 2012.
Pada 9 Mei 2010, Istri Yunus Kogoya meninggal Dunia.
Pada  6 April 2011, Yunus Kogoya menikah lagi dengan istri yang kedua Melinche Wakerkwa  di gereja Baptis Ramokho sentani Jayapura.

Sabtu, 28 September 2013

Consultation urges protection of human rights in Papua

A consultation in Geneva termed political dialogue as the only way towards peace and stability in Tanah Papua, a province of Indonesia. The region has remained the focus of tensions between the Indonesian authorities and the Papuan indigenous people for years – resulting in grave human rights violations.
Rev. Socratez Sofyan Yoman
Hosted by the World Council of Churches (WCC), the consultation titled “Human Rights and Peace for Papua” was organized by the International Coalition for Papua (ICP), a group of faith-based and civil society organizations.
The event brought together a number of faith-based and civil society organizations, church leaders from Tanah Papua, peace activists and United Nations officials, from 23 to 24 September in Geneva, Switzerland.
Participants in the consultation discussed various aspects of the crisis in Tanah Papua, stressing the need for institutional reforms to protect civil, political, socio-economic and cultural rights of the people. They noted the need to promote freedom of expression to avoid Papua becoming isolated from international support.
Rev. Socratez Sofyan Yoman from the Communion of Baptist Churches in Papua and a keynote speaker at the consultation, expressed deep distress over state violence in Tanah Papua.
“Papuans want peace and have always respected other human beings throughout the ages.”
“A lengthy struggle will be needed to change the government policies which have been implemented for the last five decades,” said Yoman referring to on-going violence in the province.
He added that finding a political solution also needs “patience and total commitment to achieve lasting justice, reform and final victory”.
Tanah Papua has a prominent Christian presence, with more than 45 diverse denominations.

Ending violence in Papua

Leonard Imbiri, general secretary of the Papua Customary Council, shared concern over the silencing of human right activists in Tanah Papua. Explaining the situation in the province, he called exploitation of natural resources, military interests in the region and demographic changes as only some of the sources of the problem.
“Extra-judicial killings, torture, arbitrary arrests, poor health and education infrastructure, child mortality and high HIV/AIDS rates, land grabbing and deforestation are a few examples of human rights violation, indicating inability of the national government to deliver,” Imbiri added.
WCC’s programme executive for human rights and global advocacy, Christina Papazoglou, referred to the long-standing support of the WCC to the struggle of the indigenous people of Tanah Papua and for an end to the on-going violence and impunity. She highlighted the need for a Jakarta-Papua dialogue as a means to address the root causes of the present problems, leading to peace with justice in the region.
“It is sad and worrisome to see that after all these years, nothing has really changed,” added Papazoglou.
Mentioning the WCC Executive Committee statement issued in February 2012, Papazoglou said that the Indonesian authorities were requested to take necessary steps to release political prisoners, to lift the ban on peaceful assembly of Papuans and to demilitarize Tanah Papua.
“The WCC Executive Committee urged the Indonesian government to initiate necessary steps to enter into dialogue with indigenous Papuan people and to take adequate measures to protect their rights,” she said.
The international consultation was followed by a side-event on “Human Rights and Indigenous Peoples in Asia: Cases in West Papua” organized jointly by the Asia Human Rights Commission, the WCC’s Commission of Churches on International Affairs, Franciscans International, Geneva for Human Rights, the International Coalition for Papua, Tapol and the World Organisation against Torture. The consultation took place on 25 September at the United Nations Human Rights Council in Geneva.

Senin, 23 September 2013

Socratez: Papua Dapat Dukungan Internasional Karena Gereja

JAYAPURA - Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Socratez Yoman, mengatakan, masalah Aceh dan Papua sangat berbeda. Di mana, Aceh walaupun ada Kantor GAM di Swedia tetapi tidak pernah ada dukungan komunitas internasional, karena Aceh menggunakan pasukan militer GAM.
  Berikutnya, Aceh mendapatkan simpati dan didukung internasional karena adanya bencana Tsunami yang menyebabkan ratusan ribu jiwa manusia hilang. Kemudian, Aceh sejak awal sudah bagian dari perjuangan kemerdekaan negara RI. 
  Bukan itu saja, komunitas muslim di tingkat Internasional tidak banyak peduli dengan perjuangan GAM, karena internal kaum Muslim banyak konflik di antara negara-negara Muslim sendiri. Walaupun demikian, Aceh pernah merdeka dengan nama Negara Nangroe Aceh.
Sementara masalah Papua sendiri, sebagai berikut, pertama, Papua mendapatkan dukungan kuat komunitas Internasional karena ada hubungan langsung dengan Gereja-Gereja di Papua dan di seluruh dunia,
Pdt. Socratez Sofya Yoman. MA

“Jadi melawan dan menindas orang asli Papua berarti Pemerintah RI sedang menindas, memeras, menyiksa, menghukum, memenjarakan dan membunuh bagian dari anggota tubuh Kristus dan Gereja yang amanah di seluruh dunia,” tandasnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Minggu, (21/9).
  Kondisi ini, jika dilihat, Pemerintah RI dengan tindakan memecah-belah Gereja-Gereja di Papua dan diberikan stigma Separatisme secara tidak langsung, itu berarti  Pemerintah RI sedang mengganggu keutuhan dan kesatuan Gereja-Gereja di seluruh dunia.
  Dirinya juga mempertanyakan, kapan Gereja-Gereja di seluruh dunia bersuara masalah ‘pembantaian’  warga Gereja selama 50 tahun? Tentunya tidak, sehingga Pemerintah RI jangan salahkan kalau kedepannya Gereja-Gereja di dunia menyuarakan Papua harus merdeka dan berdiri sendiri.
  Kedua, rakyat Papua berjuang dengan pola damai, lobi, diplomasi dengan dana terbatas dan personil yang terbatas. Tapi rakyat Papua membawa dan mengkampanyekan dengan data-data pelanggaran berat HAM, kemiskinan diatas kekayaan alam yang melimpah, kesehatan dan pendidikan dengan Puskesmas dan Inpres yang tidak efektif dan amburadul.
Ketiga, dialog damai antara Pemerintah RI dan rakyat Papua tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral. Keempat, Papua pernah Merdeka 1 Desember 1961 yang dibubarkan Ir. Soekarno. Kelima, Pepera 1969 tidak demokratis dan dimenangkan oleh ABRI. Keenam, Papua adalah persoalan Internasional karena ada keterlibatan PBB, Amerika dan Belanda. Ketujuh, rakyat tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan RI, walau ada Silas Papare dan kawan-kawan direkrut setelah kemerdekaan NKRI Tahun 1945.
 Kedelapan, Otonomi khusus 2001 solusi terbaik  tapi telah gagal total, dan UP4B dan Otsus Plus sebagai cara pemerintah RI menghibur diri kegagalannya selama 50 tahun. Kemudian Pemerintah RI mau cari istilah apa lagi untuk menipu rakyat Papua dan komunitas Internasional.
  “Rakyat Papua sudah kehilangan Trust kepada Pemerintah RI. Apalagi Sri Sultan Hamengkubuwono X, Negarawan dan Bangsawan memberikan kesimpulan jujur pada 15 Mei 2013 bahwa Pemerintah RI telah gagal meng-Indonesiakan rakyat Papua selama 50 tahun,” tandasnya.(Nls/Don/l03)

Jumat, 16 Agustus 2013

Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua


Pernyataan Pers


“...sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Matius 23:27
Pada hari ini, sebagai Gereja kami menyatakan kegelisahan kami atas substansi atau hakekat dari perayaan Kemerdekaan RI yang diadakan Pemerintah di Tanah Papua, yang ternyata dari tahun ke tahun sama saja; diadakan secara besar-besaran tetapi terus mempertontonkan dan menyembunyikan wajah kekerasan negara di Tanah Papua. 
Simak perayaan hari kemerdekaan tahun ini yang disertai berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai berikut.
A. Penyangkalan hak-hak berekspresi masyarakat sipil yang terus berlangsung sampai tanggal 15 Agustus 2013 kemarin. Diantaranya:
26 April 2013
KNPB berencana melakukan aksi damai menolak integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1 Mei 2013 dalam wujud aksi duka di Lapangan Makam Theys Sentani, namun ada larangan dari Pangdam. KNPB bersikeras melakukan aksi dan pihak Polda Papua tetap mengancam akan membubarkan secara paksa apabila KNPB mengadakan protes damai.
1 Mei 2013
• Gubernur Provinsi Papua, Pangdam dan Kapolda Papua ramai-ramai mengeluarkan larangan bagi rakyat Papua untuk tidak melakukan Perayaan 1 Mei sebagai protes dan penolakan terhadap aneksasi Papua ke dalam NKRI; sekaligus mengancam akan membubarkan paksa massa yang berniat merayakan peringatan aneksasi Papua di Makam Theys Hiyo Eluay. 
• Masyarakat di kota Biak dan Timika melakukan aksi pengibaran Bintang Kejora (BK), akibatnya, polisi menangkap 14 orang. Seorang aktivis yang terlibat pengibaran BK di Biak ditembak di kaki kiri; selain dia, dua warga PNS lainnya mengalami luka tembak ringan. Di Timika pengibaran BK dilakukan jam 13.00 waktu Papua, massa yang melakukan aksi tsb dibubarkan paksa sambil melepas tembakan peringatan. Pdt. Ishak Onawame, tokoh Grereja di Timika meminta pihak Polres Mimika untuk membebaskan para tahanan tsb karena ini hanya cara mereka menyampaikan aspirasi politik secara damai. 
13 Mei 2013
• KNPB tetap bersikeras melaksanakan Aksi demo damai di MRP Papua di Jayapura walaupun Polda Papua menolak memberi ijin.
• Bupati Merauke dalam kata sambutannya di aula salah satu perguruan tinggi di kota Merauke menyatakan kepritinannya bahwa “jumlah penduduk Asli Papua” terus menurun. Ia mengatakan dari jumlah penduduk kota Merauke yang berjumlah 160.000 jiwa hanya 20.000 orang asli Papua.
30 Mei 2013
Aparat gabungan TNI-Polri menembak warga sipil yang berkumpul dan mengadakan doa memperingati 1 Mei sebagai hari aneksasi di Aimas, Sorong; menewaskan tiga orang dan melukai tiga warga lainnya.
Selasa, 11 Juni 2013
KNPB yang melakukan aksi demo damai di Jayapura dibubarkan paksa oleh Gabungan TNI POLRI. 
Rabu, 12 Juni 2013
Polisi dan TNI pada hari ini membubarkan aksi demo damai puluhan mahasiswa di depan pintu masuk Kampus Uncen, Perumnas III Waena. Demo itu digelar para mahasiswa Perguruan Tinggi di Jayapura dalam rangka mendukung Papua Barat untuk diterima sebagai anggota MSG. Demo ini digelar para mahasiswa yang bergabung dalam BEMF dan DPMF. 
B. Pembiaran atau Penyangkalan terhadap hak-hak hidup menyebabkan begitu banyak warga yang meninggal dunia; yang terlihat dalam kejadian berikut. 
9 April 2013
61 orang warga dilaporkan tewas di Distrik Somagaik, Yahukimo sejak pertengahan Januari 2013 lantaran kelaparan dan kurangnya akses kesehatan.
29 April 2013
Sebanyak 535 orang warga Kabupaten Tambrauw diserang penyakit, kekurangan gizi dan 95 orang warga dilaporkan meninggal dunia lantaran kelaparan.
24 Mei 2013
Rias Bugimonu, Ketua Ikatan Mahasiswa Pelajar Pogoma (mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jayapura asal Distrik Pogoma, Kabupaten Puncak) melaporkan penderitaan yang dialami warganya terkait kematian 29 warga lantaran wabah penyakit dan kelaparan. Mereka menyebutkan penyakit yang menimpa warga dan balita yang kekurangan gizi dan kelaparan yang sedang menimpa warga Distrik Pogoma khususnya dari kampung-kampung: Pogoma, Gagama, Baksini, Wakme, Bina, Molu dan Kempu. 
14 Juli 2013
Pada hari ini, 17 warga meninggal dunia di Halaman Gedung Olah Raga (GOR) Kota Lama Nabire saat pulang ke rumah setelah pertandingan Tinju Bupati Cup berakhir dengan Pengalungan Medali para pemenang/juara. Peristiwa KLB (Kejadian Luar Biasa) ini terjadi di halaman GOR setelah massa penonton keluar meninggalkan Gedung olah Raga tsb.
8 Agustus 2013
Irwan Yanengga 19 tahun di tembak mati oleh Anggota polisi dari Polres Jayawijaya 
C. Pembunuhan Sewenang-Wenang Terhadap Warga Sipil dan Cara Penanganannya yang tidak sesuai Hukum
Pembunuhan sewenang-wenang terhadap warga sipil dan cara penanganannya terhadap beberapa kasus yang terjadi tidak sesuai Hukum.
Contohnya: Arlince Tabuni, 12 tahun ditembak mati oleh anggota KOPASUS di Lany Jaya pada 1 Juli 2013, Irwan Yanengga dan Arton Kogoya yang masing-masing terjadi di Jayawijaya dan Lany Jaya sepanjang Juli dan Agustus dimana pihak Pemda setempat dibebankan untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi kepada keluarga korban.
D. Tindakan pemerintah daerah yang mengekang kebebasan berekspresi dengan membatasi pemberian bantuan beasiswa kepada mahasiswa yang terlibat aksi demo damai, sebagaimana pernyataan wakil bupati Kabupaten Jayapura pada 24 Mei 2013.
Mencermati keadaan ini, kami menilai bahwa perayaan kemerdekaan seperti itu (perayaan besar-besaran yang disponsori pemerintah tanpa atau sambil mempertontonkan/menyembunyikan wajah kekerasan) menunjukkan “Pemerintah Indonesia sedang mengalami krisis” dalam tiga hal: 
Pertama, ini pertanda pemerintah yang gagal membangun Bangsa Papua. Apabila pemerintah berhasil maka perayaan Hari Kemerdekaan ini tidak akan diwarnai oleh aksi demo menuntut Dialog, Papua merdeka atau aksi demo mendukung kunjungan MSG ke Papua dan Indonesia. Ini menurut kami pemerintah yang gagal membangun Papua. 
Kedua, perayaan kemerdekaan gaya ini menurut kami mengindikasikan bahwa Pemerintah telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya. Dalam bahasa Alkitab pemerintah yang melakukan perayaan Hari Kemerdekaan demikian sama halnya dengan “kubur kosong di luar cat rapi tetapi di dalam penuh dengan tulang belulang”. 
Ketiga, kami menilai dengan perayaan yang disertai represi dan penyangkalan hak hidup, hak-hak sosial ekonomi orang Papua, pemerintah tengah menghindar dari atau menyembunyikan akar pesoalan: yaitu pembelokan sejarah dan tuntutan rakyat Papua untuk DIALOG.
Oleh karena itu, melalui kesempatan kami mendesak Pemerintah Indonesia:
(a) Menghentikan segala bentuk kekerasan dan penindasan di Papua;
(b) Agar membuka diri untuk menyelesaikan masalah Papua secara demokratis dan bermartabat yakni dialog dengan rakyat Papua yang dimediasi oleh pihak internasional yang netral. 
(c) Terkait dialog tersebut, kami meminta Juha Christensen dari PACTA, yang pernah memediasi dialog konflik ACEH/GAM dan RI untuk menjadi penengah dalam dialog antara Papua dan Indonesia.


Jayapura 16 Agustus 2013
Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua

Pdt. Benny Giay

Kamis, 01 Agustus 2013

LATAR BELAKANG OTONOMI KHUSUS PAPUA, KEGAGALAN DAN SOLUSINYA

Ndumma Socratez Sofyan Yoman
(Foto:Album Pribadi)
Pada 25-27 Juli 2013 di Hotel Sahid Jayapura, Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Papua Barat bersama Orang Asli Papua dari 257 suku yang terbagi dalam tujuh wilayah: Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Pago Mee, mengadakan Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.
Dalam pertemuan ini, Rakyat Papua menyampaikan berbagai macam masalah berdasarkan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus.  Orang Asli Papua tidak merasakan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus.  Sejak otsus diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara.  Penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM. Secara ekonomi  Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacau-balau di mana-mana karena faktor ketiadaan guru, keamanan dan tempat belajar. Pembatasan yang berlebihan dari aparat keamanan Indonesia sehingga Orang Asli Papua kehilangan hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan  berkumpul.
Pemerintah Indonesia  dinilai tidak  melaksanakan  dengan sungguh-sungguh dan konsisten  kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan penyelesaian menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang status politik  Papua dalam wilayah Indonesia.  Yang jelas dan pasti,  UU Otsus dibuat karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk  keluar dari wilayah Indonesia. Tapi, sayang, Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan bermartabat itu dinyatakan gagal total dari mayoritas peserta evaluasi otsus.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua.  Pemerintah juga lupa, Otsus  bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah  kepada rakyat Papua.  Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional  tidak tahu  latar belakang dan  fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Latar belakang dan fakta sejarah lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai duta-duta rakyat Papua menghadap  Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan: “ Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia.”
“Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.” “Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai, dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka: (1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun  Rakyat Papua  mengadakan Musyarawah Besar (MUBES)  pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah.  Dalam MUBES, rakyat Papua  telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa  menyampaikan komunike politik bangsa Papua  sebagai berikut  :
1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian  menjadi Papua pada tanggal 31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya menggunakan nama Papua  sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian. Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J. Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999 di istana negara Jakarta.
2. Rakyat Papua  menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua dari Belanda melalui  PBB kepada pemerintah   Indonesia pada 1 mei 1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan nasib bangsa Papua. 
3. Bahwa sebagai konsekuensi dari  tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan  seluruh hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun 1969 tersebut berdasarkan alasan sebagai berikut:
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d,  " yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa - pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek  international", atau one man one vote. (b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000, rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua  yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi :
Pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di istana Negara Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah dari negara  RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan  - pengakuan kedaulatan hak-hak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda,  pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai pihak-pihak yang telah meniadakan hak-hak politik bangsa Papua. Juga disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut mengetahui alasan -alasan dan mendukung kehendak bangsa Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim 100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni 2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid.   Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:       
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948, Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14 Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasil-hasil kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia, bahwa :
(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara  sejak 1 Desember 1961. (2)  Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua. (3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu Bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. (4)  Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan internasional. (6)  PBB, AS,dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
 (7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua Barat serta pengusutan dan pengadilan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. (8)  Segera membentuk suatu tim independen yang akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua.
(9) Penyelesaian masalah status politik Papua Barat secara adil dan demokratis harus dilakukan antara wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua selama 38 tahun di bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres II Papua 2000 menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi bangsa Papua”.
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik dengan  pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme  untuk mengkaburkan dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.   
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak azasi manusia di Papua  yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman, Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada  Juli 2013  Komisi  HAM PBB  independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan Pemerintah Indonesia juga  masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?”
Sultan Hamengku Buwono X sebagai seorang bangsawan sejati dan negarawan dengan jujur dan tepat dapat menyimpulkan   kegagalan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua.  “Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”. (Hotel Borobudur,  Jakarta, 15 Mei 2013).  
Dari berbagai pihak menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal.  Karena itu, apa yang disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan Penduduk Asli Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung.  Ada dua  sulusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di tempat yang netral. (2)  UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU No. 35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan setelah dialog damai diadakan.  Selain dua solusi tadi, langkah mendesak lain yang perlu dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua tahanan politik di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk ke Papua. (3) Para wartawan asing dan pekerja kemanusiaan diijinkan masuk ke Papua.  Walaupun tuntutan ini berat bagi Indonesia, namun demi rasa keadilan dan penegakkan hak asasi manusia patut  dilaksanakan dalam semangat demokrasi di Indonesia. 

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Jumat, 17 Mei 2013

Islamisasi Papua Semakin Gencar, Gereja Berdiam Di

"Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini" Inilah Kalimat awal yang ucapkan oleh dua misionaris papua yakni Johan Gottlob Geissler dan C.W. Ottow, Pada tanggal 5 Februari 1855 dengan Kapal Ternate membuang sauhnya di depan pulau Manansbari (Mansinam) Manokwari -Papua barat).
Perkembangan gereja masa kini, telah merakar di seantoro tanah papua, dan akhirnya orang papua telah mengenal injil Yesus Kristus sebagai keyakinan atau agama yang menjadi penganut mayoritas orang papua.
Dengan masuknya injil di tanah papua, Umat Tuhan sepanjang itu berada dalam hidup damai dan telah mengenal Tuhan Yesus sebagai Penyelamat para akhirat. Samapai sekarang Gereja telah berkebang pesat dengan berbagai denominasi yang lahir di papua.

Perebutan Papua
Tepanya 1945, Indonesia secara resmi memprokolamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Ir. Sukarno. Namun papua saat itu masih dalam daerah penjajahan Belanda.
Setelah perang dunia II pecah dan issu komunis di asia tenggara memuncak, tanggal 1 mei 1963 secara administrasi belanda di desak oleh Amerika sebagai sekutu untuk melepaskan papua kepada indonesia atas perjanjian new york melaui UNTEA atau badan PBB yang mengurus persengketaan bangsa papua.
Secara resmi papua di integrasikan melalui PBB atas dasar pelaksanaan PEPERA 1969, sekitar 24 atau 25 tahun dari 1945 setelah Indonesia merdeka taggal 17 agustus 1945.
Ada agama lain di dunia
Setelah bergabung dengan NKRI, barulah orang papua tahu bahwa ada banyak agama lain di dunia, ini setelah masuknya para imigran dari luar papua yang datang kepapua dan mengetahui kalau mereka  memeluk agama lain yakni agama islam.
Sampai perkembangannya, di tahun 1970-an orang papua benar-benar di jajah di bawah otoritas Suharto sampai 1998. Kebebasan agama, kebebasan budaya, kebebasan hak hidup masyarakat papua saat itu benar-benar di bungkam dan di musnakan terbukti ada penghilangan sosiolog papua Arnol App dan lainnya.

Setelah satu abad Lebih Telihat banyak agama berdatangan di Tanah Kristen Papua
Integrasi ke papua kedalam Indonesia berhasil, secara otomatis 5 Agama berlaku seluruh Indonesia, termasuk papua, Papua yang dulunya hanya satu agama, kini menjadi 5 Agama secara nasinal. Penyebaran agama dengan legalitas 5 agama di indonesia, papua benar-benar target penyebaran agama secara terbuka bahkan target utama dalam perebutan tanah papua sebagai mayoritas agama Kristen. Dengan dukungan finansial dari negara, khususnya agama islam telah melakukan berbagai upaya dalam penyebaran agama di papua. Buktinya banyak mesjid dan pesantren di mana-man di papua.
Imigran dari luar papua yakni pemeluk agama Islam berdatangan tanpa kontrol dan menyebar ke seluruh papua. Misis penyebaran agama terus berlaju dan tersebar secara nyata bahkan gelap di papua hampir 50 tahun sejak integrasi papua kedalam NKRI.

Acaman Penlenyapan Agama Kristen di Papua
Papua sedang dalam ancaman besar. Wilayah berpenduduk mayoritas Kristen & Katolik sudah berada dalam target Islamisasi, yaitu proses peng-Islam-an orang-orang Kristen pedalaman yang minim pengetahuan tentang Kekristenan.
Organisasi Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), lembaga Islam yang sedang berusaha menggencarkan Islamisasi di kota Injil. Pemimpin AFKN yaitu Ustadz Muhammad Zaaf Fadzlan Rabbani Al Garamatan atau yang lebih dikenal dengan Ustadz Fadzlan, pemilik Pesantren yang berada di wilayah Bekasi. Sebuah awal yang sungguh mencengangkan. AFKN telah membeli kapal khusus untuk menuju Papua demi suksesnya Islamisasi. Kapal laut dakwah itu sendiri dibeli seharga Rp 600 juta. Kapal yang memiliki panjang 13,5 m dan lebar 3,3 meter ini mampu menampung 20 penumpang dan beban seberat 10 ton, juga dilengkapi standar keselamatan seperti rakit penyelamat, ringboy, karet pelampung serta alat komunikasi. Bahkan, sempat beredar kabar, AFKN akan membagikan 55 ribu Al-Qur'an yang siap disebar di seluruh Papua. Ustadz Fadzlan juga menyampaikan pendapatnya bahwa orang Kristen tidak perlu iri dengan strateginya
“Ustadz Fadzlan Berkata: Orang Kristen tidak boleh cemburu. Yang seharusnya cemburu adalah umat Islam, karena selama ini umat Islam di Papua kurang sekali mendapat fasilitas. Justru yang sering mendapat fasilitas adalah mereka (Kristen), baik dari negara maupun hasil kekayaan alam negeri yang mereka ambil. Otsus itu mereka yang makan semua, sementara umat Islam tidak mendapat. Bukankah selama ini seluruh orang Kristen, misionaris dan gereja, menggunakan pesawat modern, tapi umat Islam tidak pernah menggangu. Kok dengan kapal kecil saja mereka cemburu. Tidak ada yang melarang. Yang jelas, saat ini belum ada gangguan terhadap dakwah AFKN.  Irian itu negeri Muslim kok,” katanya.
Dia juga berkata “AFKN ingin membangun keadilan dengan cara mendatangi semua lembaga Islam, majelis taklim dan semua umat Islam, dan menyerukan umat Islam agar menyelamatkan Muslim Irian. Karena umat Islam Irian adalah bagian dari NKRI. Apa yang dilakukan AFKN adalah upaya untuk mendukung program pemerintah. Ketika umat Islam kurang mendapat perhatian dan fasilitas, maka AFKN ingin terlibat untuk membantu umat, khususnya muslim Papua.” Dan yang santer di pemberitaan media Islam, kepala suku Asmat Senansius Kayimtel masuk Islam beserta seluruh anggota keluarganya dan berganti nama menjadi Umar Abdullah Kayimtel pada tanggal 19 Februari 2012. Dan seperti tradisi yang berlaku di pedalaman Papua, seluruh anggota suku akan mengikuti agama pemimpinnya! 

Istilah Sebutan Papua NUU WAAR (PAPUA)
"Kegiatan yang rutin kami laksanakan setiap tahun ini merupakan bentuk sumbangsih AFKN dalam menyemai dakwah di bumi Nuu Waar (Papua)," kata ustadz kelahiran Fakfak ini.

Menurut Ustadz Fadzlan Garamatan, ketua umum AFKN, kegiatan ini akan dilaksanakan di beberapa kabupaten dengan target peserta khitan sebanyak 8.000 orang Papua Akan di sunat.
AFKN juga membagikan jilbab kepada muslimah di pedalaman Bumi Nuu Waar. ”Tahun ini, Jilbab yang bisa kita bagikan jumlahnya 1.700.000 jilbab. Sedangkan tahun sebelumnya sebanyak dua juta jilbab. Kegiatan ini semua dilakukan dalam rangka mengantarkan dakwah Islamiyah dengan memperbaiki tauhid saudara-saudara kita di Papua, baik yang sudah lama masuk Islam mau pun yang baru memeluk Islam, sehingga keimanan bertambah kuat,” jelasnya.
Selain menyelenggarakan khitanan massal bagi 7500 warga di Bumi Nuu Waar, menurut Ustadz Fadzlan, saat ini AFKN juga sedang mengadakan pengobatan Tibbunnabawi (pengobatan ala Rasulullah saw). Diakuinya, banyak warga Nuu Waar yang selama ini mengonsumsi berbagai makanan yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, yang akhirnya menjadi racun di dalam tubuhnya.
Misi Terselubung Islamisasi Papua

Saat ini dakwah Islam di Papua makin gencar. Buku Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua) yang ditulis Ali Atwa menyebut, bahwa Islam yang pertama ada di Papua, bukan Kristen. Tahun 1997, pernah ada seminar di Kabupaten Fakfak dan di Jayapura  menyebutkan, sebelum para misionaris Kristen menginjakkan kakinya di Tanah Papua, katanya, sudah terlebih dahulu muballigh Islam hadir di sana.
“Islam masuk pertama kali di bagian barat Papua. Di Fak Fak, jumlah Muslim hampir separuh populasi.” Kabupaten Fakfak sendiri yang memiliki luas wilayah 38.474 km2 dan berpenduduk sebanyak 50.584 jiwa, justru sangat kental dengan Islam.
Saksi bisu sejarah Islam, Masjid Patimburak, hingga kini masih difungsikan sebagai tempat ibadah 36 kepala keluarga dengan 147 jiwa yang tinggal di sekitarnya. “Dulu di sini ramai, tapi satu-satu mereka pergi,” ujar Daud Iba, sekretaris kampung Patimburak.
Tetapi cerita di atas mengaburkan fakta lain. Sesungguhnya yang pertama agama Kristen Protestan di daerah Manokwari, tahun 1855 sudah jelas. Missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler datang menjadi missionaris.
Fadzlan merasa benar sendiri. “Orang Kristen tidak boleh cemburu. Yang seharusnya cemburu adalah umat Islam, karena selama ini umat Islam di Papua kurang sekali mendapat fasilitas. Justru yang sering mendapat fasilitas adalah mereka (Kristen), baik dari negara maupun hasil kekayaan alam negeri yang mereka ambil. Otsus itu mereka yang makan semua, sementara umat Islam tidak mendapat. Bukankah selama ini seluruh orang Kristen, misionaris dan gereja, menggunakan pesawat modern, tapi umat Islam tidak pernah menggangu. Kok dengan kapal kecil saja mereka cemburu. Tidak ada yang melarang. Yang jelas, saat ini belum ada gangguan terhadap dakwah AFKN.  Irian itu negeri Muslim kok,” katanya

Kapal Dakwah Papua Gegerkan Aktivis Gereja

Beberapa waktu lalu (18/7), Badan Wakaf Al Qur’an (BWA) baru saja melakukan serah terima kapal dakwah kepada AFKN di Putri Duyung, Ancol, Jakarta . Hadir dalam acara tersebut, antara lain: Ustadz Harry Moekti, Opick, Dr Bambang Sardjono dari Departemen Kesehatan, Dr Kholiqurrahman Raus DAP (Ketua Dewan Pembina AFKN), Djuwono Banukisworo (Senior Vice President BNI Syariah), Ustadz Ihsan Salam (Direktur BWA).
Kapal Dakwah yang dinamakan AFKN Khilafah I itu berasal dari donatur umat Islam. Uang yang terkumpul tersebut dikoordinir oleh BWA melalui kegiatan penggalanan dana yang diberi tajuk “Papua Muslim Care” di Balai Kartini, Jakarta (9/1). Dana yang terkumpul pada malam itu, cukup fantastis, yakni, mencapai Rp 2 Milyar.
Selain kapal dakwah, BWA juga mengajak para donator untuk berkomitmen dalam  program wakaf khusus, dalam pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di pedalaman Papua, rencananya akan ditempatkan di Kaimana. Ini merupakan program jangka panjang untuk Muslim Papua.
Kapal laut dakwah untuk Muslim Papua itu sendiri dibeli seharga Rp 600 juta. Kapal yang memiliki panjang 13,5 m dan lebar 3,3 meter ini mampu menampung 20 penumpang dan beban seberat 10 ton, juga dilengkapi standar keselamatan seperti rakit penyelamat, ringboy, karet pelampung serta alat komunikasi. Mengingat, perairan di Papua sangat luas, maka masalah transportasi menjadi sangat penting sebagai sarana dakwah.
Jika sebelumnya, AFKN harus menyewa kapal dengan biaya yang sangat mahal, belum lagi bahan bakarnya. Per liter bisa dikenakan Rp 23 ribu. “Terkadang, kita harus berhari-hari mengarungi laut dengan perahu. Jika menyewa boat, biaya pun habis untuk bahan bakar. Padahal, amanah berupa sedekah dari umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia melalui AFKN harus disampaikan untuk Muslim Papua yang ada di pedalaman,” tutur Ustadz Fadzlan.

2013, Media Australia Membocorkan 2700 anak – anak papua di bawa ke pesantren Jakarta

Oleh : Michael Bachelard di Smh.com.au melaporkan
Anak-anak Papua sementara dibawa dari Papua ke sekolah-sekolah Islam di Jawa untuk “dididik kembali”, tulis Michael Bachelard.
Johanes Lokobal duduk di atas rumput yang menjadi alas dari lantai kayu rumah kecilnya yang hanya terdiri atas satu ruangan. Dia menghangatkan tangannya pada perapian yang terletak di tengah ruangan. Sementara itu dari waktu ke waktu seekor babi, tidak tampak karena berada di ruangan sebelah, menjerit dan membentur-benturkan tubuhnya dengan keras ke dinding rumah.
Kampung Megapura yang terletak di tengah pegunungan di provinsi paling timur Indonesia yaitu papua barat merupakan kampung yang sangat terpencil sehingga penyedian barang-barang hanya dapat dilakukan melalui perjalanan udara atau dengan berjalan kaki. Johanes Lokobal telah tinggal di sana sepanjang hidupnya.
Dia tidak tahu dengan tepat berapa usianya, “Tua saja” katanya dengan suara parau. Ia juga miskin. “Saya bekerja di kebun. Pendapatan saya kira-kira Rp. 20.000 per hari. Saya juga membersihkan halaman sekolah.” Tetapi di kehidupannya yang sudah berat, terjadi kemalangan yang paling menyakiti dia. Pada tahun 2005, putra tunggalnya, Yope, dibawa pergi ke Jakarta. Lokobal tidak ingin Yope pergi. Anak itu masih berumur sekitar 14 tahun, tapi dia berbadan besar dan kuat, seorang pekerja yang baik.
Namun orang-orang itu tetap membawa dia pergi. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal. Tidak ada yang bisa mengatakan kepada Lokobal bagaimana atau kapan tepatnya anaknya meninggal, dan dia juga tidak tahu di mana anaknya dimakamkan. Yang dia tahu secara pasti adalah, bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi.

Para pemisi terselubung menguraikan Sekitar 1400 anak-ana Generasi Muslim Nuu Waark Papua disekolahkan secara cuma-cuma alias gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah 29 orang yang meraih gelar S-2
Untuk membawa anak-anak Papua belajar ke Jakarta, Sumatera, dan Surabaya, AFKN menjalin hubungan kerjasama dengan stakeholder pimpinan pesantren, rektorat, pimpinan yayasan hingga Baitul Mal wa Tamwil. Bahkan pendekatan secara pribadi dengan mereka yang memiliki kepedulian dengan perjuangan AFKN mengangkat harkat dan martabat masyarakat Muslim Papua.
Di antara dermawan, ada yang bersedia menjadi ayah angkat, dan membiayai hidup mereka selama belajar di pesantren atau kampus, tempat anak-anak Papua menuntut ilmu. Adapun anak-anak Papua yang datang ke kota besar tersebut, berasal dari kabupaten yang berbeda. Ada dari Kaimana, Fakfak, Bintuni, Raja Ampat, Wamena, Sorong, Nabire, dan wilayah Papua lainnya.
Setidaknya ada 11 anak (Putra-putri) Muslim Papua yang mendapatkan kesempatan belajar di Univesitas Indonusa Unggul, sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Mereka adalah Muksin Patipi, Yusuf Sayop, Usman Iba, Siti Adia Akatian, Siti Woretma, Fitria Patiran, Siti Rahayu Gwas Gwas, Hajija Rumakabes (semua dari Fakfak), Eric Arta Saiyof (Sorong), Nasir Tonoi (Bintuni), Yahya Boimasa (Kaimana). Selain di Kampus Indonusa Unggul, sejumlah mahasiswa asal Papua juga mendapatkan beasiswa di Kampus Universitas Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Ciputat, salah seorang mahasiswanya adalah Muhammad Mudzakkir Asso yang baru saja meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).

Bagimana Reaksi gereja Papua Atas Misi Islamisasi Papua?
Tanah yang damai, Tanah diberkati Tuhan, Tanah Pilihan Tuhan dan Lainnya menjadi slogan orang Kristen di papua benar-benar di injak dan di bungkam, kenyataan ini apakah kita berdiam diri ataukah mengambil langkah strategis untuk menghentikan semua program terselubung ini.
Kanapa para pimpinan gereja di papua hanya diam saja, apakah ini bukan menjadi ancaman generasi Kristen di papua?
Kami berharap Gereja-Gereja di papua harus bertindak dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah islamisasi di papua.

Penulis
Turius wenda ( www.twitter.com/TuriusWenda)
Ketua Forum Gerakan Pemuda Baptis Papua (FGBP)



RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...