Tampilkan postingan dengan label suara yomanak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suara yomanak. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 November 2017

PERTEMUAN KEDUA SAHABAT

Selamat Datang
Pada mulanya ALLAH mencipatakan segala isinya. ALLAH mencitakan langit dan bumi, siang dan malam, cakrawala, air dan darat, tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang, segala jenis mahkluk hidup baik yang bersayap dan tidak, dan Manusia yang paling istimewa. 
ALLAH menetapkann mereka pada tempatnya msing-masing dan ALLAH berfirman kepada manusia bahwa engkau harus menjaganya dan memberikan nama bagi segala jenis tumbuhan dan hewan. Pada saat itu manusia melakukan dengan baik apa yang di perintahkan ALLAH kepada mereka. Mereka pun hidup bahagia, hidup berdampingan dengan segala ciptaan TUHAN yang ada pada saat itu.
Tetapi dengan keangkuhan manusia itu sehingga  mereka jatuh ke dalam dosa, dan hubunngan antara ALLAH dengan manusia terputus bahkan dengan segalah jenis tumbuhan dan hewaan pun demikin. 
Kau Melawan Selama 2 minggu
Manusia hidup dalam dosa, tetapi ALLAH mengasih mereka  sehingga Ia megirim anakNya kedunia dan menyerahkan nyawaNya untuk manusia. Manusia telah bebas dari dosa-dosa, hubungan manusiapun kembali dengan sang Pencipta, hooreee..... demikian kata firman Tuhan yang sering kita dengar dari kejadian sampai zaman injil YESUS KRISTUS. 
Mari  kita lihat kisah antara MERPATI dan SEMUT.
Pada suatu hari ada rombongan pemburu yang buas hendak, memasuki hutan yang lebat disana mereka ingin mencari mangsannya untuk dijadiikan santapannya. Mereka memasuki hutan itu dan mulai menncari mangsanya, berjalan bersama mengelilingi hutan itu tetapi apa yang terjadi?, mereka tidak menemukan satu ekor pun mangsa mereka. Tetapi mereka tidak putus asa, mereka pun mencari di sudut pohon, di dalamm gua pun mereka masuk, tapi mereka tidak mendapatkan mangsanya pula. Hari sudah siang terik matahari pun sampai cahayanya tembus menerobos pepohonan yang lebat itu, mereka lelah dan beristirat di sebuah pohon yang besar, mereka meminum air dan memakan bekalnya. 
Kebersamaan Sampai disini
Seusaai memikmati bekalnya mereka tertidur di bawah pohon itu, dan di saat itu juga burung merpati terbang ke arah pohon di mana si pemburu sedang beristirahat, saat burung itu terbang dan hingap di pohon itu, terdengarlah suara kepap sayapnya oleh si pemburu yang lain, saat merpati itu hinggap untuk hendak memasuki sarangnya, si pemburu ini mulai bangun dari tidurnya, menarik senapannya mulai ukur pada merpati itu saat hitungan ketiga untuk membidik merpati, ada seekor Semut yang naik di badan si pemburu itu lalu mengigitnya, sehingga bidikan si pemburu itu meleset pada merpati dari serangan si pemburu, merpati pun terbang jauh dan semut itu juga turun dari badan di pemburu itu lalu lari, nasip  si pemburu semakin sial pula. 
Selamat Jalan
Waktu sudah senja hari mulai malam dan si pemburu it bergegas untuk pulang. Merpati mendapatkan pertolongan dari se-ekor semut yang bijaksana. 
Hari mulai malam ,angin bertiup kencang langitpun gelap seakan badai datang segala mahkluk hidup masuk di sarang/rumah mereka untuk berlindug dari badai langit membunyikan drumnya, (guntur) petir mulai menyambar pemohonan dan banyak pohon yang jatuh akibat petir. 
Hujanpun turun, badai mulai datang  akibat petir sarang si semutpun jatuh ke tanah, hujan begitu deras sehingga  terjadilah banjir , rumah semut di bawa arus ke sungai yang besar, badai itu berlanjut hingga pagi. Rumah semutnya itu hanyut di sunggai yang besar, matahari mulai naik, tandanya badai telah berakhir namun semut mengalami masalah dalam dirinya ia terjebak  di sungai yang besar jauh dari daratan, semut itu pasrahkan dirinya, merasa sedih akan dirinya dan ribuan anak semut yang ada di dalam sarang itu.
Sampai Jumpa
Semutpun takut ia menjerit memintah tolong, ia berteriak sekuat tenaga berusaha untuk menyelamatkan diri tetapi tidak biasa, namun tanpa disadari merpati yang mana pernah ia tolong itu sedang terbang mengelilingi sungai itu, ketika ia melihat ada rumah/sarang semut itu merpati yang baik hati ini datang mengakat dengan cakar kakinya dan membawanya terbang tinggi ke pohon yang paling besar. 
Semut itu selamat dari ancaman maut, akhitnya keduanya menjadi sahabat. Tanpa di sadari bahwa dengan bangsa hewan yang berbeda meraka melakukan pekerjaan yang mulia, pelajaran serta panutan yang harus di ambil dari KEBIJAKSAAN si SEMUT dan KERENDAHAN, BAIK HATI si MERPATI.
KITAB KEJADIAN 1,2:1-31,1-25
AMSAL 6:6


BY: alm. Joses Samuel Wenda


Rabu, 29 April 2015

Papua Di Integrasikan?

(Artikel ini telah dimuat :http://suarabaptispapua.org, Pada Senin  27 April 2015)

“Refleksi gereja terhadap peringatan May 1,  sebagai hari integrasi Papua kedalam Indonesia (NKRI)”

Setiap tahun di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) sebelum memasuki tanggal 1 Mei, diakhir-akhir bulan April TNI dan Polri selalu sibuk, memasang spanduk, bendera merah-putih di badan Jalan, pinggir jalan dan tempat-tempat umum.  Hal ini membuat saya jadi bertanya?
”Setiap Tanggal 1 mei itu hari Intergasi Papua dalam NKRI, kok TNI dan Polri yang sibuk? apakah  mereka ini yang berintegrasi?” demikian pertanyaan penulis.
Yang berintergasi dengan Indonesia adalah orang Asli Papua (OAP), bukan   masyarakat Papua (paguyuban- paguyuban). Seharusnya seluruh OAP dengan semangat integrasi, tgl 1 mei dirayakan dengan meriah,  setiap  rumah masing- masing harus mengibarkan bendera merah-putih sebagai simbol pembebasan. (seperti pembebasan bangsa Israel di Mesir, bebas dari penjajahan Raja Firaun di Mesir).
Bendera merah- putih tidak bisa pasang di sepanjang perut Jalan, dan pinggir jalan, seperi bendera organisasi, bendera merah- putih  harus di kibarkan di tempat yang terhormat.
Sejak OAP berintegrasi dengan Indonesia, dalam setiap hari-hari besar seperti 17 Agustus, 1 Mei 28 Oktober dll, sangat jarang bahkan tidak pernah lihat pada setiap halaman rumah OAP mengibarkan bendera merah-putih, sekalipun ada tapi hanya segelintir orang misalnya Anggota TNI, Polri dan PNS.
Saya ingin menguraikan secara singkat proses- proses yang dilakukan untuk Integrasi Papua  ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian dikatakan Kilion Wenda.
Perdebatan-Perdebatan Indonesia dan Belanda  terhadap Papua
Sebelum Papua di integrasikan kedalam NKRI, perdebatan-perdebatan antara Belanda Indonesia sudah cukup lama,  hal itu di ketahui dalam  karya seorang Tokoh sejarawan Belanda Profesor Pieter Drooglever “Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasip sendiri”  (hal 127,128 dan 132).
Penjelasan tentu bahwa bagian terbesar Hindia Belanda pada saat itu masih kuat dalam genggaman Jepang dan bahwa anggota BPUPKI walau Nasionalis- Nasionalis Indonesia, tetapi terpilih sedemikian rupah sehingga dapat diterima oleh penguasa Jepang. diantaranya mereka tak disangkal Soekarno, Muhamad Hatta, Mohamad Yamin, dan Prof Soepomo yang memegang peran utama. Mayoritas anggota berasal dari Jawa, atau Sumatra. satu-satunya orang Ambon adalah Latuharhary yang sebagai pemimpin Serikat Ambon, dapat dihitung dalam jajaran gerakan  nasional sebelum perang. Selanjudnya diantara peserta dari Indonesia Timur ada Dr, Sam Ratulangi yang telah kita jumpai dalam hubugan lain. orang- orang Papua tidak termasuk  dalam kawanan Itu.
Alasan Mohamad Yamin adalah sejarah indonesia selama perjuangan  kemerdekaaan Indonesia, orang-orang Belanda menjadikan Boven Digoel sebagai Kamp tawanan  pejuang politik sehingga  dengan sendirinya  Papua termasuk  bagian dari Indonesia sekalipun  secara  etnologis dan fisik tidak menjadi bagian dari Indonesia.
Reakasi Anggota lain seperti Kahar Muzakar, kemudian memimpin Darul Islam  berpendapat bahwa orang-orang Papua masuk ke dalam Indonesia, walaupun bangsa berlainan sedikit dari pada kita, mereka memang dapat saja lebih hitam dari penduduk yang lain, tetapi tanah mereka merupakan sumber kekayaan dan warisan semacam itu tidak boleh dibuang begitu saja.
Sementara Mohamat Hatta  berpendapat bahwa, kita harus puas dengan mantan Hindia-Belanda, itu sudah cukup luas, argumen-argument Yamin sama sekali meyakinkan dia bahwa  bangsa Papua sama  dengan orang-orang Indonesia yang lain, di mana-mana di timur nusantara  terdapat berbentuk campuran, tetapi orang tidak beloh menjadikan alasan untuk begitu saja mencaplok orang-orang Papua kedalam Indoenesia.
Akhirnya  dalam diskusi yang panjang lebar itu  dirumuskan dalam tiga opsi  yaitu. Indonesia Raya, memilih 36 suara, Hindia Belanda 19 suara, dan pendapat Hatta untuk mengeluarkan  Papua dari Indonesia  mendapat 6 suara.
Dalam konferensi Malino 1946, Frans Kaisepo,didampingi  Victor de Bruyn, saat itu,namun tidak mendapat dukungan dari Indonesia maupun Belanda untuk mewakili orang orang Papua, dia hanya  hadir sebagai pendengar, dan tidak sama sekali berbicara.
Konferensi meja bundar lebih disngkat KMB 1949, konferensi itu Papua tidak dimasukan sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), Namun Pasal 2 ayat 6  Hanya berbunyi  bahwa status politik Papua akan didiskusikan Indonesia dan Belanda.
Keterlibatan Orang Papua
Pada Proses ini lebih ditegaskan bahwa, sebelumnya Frans Kaisepo pernah  diikutkan dalam konferensi Malino, Namun sebagai pembantu mendampingi  Victor de Bruyn, dan tidak sama sekali dianggap sebagai perwakilan Orang Papua.
Sementara dalam karyanya Socratez Sofyan Yoman, “Apakah Indonesia menduduki dan Menjajah Bangsa Papua?, Tantangan dan Hapan Masa depan Bangsa Papua dalam Pemaksaan Nasionalisme Keindonesiaan dan Imperialisme Kapitalis di Papua”, (Itawaku Purom 2013, hal 24-30), sangat jelas menggambarkan  bahwa orang- orang Papua ditipu oleh Pemerintah Indonesia.
Profokator utama  yang membohongi  orang- orang Papua adalah Soegoro Atmoprasodjo yang notabenenya Jebolan tahanan politik Indonesia, yang menjadi  salah satu guru pada sekolah Pamong Praja di Kota Nica Holandia ( Kampung Harapan Jayapura).
Para elit pertama  yang pernah belajar di kota Nica saat itu Frans Kaisepo, Marthen Indey, Silas Papare Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Corinus Krey, Baldus Movu, O.Manupamai, Herman Wayoi.
Frans Kaisepo adalah korban pertama saat itu oleh Profokator Sugoro,untuk menyangkal bangsa Papua dan Ras Melanesia, selanjutnya disusul , Marthen Indey, dan Silas Papare,
Soegoro bermain peran sangat penting dalam memperkenalkan kebudayaan melayu, dengan simbol “Bhineka Tunggal Ika” dia mencontohkan  pulau Papua ada banyak suku yang mendiami namun mereka itu semuanya adalah orang Papua satu, sama halnya Indonesia, ada banyak suku bangsa, adat istiadat, tapi mereka adalah satu bangsa Indonesia.
Papua di Integrasikan
Terkait dengan perbedaan pandangan terhadap peringatan tgl 1 Mei 1963 ada banya versi  yaitu dineksasi, berintegrasi, kembali ke pangkauan ibu pertiwi, dicaplokan, dimasukan, menganeksasi, terintegrasi, mengintegrasi, dan lain-lain.
Dari Sekian banyak Istilah itu saya berpendapat bahwa tanggal 1 mei adalah hari “di integrasikan Papua Kedalam NKRI”. karena sejarah singkat membuktikan tidak ada orang Papua yang terlibat dalam perdebatan- Perdebatan panjang antara Belanda dan Indonesia juga libatkan Amerika Serikat, dalam Sidang BPUPKI, konferensi Malino,Konferensi Meja Bundar, juga Perjanjian New York, Penjanjian Roma. Persejuangan Linggajati, dll.
Ada banyak tokoh-tokoh tepelajar asal Papua  pada saat itu, namun tidak dilibatkan.  hal ini membuat saya bertanya- tanya, apakah saat itu  semua orang Papua ini bodoh?,  kalau perdebatan- Perdebatan,Persetujuan- Persetujuan ini membicarahkan demi masa depan Papua, kenapa Orang-Orang Papua yang punya ahli waris itu sendiri tidak pernah dilibatkan?
Gelar Pahlawan
Gelar Pahlawan Nasional kepada Frans Kaisiepo Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993, Silas Papare Pahlawan Nasional 14 September 1993  Keppres No. 77/TK/1993, Marthen Indey Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993. Ini sebenarnya hanyalah siasat Pemerintah Indonesia untuk meredam adanya  kebangkitan nasionalisme bangsa Papua untuk merdeka sebagai bangsa yang berdaulat.
Apakah tokoh-tokoh seperti Farns Kaisepo, Silas Papare, Marthen Indey, pernah terlibat dalam perang untuk melawan pemerintah  Hindia Belanda? Kalaupun ada dimana, kapan, siapa komandan regu Mereka, apa Kesatuanya?
Bagaimana dengan Johanes Abraham Dimara?. Dimara dilahirkan dari rahim ibu orang Biak dan ayahnya juga orang Biak. Tetapi saat diamara umur 13 tahun,ia dijadikan  anak angkat oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi di Biak, lalu ia dibawa ke Kota Ambon untuk mendidik dan membesarkannya.
Johanes Dimara  yang saat itu berprofesi sebagai Guru Injil di daerah Ambon saat itu,  namun karena ia bergabung dengan Patimura, sehingga ia diangkat menjadi seorang polisi, untuk melawan RMS di Ambon.
Sangatlah wajar Abraham Dimara diberi gelar Pahlawan Nasional, karena sejak ia  masih kanak-kanak sudah dididik diluar Papua, sehingga ia sulit memiliki Ideologi Kepapuaan.
Dimara diberikan pahlawan Naional melalui Keppres No.52/TK/2010 tertanggal 8 November 2010,itu atas perjuangannya mempertahankan NKRI di Ambon.
Keliru bila foto Abraham Dimara selalu dipaparkan dalam spanduk setiap hari-hari besar kenegaraan di seluruh Tanah Papua, sebab dia bukan pejuang mempertahankan NKRI atas Tanah Papua.dan berjuang untuk Papua bergabung dengan NKRI.
Kilion Wenda: Staff Departemen Informasi dan Komunikasi Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua.

Senin, 24 Februari 2014

Noken Jati diri dan Identitas Orang Papua

Dijunjung dari  pesonanya alam pulau di ufuk timur Indonesia tak hanya mempesona alam dan burung cendrawasih  yang terkenal di tingkat Nasional dan Internasional tetapi ada juga benda-benda tersebunyi khas Papua “noken”.  Noken adalah tas yang merayut dari kulit pohon dan rumput, dan ada juga noken yang di buat dari Benang jadi langsung sediahkan di seluruh Toko dan kios di tanah papua.
 Noken alami yang dibuat bahan baku alami  itu tidak sembarang kayu ataupun rumput  yang  tetapi kayu yang terpilih, dan rumput yang terpilih, proses untuk menjadikan  benang membutuhkan waktu dan proses dengan tangan secara manual oleh ibu-ibu Papua yang berasal dari pegunungan.
Kalau noken modern untuk mendapatkan bahan dasar tidak menbutuhkan  tidak membutuhkan waktu dan proses yang lama namun bilangsung membeli di kios atau toko.
Dari dua bahan dasar,noken ini Titus Pekey,Direktur Ecology Papua Institute (EPI),yang juga penggagas noken, sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada 4 Desember 2012 lalu. mengatakan Noken,menyatu dengan orang Papua sejak dahulu kala maka harus di lindungi dan lestarikan.
Kita di cermati Noken dari kedua bentuk dasar tersebut, ada banyak jenis dan fungsinya. Kalau Bahan dasar yang terbuat dari Kuliat kayu dan sejenis rumput, berfungsi sebagai alat untuk mengisi bayi, mengisi makanan untuk manusia, mengisi makanan untuk babi, menutup bayi dari ancaman terik mata hari,sebagai pakaian bagi wanita, sebagai alat tukar-menukar barang, sebagai alat membayar maskawin,sebagai topi bagi kaum pria, sebagai tempat mengisi buku, sebagai tempat mengisi HP (Handphone),demikian pulah dengan bahan dasar yang beli langsung di toko atau kios
Kalau disingkronkan dengan noken modern tidak beda jauh cara penggunaannya hanya saja,ada perbedaan  nilai gaunnya. Sehingga sekalipum kita memakai Noken tapi bisa  membedakan adalah, noken asli dan noken modern.
Bukan hanya itu namun ada banyak nilai-nilai  yang tertera pada noken tersebut, dan tergantung dari jenis-jenisnya. Menarik dari Noken ini adalah hanya orang Papua dari pegunungan saja yang bisa membuat.
 Noken.adalah jati diri orang Papua, harga diri  orang Papua, identitas orang Papua,kebudayaan orang Papua yang harus di jaga, di lestarikan, dilindungi, diawasi. Dan di warisi.
Yang perlu diangkat  adalah pembinaan generasi muda guna membina karakter sebagai jati diri noken sebagai budaya bangsa.  Sebab noken sebagai warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO di Paris, Perancis sejak Selasa, 4 Desember 2012.

Pemilu Sistem Noken
Dalam sejarahnya sistem noken, setidaknya digunakan sejak pemilu Legislatif dan Presiden Indonesia pada tahun 1977/1978, dengan alasan, waktu itu masyarakat di pegunungan sebagian besar masih dalam kondisi buta huruf, buta warna, dan kondisi geografis, karena saat itu untuk wilayah Pegunungan Tengah hanya Kabupaten Nabire dan Kabupaten Jayawijaya,
Maka hal itu sangatlah wajar, namun kini bukan lagi seperti dulu, pemekaran Kabupaten sudah sangat pesat di wilayah pegunungan tengah, akses dan geografis tidak seperti dulu lagi, kenapa harus melakukan pemungutan suara dengan sistem noken?.
Sistem noken bukanlah  budaya masyarakat Pegunungan secara turun temurun dalam, menunjuk pimpinan mereka. pimpinan/kepala suku  memilih secara demokratis oleh masyarakat. Sistem noken baru di kenal sejak pemilu pertama kali setelah terintegrasi dengan Indonesia, sistem noken merupakan  pendatang baru dari luar  dengan alasan  kondisi geografis dan kondisi masyarakat.
Noken  tidak bisa digodok sistem Pemilu legislatif maupun presiden  kalaupun para elit politik berjuang untuk  di legalkan, itu maka perlu ada rekomendasi dari Dewan Adat, melalui MRP lalu di setujui DPRP. Kalaupun terjadi tapi noken yang mana?  karena dari jenis-jenisnya  ada banyak noken yang bahan darasnya juga berbeda-beda
Kalau sisten noken tetap didorong dan di pertahankan, maka di Papua menjadi rawan konflik dalam pemilu, oleh karena itu dalam jangka panjang untuk menghindari korban baik secara psikologis maupun fisik dalam demokrasi, hukum dan perpolitikan Papua, Sistem Noken harus di bahas yang lebih mendalan lagi. Perlu juag di pikirkan sebab-akibatnya.
 Di lihat dari pengalaman pemilukada Gubernur Papua tahun 2013 lalu, sistem noken tetap dilaksanakan di wilayah Pegunuangan, ada banyak masalah di sana,  dan sama halnya sedang melumpuhkan sistem demokrasi di masa depan.

Oleh Kilion Wenda. Aktifis Baptist voice Papua

 Artikel ini telah di muat oleh:http://suarapapua.com/2014/02/noken-jati-diri-dan-identitas-orang-papua/

http://www.aldp-papua.com/noken-jati-diri-dan-identitas-orang-papua/




Selasa, 18 Februari 2014

MSG meets to seek answers from delegation

The Melanesian Spearhead Group heads into further talks this month to seek more answers from the MSG mission that failed to meet indigenous West Papuan leaders in West Papua last month.
Whilst new MSG chairman Victor Tutugoro who is also spokesperson for the Front de Libération Kanak et Socialiste (FLNKS) in New Caledonia has not revealed the agenda he has called for the meeting days after the delegation returned from the mission.

Tutugoro says the meeting will take place in Port Vila in the middle of this month (February).
The MSG delegation to Indonesia was represented by Fiji’s Foreign Affairs Minister, Ratu Inoke Kubuabola; Papua New Guinea’s Foreign Affairs Minister, Rimbink Pato; Solomon Islands Foreign Affairs Minister, Soalaoi Clay Forau; and FLNKS representative, Yvonne Faua.
Vanuatu’s foreign minister, Edward Natapei, withdrew from the mission because the itinerary excluded meetings with groups concerned about alleged human rights abuses in West Papua.
West Papua snub
West Papuan leaders have expressed disappointment towards the apparent snub from the MSG mission.
What had begun as a desire to join the Melanesian Spearhead Group (MSG), as per their request at the MSG summit in Noumea last year, was snuffed out by Indonesia’s refusal to let the MSG leaders meet indigenous West Papuan leaders last month.
It looks like attempts to accommodate West Papua’s request to join the MSG club may look remote.
The West Papua National Council for Liberation was invited to the MSG summit in Noumea last year where they sought to become a member of the MSG.
However, it seems economic development and bilateral ties took precedence over the MSG membership and other concerns of West Papuans.
A group of West Papuan protestors staged a small but aggressive protest on January 16, at the hotel where MSG leaders were staying.
West Papuan Kilion Wenda sent ISLANDS BUSINESS youtube links of the protests showing them shouting down the motorcade of Melanesian leaders.
The MSG leaders were stopped by a group of 20 West Papuan protestors at the entrance of Borobudur Hotel in Jakarta where the MSG leaders were staying.
Hotel security personnel, some armed with iron baseball bats tried to ward off the protestors with little effect.
“The protestors shouted at the MSG delegation and the Indonesian officials raising their concerns at the failure of the delegation to meet West Papuan leaders,” Wenda said.
All eyes are now on the upcoming MSG meeting where the West Papuans are hoping they will get another chance to present their case to the MSG.

2013 Tahun Kemenangan OPM, dan kekalan Indonesia dalam Diplomasi.

Oleh:Kilion Wenda

Konflik Papua,yang berlangsung selama 52 tahun karena dimulai sejak Indonesia  berkuasa atas Papua tanggal 1 Mei 1963. Konflik yang berkepanjangan  ini bukanlah antara  masyarakat  Asli Papua dengan masyarakat  Pendatang (Horizontal) melainkan  konflik antara Pemerintah Indonesia dan orang Papua yang bergabung dalam OPM (Vertical).
Pemerintah selalu menganggap remeh bagi  para pejuang kemerdekaan Papua (OPM), dan selalu mengklaim bahwa Masalah Papua adalah masalah  internal Indonesia, bisa selesaikan dengan pendekatan Kesejahtraan.
 Namun Pada tahun 2013 adalah tahun  keberhasilan bagi  para pejuang  Papua Merdeka (OPM) dan tahun kekalahan total bagi  Pemerintah Indonesia, dalam berdiplomasi.berikut semua peristiwa- peristiwa besar  yang terjadi selama tahun 2013.
 Pada Tanggal 28 april 2013 Pemimpin  Free west Papua campaign Benny Wenda secara resmi membuka kantor di Oxford inggris dengan Wali kota Oxford.
Sejak perjalanan perjuangan yang sangat panjang perjuangan WPNCL, yang berkedudukan di Vanuatu, akhirnya pada bulan juni tahun 2013 Aplikasi WPNCL   untuk Papua barat menjadi Anggota MSG berhasil diterima. Mendapat undangan resmi dari sekretariat MSG untuk  WPNCL mewakili Papua Barat ikut dalam pertemuan.
Papua barat secara resmi tidak di terima menjadi Anggota MSG, namun ada  beberapa hal Penting  dalam keputusan MSG yaitu:
 (1) MENYETUJUI bahwa MSG sepenuhnya mendukung hak-hak asasi rakyat Papua Barat terhadap penentuan nasib sendiri sebagaimana ditetapkan dalam mukadimah konstitusi MSG,
 (2) MENYETUJUI bahwa kekhawatiran MSG mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk lain yang berkaitan dengan kekejaman terhadap Masyarakat Papua Barat akan diajukan bersama dengan pemerintah Indonesia secara bilateral maupun sebagai kelompok,
 (3) MENCATAT bahwa aplikasi dari WPNCL untuk menjadi anggota MSG telah diterima dan aplikasi akan ditinjau setelah pengajuan laporan FMM, dan
(4), MENYETUJUI roadmap seperti yang direkomendasikan oleh FMM mencakup: (a) bahwa MSG mengirim misi menteri luar negeri di tingkat FMM yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Fiji ke Jakarta dan kemudian ke Papua Barat pada tahun 2013 dan menerima undangan dari pemerintah Indonesia, (b) misi menteri luar negeri ini akan menyajikan laporannya kepada para pemimpin MSG pada kesempatan pertama dalam enam bulan ke depan,(c. WPNCL akan diberitahu secara resmi tentang keputusan para pemimpin MSG mengenai aplikasinya, dan (d). misi akan menjadi bagian dalam proses menentukan aplikasi keanggotaan WPNCL (Jubi)
Pada tanggal 15 Agustus 2013   secara resmi  Kantor Free West Papua Campaign  buka di Hague (International City of Peace and Justice) Belanda.
Dalam pertemuan Dewan Gereja Sedunia (WCC), 27 September 2013, di Geneva  Pdt. Socratez Sofyan Yoman (berdiri di podium), juga berbicara masalah hak Asasi Manusi di Papua .
Sidang tahunan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), 28 September 2013,  Perdana Menteri Vanuatu, Moana Karkas Kalosil, dalam debat forum Majelis Tinggi PBB.  meminta PBB untuk menunjuk seorang Wakil Khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia di propinsi Papua Indonesia, dan status politik mereka.

 24 Oktober 2013) Asian Human Rights Commission (AHRC) dan Human Rights and Peace for Papua (ICP) meluncurkan sebuah laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pegunungan Tengah Papua, Indonesia, selama tahun 1977–1978. Laporan ini membahas pelanggaran-pelanggaran atas Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang dilakukan pemerintah Indonesia pada periode tersebut dan ditujukan pada pengungkapan kebenaran. Laporan yang merupakan hasil penelitian selama tiga tahun oleh AHRC ini mengungkapkan kematian lebih dari 4,000 orang Papua, termasuk anak-anak, akibat operasi yang dilakukan oleh tentara Indonesia. http://www.humanrights.asia

Pada tanggal 5 November 2013 dalam sidang Umum Dewan Gereja Sedunia di Busan Korea selatan  merekomendasikan hak penentuan nasip sendiri bagi orang Papua Barat dan Gereja-Gereja di Papua Barat mempromosikan diri secara resmi bergabung dengan dewan gereja-gereja Pasifik.(Jubi)

16-18 November 2013. Perdana Menteri Vanuatu Moana Karkas Kalosil membawa pesan dukungan untuk Papua Barat kepada Commonwealth Kepala Pemerintah Rapat (CHOGM) di Kolombo, Sri Lanka. Perdana Menteri, setelah meninjau bagaimana Papua Barat, hak untuk menentukan nasib sendiri telah ditolak,namun ia mengatakan kepada para pemimpin Persemakmuran "kita tidak bisa terus menyangkal mereka hak-hak mereka, sehingga saya sebut pada upaya kolektif kita untuk mendukung perjuangan mereka." (suluhpapua)

Tgl 1 Desember 2013  Gubernur Port Moresby, Papua Nugini, Powes Parkop, secara resmi memperingati hari kemerdekaan Papua Barat,  di istana kantor Gubernur mengibarkan Bendera Bintang Kejora dan   Membuka kantor Free West Papua Kampaign.

13 desember 2013, Sebuah pengadilan Sydney University warga negara dipimpin oleh mantan jaksa agung NSW John Dowd, sekarang presiden Komisi Ahli Hukum Internasional,menemukan bahwa "sejumlah besar" orang Papua Barat telah disiksa dan dimutilasi.
Pengadilan mendesak Indonesia untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas "kejahatan terhadap kemanusiaan" ke pengadilan. Diperkirakan lebih dari 150 orang tewas dan mayat mereka dibuang di laut setelah protes Papua Barat yang mengangkat dilarang Papua Barat Bintang Kejora di Biak pada bulan Juni, 1998.

Dengan demikian maka Papua bukanlah Persoalan domestik Indonesia, tapi  sudah beralih pada Isu Internasional setingkat kawasan,

Oleh sebab itu, pemerintah melibatkan rakyat Papua melalui konsultasi dan komunikasi konstruktif guna secara bersama mencari dan menetapkan kebijakan yang dapat menyelesaikan konflik Papua.

Pemerintah Indonesia tidak perlu anggap remeh terhadap persoalan Papua. Papua sudah menjadi isu sentral bagi Dunia, maka  Pemerintah Indonesia harus mencari jalan keluar, untuk mengatasi  internasionalisasi masalah  Papua ini.

Ketika masalah telah berlangsung begitu lama, tanpa ada mencari jalan keluar pada saat itulah dialog diperlukan  sebagai langkah baru untuk mencari upaya penyelesaian.

Dialog merupakan solusi damai yang di tawarkan oleh rakyat Papua, dialog bukan para pejabat negara dari Jakarta  datang ke Papua  mengundang semua elemen masyarakat, siapkan hidangan  di sebuah Hotel atau restaurant semuanya kumpul disana, diskusi satu sama lain.

Dialog adalah tempat pertemuannya para pihak yang pertikai, melaui perwakilan-perwakilan yang di tunjuk oleh para pihak,.


Penulis adalah aktifis Baptis Voice Papua,

Sabtu, 05 Oktober 2013

ETAN Desak Presiden Obama untuk Pasang Hak Asasi Manusia di Pusat Hubungan AS-Indonesia Selama Kunjungan mendatang untuk Indonesia

2 Oktober 2013 - Timor Timur dan Indonesia Action Network ( ETAN ) hari ini mendesak Presiden Obama untuk menekankan hak asasi manusia dan supremasi hukum dalam hubungan AS-Indonesia . Presiden dijadwalkan melakukan perjalanan ke Indonesia akhir pekan ini .

"AS tidak harus mengabaikan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia untuk memajukan kepentingan strategis dan ekonomi sempit yang tak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat AS atau Indonesia , " kata Koordinator Nasional ETAN John M. Miller . "Sementara banyak yang berubah di Indonesia sejak kediktatoran Suharto , bantuan keamanan AS tidak mempromosikan perubahan lebih lanjut . Ia mendorong impunitas dan pelanggaran lebih lanjut dari hak asasi manusia . "

" Kami menyerukan hubungan baru antara kedua negara yang dibangun pada penilaian yang jujur ​​tentang masa lalunya yang berdarah , " kata Miller . " Alih-alih menawarkan lebih banyak senjata dan lebih banyak pelatihan untuk militer Indonesia , Presiden Obama harus menghentikan bantuan ini sampai ada mengakhiri pelanggaran dan akuntabilitas nyata bagi kejahatan HAM masa lalu . "


Sejak kunjungan terakhir Obama ke Indonesia , situasi hak asasi manusia telah memburuk di Papua Barat dan intoleransi agama telah tumbuh .
" Presiden Obama dapat mengirim pesan yang kuat melawan impunitas dengan membuat jelas bahwa dia dan dan pejabat senior AS lainnya tidak akan bertemu dengan politisi Indonesia - termasuk calon presiden kemungkinan , seperti pensiunan jenderal Prabowo dan Wiranto - yang telah dituduh melakukan hak asasi manusia dan kejahatan lainnya , " kata Miller .

Selama perjalanan yang direncanakan ke Bali , Indonesia , Obama akan menghadiri Asia Pacific Economic Cooperation ( APEC) dan terlibat dalam pembicaraan bilateral dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
ETAN telah mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan Timor - Leste di APEC , sejak Rapat pertama APEC Economic Leaders ' dekat Seattle pada tahun 1993 . Ketika pada tahun 1994 , APEC terakhir bertemu di Indonesia , demonstran Timor Timur menyita sorotan ketika mereka menaiki pagar kedutaan AS di Jakarta .

Politik Presiden
Salah satu pesaing utama untuk pemilihan presiden tahun depan , mantan Jenderal Prabowo Subianto , terkenal untuk mengarahkan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor - Leste , Jakarta , dan di tempat lain . Prabowo dipimpin pasukan khusus Kopassus terkenal Indonesia dan komandan pasukan strategis Indonesia kandidat lainnya adalah mantan Jenderal Wiranto , didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan berkaitan dengan tanggung jawab komando atas kejahatan berat di Timor - Leste sebagai menteri pertahanan dan komandan militer pada tahun 1999 . Keduanya dilarang dari perjalanan ke AS
Indonesia akan mengadakan pemilihan parlemen April mendatang 9. Putaran pertama pemilihan presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2014.

Papua Barat
Presiden AS Obama Bertemu dengan Presiden Indonesia SBY, November 2009
Pasukan keamanan Indonesia terus menekan kebebasan berekspresi di Papua Barat dan untuk terlibat dalam mematikan " menyapu " membuat penduduk dari rumah mereka . Pemerintah Indonesia terus demonstran damai penjara . Ini memegang puluhan tahanan politik dari Papua Barat dan di tempat lain . Akses ke Papua Barat oleh wartawan internasional , hak peneliti dan lain-lain tetap dibatasi . Papua Barat sedang mencari negosiasi internasional dimediasi dengan Jakarta pada status politik mereka dan isu-isu hak asasi manusia lainnya .

Intoleransi agama
Rumah ibadah agama minoritas menghadapi serangan fisik dan pengikut mereka menghadapi diskriminasi dan kekerasan fisik di berbagai daerah di Indonesia . Polisi dan pejabat publik sering menolak untuk membela orang-orang di bawah ancaman dan kadang-kadang mengambil sisi penyerang , menggunakan kantor mereka untuk menyebarkan kefanatikan dan menegakkan diskriminasi .
Bantuan Keamanan dan HAM

Pemerintah AS belum meminta maaf atas perannya dalam mendukung pelanggaran hak asasi manusia - termasuk kerjasama dengan kejang Suharto kekuasaan pada tahun 1965 dan pembunuhan massal berikutnya , omset Papua Barat ke Indonesia , dan dukungan dari invasi ilegal di Indonesia dan pendudukan Timor -Leste . Sebaliknya pemerintahan Obama telah bergerak lebih dekat - paling baru melalui penjualan mematikan helikopter serang Apache - untuk sebagian besar belum direformasi polisi bertanggung jawab atas banyak kejahatan militer dan Indonesia.

Helikopter dijual diumumkan pada akhir Agustus dan tidak mencakup kondisi penggunaannya. Helikopter akan meningkatkan kemampuan militer Indonesia untuk melakukan operasi " sweeping " di Papua Barat dan memperluas kapasitasnya untuk operasi tahap setelah gelap dan di daerah terpencil .

Penjualan ini merupakan langkah terbaru dalam Pentagon meningkat keterlibatan dengan militer Indonesia ( TNI ) . Pada tahun 1999 , pembatasan keterlibatan AS dengan militer Indonesia diperketat karena TNI dan milisi yang sedang menghancurkan Timor Timur (sekarang Timor Leste ) setelah referendum PBB dilakukan pada kemerdekaan. Melalui tahun 2000-an , pembatasan keterlibatan dengan militer Indonesia secara bertahap diangkat , meskipun belum bertanggung jawab atas kekejaman di Timor - Leste dan di seluruh nusantara , dan terus melanggar hak asasi manusia pelanggaran berlanjut di Papua Barat dan di tempat lain .

Pada bulan November 2010 , sebelum perjalanan sebelumnya ke Indonesia , ETAN mendesak Presiden "untuk tegas memutuskan hubungan dengan masa dukungan AS untuk penyiksaan, penghilangan , pemerkosaan , invasi dan pendudukan ilegal , pembunuhan di luar hukum dan pengrusakan lingkungan . Senjata AS , pelatihan , dukungan politis dan dukungan ekonomi Indonesia memfasilitasi kejahatan . Presiden Obama harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia dan Timor - Leste untuk peran AS dalam penderitaan mereka selama tahun-tahun Suharto dan untuk menawarkan belasungkawa ke banyak korban Soeharto di seluruh nusantara . "

TNI tidak bertanggung jawab kepada sistem peradilan sipil , juga TNI sebagai institusi subordinasi kebijakan pemerintah sipil atau pengendalian operasional . Selama beberapa dekade , TNI telah menarik dana dari jaringan yang luas dari bisnis yang legal maupun ilegal memungkinkan untuk menghindari bahkan sipil kontrol anggaran pemerintah. Legislasi untuk menahan TNI telah lemah dan hanya dilaksanakan sebagian . Pemerintah Indonesia tetap menolak untuk bekerja sama dengan Timor -Leste dan proses peradilan internasional.

Komisi Timor - Leste untuk Penerimaan , Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor - Leste ( CAVR ) mendesak negara-negara untuk "mengatur penjualan militer dan kerjasama dengan Indonesia secara lebih efektif dan memastikan dukungan itu benar-benar tergantung pada perkembangan menuju demokrasi penuh , subordinasi militer aturan hukum dan pemerintah sipil, dan kepatuhan penuh terhadap hak asasi manusia internasional , termasuk penghargaan terhadap hak penentuan nasib sendiri . "
ETAN , dibentuk pada tahun 1991 , para pendukung demokrasi , keadilan dan hak asasi manusia untuk Timor - Leste dan Indonesia . Sejak didirikan, ETAN telah bekerja dengan kondisi militer AS dan bantuan lainnya ke Indonesia menghormati hak asasi manusia dan reformasi sejati .

Senin, 02 September 2013

Penyebab separo punahnya bahasa ibu di Papua

275 Bahasa tinggal 130 Bahasa yang aktif 
Sumber Institute of linguistic International (SIL)  Papua mencatat, dari 275 bahasa bahasa ibu yang ada di Papua 130  bahasa yang masih aktif digunakan oleh masyarakat asli setempat. Sementara lainnya dalam posisi terancam bahkan sebagian telah punya seiring  dengan perkembangan jaman.
Salah satu penelitih SIL papua Jaclin mengaku, temuan ini berdasarkan hasil penelitian yang di lalukan setiap 10 tahun sekali sejak 1963. Penelitian itu di lakukan berdasarkan demografi dan ketahanan bahasa.
Beberapa faktor yang menyebabkan  terancam bahasa ibu tersebut, bahkan telah punah, menurut Jacklin. Antara lain karena bahasa Indonesia di gunakan lebih dominan di masyarakat asli Papua.
Bahasa Indonesia di pakai dalam bahasa berinteraksi satu dengan yang lain mulai dari tingkat  kota  sampai di pelososk kampong. Penyebab lainya perkawinan  campur antara satu suku dengan suku yang lain dan akibat perang suku sehingga bahasa di musnahkan
“Ketahan bahasa sampai saat ini dari 275 bahasa yang ada, sebenarnya hanya 130 bahasa yang masih kuat. Sementara sisanya ada pada posisi terancam sampai punah,”
Penelitih SIL  papua. Jeclin mencontohkan bahasa yang sudah punah, bahasa Dusnar, dan Tandia di wilayah kabupaten Teluk Wondama Papua Barat. Di sana masyarakat asli  daerah setempat lebih cenderung menggunakan bahasa Wandamen  dan bahasa melayu atau Indonesia , kemudian bahasa Tofanma  di wilayah Namla dan bahasa Samponi di wilayah kabupaten Waropen.

Jeclin menabahkan meski sebagian bahasa tersebut bahasa tersubut terancam bahkan telah punah namun sebagai bentuk penghargaan, SIL papua tetap memasukan bahasa-bahasa tersut kedalam daftar bahasa 275 bahasa ibu yang ada di Papua. Bahkan telah di masukan ke dalam kamus ensikolopedia yang di publikahikan ke seluruh dunnia.( Koran suluh papua hal 5, edisi sabtu 31 august 2013)

Rabu, 14 Agustus 2013

SIKAP PIMPINAN MSG TENTANG HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI ORANG PAPUA PENTING

Perkembangan positif dari penyelenggaraan Pertemuan Tingkat Tinggi Pemimpin Melanesian Sperahead Group [MSG] Juni 2013 yang lalu di Noumea-Kanaky adalah untuk pertama kalinya ada Pemimpin Negara resmi yang menyatakan menyetujui bahwa mereka [MSG] mendukung sepenuhnya hak-hak asasi rakyat Papua Barat terhadap penentuan nasib sendiri sebagaimana ditetapkan dalam mukadimah konstitusi MSG sendiri. Selama ini dari pengalaman yang ada, belum pernah ada pemmpin negara manapun di dunia yang secara terang-terangan mengakui dan atau mendukung sepenuhnya hak-hak asasi orang Papua untuk menentukan nasib sendiri. Hanya pernah ada pernyataan dari Pimpinan Gereja-Gereja Se-Dunia maupun Gereja-Gereja Pasifik bahkan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua juga pernah menyatakan pandangannya soal hak menentukan nasiba sendiri Orang Papua, bahkan pimpinan Gereja seperti Uskup Agung Desmond Tutu dari Zimbabwe pernah menegaskan hal yang sama. Pernyataan yang sangat monumental tersebut masih diikuti dengan pernyataan lain bahwa MSG memiliki kekhawatiran mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk lain yang berkaitan dengan kekejaman terhadap rakyat Papua Barat. Inilah yang menjadi dasar mengapa ada rencana kunjungan misi Menteri Luar Negeri MSG ke Indonesia belakangan ini. Satu hal penting yang perllu dicatat oleh rakyat Papua dan Pimpinan Negara Indonesia bahwa pernyataan resmi para Pemimpin MSG tersebut adalah fakta dan sulit ditarik kembali sampai kapanpun dan telah membawa akibat baru yang cukup menghebohkan pula. Dimana pada akhir Juli 2013 lalu sejumlah anggota Parlemen Tinggi Kerajaan Inggris telah mengadakan perdebatan resmi tentang Papua, dimana mereka telah menyampaikan keberatan mereka tentang situasi HAM dan memanggil Perdana Menteri Inggris untuk mengambil posisi yang lebih tegas. Bahakan beberapa dari para anggota Parlemen Tinggi Kerajaan tersebut mentakan bahwa mereka mendukung kebutuhan untuk referendum tentang nasib Papua. Hal ini bahkan terjadi hanya dalam waktu 2 [dua] minggu setelah situasi Papua dikemukakan di Dewan Hak Asasi Manusia [HAM] PBB di Jenewa-Swiss. Dengan demikian saya ingin menyampaikan pesan sebagai salah satu advokat senior dan pembela HAM di Tanah Papua bahkan pernah meraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada kepada para Pemimpin Dunia seperti Preside Barack Obama dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Australia Kevin Ruud bahkan Kongres Amerika dan Parlemen Australia serta yang utama adalah Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda dan Perdana Menteri serta Parlemen Belanda dan Bundestag [Parlemen] Jerman untuk segera menyimak perkembangan luar biasa ini. Demikian komentar ! Peace, Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari.-

Sabtu, 29 Juni 2013

PEPERA 1969 DI PAPUA ADALAH SEJARAH PALSU DAN CACAT HUKUM

Ndumma Socratez Sofyan Yoman
(Foto:Album Pribadi)
Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu membanggakan diri dengan klaim bahwa Papua adalah bagian Indonesia yang sudah final melalui PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda sehingga otomatis masuk dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaannya ialah (1) Menpaga penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? Jawaban dari tiga pertanyaan ini adalah Perlawanan rakyat Papua yang menuntut rasa keadiaan adalah beralasan. Karena Kalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR. Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200). Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai berikut:Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan Republik Indonesia†(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000). Tidak saja masyarakat asli Papua yang melakukan perlawanan aneksasi Papua dan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, perwakilan Persirikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi PEPERA 1969 di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan dalam melaporkannya :Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.[1] Ortiz menyatakan pula, Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47). Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat take note. Istilah œtake note itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: 156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral (Sumber resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5). Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke.[2] Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:
a.      Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
b.     Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c.      Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
d.     Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e.    Mengapa prinsip one man, one vote yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f.     Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
g.     Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h.    Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?[3] Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut: Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua (hal. 784).
Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga menemukan bukti-bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses situ jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Drooglever mengatakan, œmenurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia (hal. 783). Ini bertentangan dengan karakter nasional yang sama sekali berbeda, dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua (2010: hal.775).Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis. Sebagian besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia, sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu. Mr. Saltimar adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).Akademisi Inggris, Dr. John Saltford yang melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur (John Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan, bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun 1969 adalah melawan Indonesia, dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia dan setuju referendum secara jujur dan terbuka.Karena itu, Ortiz Sanz sendiri memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB, atau dia telah disampaikan untuk melakukan pembohongan itu oleh U.Thant. Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui orang-orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka.Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain). Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat  tetapi juga dating dari pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126). Akibat dari rekayasa dan kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 ini, belakangan ini datang berbagai tekanan dan gelombang protes untuk tinjau kembali status politik Papua. Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, Pada tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan operasi yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu Act of No Choice atau hukum yang tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status politik wilayah itu. Perwakilan PBB dikirm untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan dan laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsaâ€. Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,  “…Referendum (PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk melaksanakan pemerimaan PEPERA 1969 itu. Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua). Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969. Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 Act of Free Choice 1969. Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia yang penuh rekayasa, kepalsuan dan cacat hukum seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh.
Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua









RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...