Senin, 07 Oktober 2013

West Papuans 'tortured, terrorised'

Indonesia has been accused of using torture as a ''mode of governance'' in West Papua - security forces have committed at least one incident of torture, on average, every six weeks for the past half century, a study has found.
The research, which collected documentation on 431 cases of torture from 1963 to 2010, found that most West Papuans tortured were ''innocent civilians'' targeted as part of a ''policy of terror''. In only 0.05 per cent of torture cases reviewed were the accused found to be members of the armed resistance. Victims were most commonly farmers and students.
A low-level separatist insurgency has been waged in the former Dutch colony since Indonesia took control of the province in 1963.
Researcher Budi Hernawan, a Catholic brother, said he believed the incidences of torture over the 48-year period were much higher than the 431 cases he drew on.

His findings came to light as three West Papuan activists climbed into the Australian consulate in Bali on Sunday to deliver a letter to Prime Minister Tony Abbott calling for international journalists to be allowed into West Papua and for the release of political prisoners from Indonesian jails. Last week Mr Abbott told journalists he was confident West Papuans could have ''the best possible life … as a part of an indissoluble Indonesia''.
Dr Hernawan, who worked with the Catholic Commission for Justice and Peace in the West Papuan capital of Jayapura for more than a decade, collected the information on torture from the records of local and international human-rights organisations, churches and anthropologists.
Human-rights researchers affirmed the key finding of the study, which was conducted as part of Dr Hernawan's PhD, that ''torture has been deployed strategically by the Indonesian state in Papua as a mode of governance''. The study says Indonesian forces carried out torture as a public spectacle to achieve ''maximum terrifying impact'' on the civilian population in the Papuan provinces, doing so with ''almost complete impunity''.
Torture included beating, kicking, burning, stabbing, shooting, rape, starvation, forced exercise and public humiliation and was carried out by military personnel and to a lesser extent police officers.
In response, the Indonesian embassy in Canberra said: ''Budi's [Hernawan] research at the ANU and the conclusion he arrives at adds to the rich and open discourse of Indonesian history, but any allegation of torture would be met swiftly by the Indonesian people and media themselves, who are ever more critical of any human-rights abuses and the slightest government improprieties.''
Human-rights researcher Abigail Abrash Walton, from the University of Antioch in New England, said torture was a ''systematic strategy for dealing with guerilla warfare'' and had remained the same regardless of changes in Indonesian leadership.
Torture in Papua made international headlines in 2010 when Fairfax Media published a mobile phone video showing two men, Tunaliwor Kiwo and Telangga Gire, being interrogated by Indonesian security forces, one with a knife to his throat and the other screaming as a burning stick was poked at his genitals.
Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono condemned the action and promised a transparent investigation, but the three soldiers each received a sentence of less than a year.
Mr Abbott's office did not respond to a request for comment.






Sabtu, 05 Oktober 2013

ETAN Desak Presiden Obama untuk Pasang Hak Asasi Manusia di Pusat Hubungan AS-Indonesia Selama Kunjungan mendatang untuk Indonesia

2 Oktober 2013 - Timor Timur dan Indonesia Action Network ( ETAN ) hari ini mendesak Presiden Obama untuk menekankan hak asasi manusia dan supremasi hukum dalam hubungan AS-Indonesia . Presiden dijadwalkan melakukan perjalanan ke Indonesia akhir pekan ini .

"AS tidak harus mengabaikan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia untuk memajukan kepentingan strategis dan ekonomi sempit yang tak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat AS atau Indonesia , " kata Koordinator Nasional ETAN John M. Miller . "Sementara banyak yang berubah di Indonesia sejak kediktatoran Suharto , bantuan keamanan AS tidak mempromosikan perubahan lebih lanjut . Ia mendorong impunitas dan pelanggaran lebih lanjut dari hak asasi manusia . "

" Kami menyerukan hubungan baru antara kedua negara yang dibangun pada penilaian yang jujur ​​tentang masa lalunya yang berdarah , " kata Miller . " Alih-alih menawarkan lebih banyak senjata dan lebih banyak pelatihan untuk militer Indonesia , Presiden Obama harus menghentikan bantuan ini sampai ada mengakhiri pelanggaran dan akuntabilitas nyata bagi kejahatan HAM masa lalu . "


Sejak kunjungan terakhir Obama ke Indonesia , situasi hak asasi manusia telah memburuk di Papua Barat dan intoleransi agama telah tumbuh .
" Presiden Obama dapat mengirim pesan yang kuat melawan impunitas dengan membuat jelas bahwa dia dan dan pejabat senior AS lainnya tidak akan bertemu dengan politisi Indonesia - termasuk calon presiden kemungkinan , seperti pensiunan jenderal Prabowo dan Wiranto - yang telah dituduh melakukan hak asasi manusia dan kejahatan lainnya , " kata Miller .

Selama perjalanan yang direncanakan ke Bali , Indonesia , Obama akan menghadiri Asia Pacific Economic Cooperation ( APEC) dan terlibat dalam pembicaraan bilateral dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
ETAN telah mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan Timor - Leste di APEC , sejak Rapat pertama APEC Economic Leaders ' dekat Seattle pada tahun 1993 . Ketika pada tahun 1994 , APEC terakhir bertemu di Indonesia , demonstran Timor Timur menyita sorotan ketika mereka menaiki pagar kedutaan AS di Jakarta .

Politik Presiden
Salah satu pesaing utama untuk pemilihan presiden tahun depan , mantan Jenderal Prabowo Subianto , terkenal untuk mengarahkan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor - Leste , Jakarta , dan di tempat lain . Prabowo dipimpin pasukan khusus Kopassus terkenal Indonesia dan komandan pasukan strategis Indonesia kandidat lainnya adalah mantan Jenderal Wiranto , didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan berkaitan dengan tanggung jawab komando atas kejahatan berat di Timor - Leste sebagai menteri pertahanan dan komandan militer pada tahun 1999 . Keduanya dilarang dari perjalanan ke AS
Indonesia akan mengadakan pemilihan parlemen April mendatang 9. Putaran pertama pemilihan presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2014.

Papua Barat
Presiden AS Obama Bertemu dengan Presiden Indonesia SBY, November 2009
Pasukan keamanan Indonesia terus menekan kebebasan berekspresi di Papua Barat dan untuk terlibat dalam mematikan " menyapu " membuat penduduk dari rumah mereka . Pemerintah Indonesia terus demonstran damai penjara . Ini memegang puluhan tahanan politik dari Papua Barat dan di tempat lain . Akses ke Papua Barat oleh wartawan internasional , hak peneliti dan lain-lain tetap dibatasi . Papua Barat sedang mencari negosiasi internasional dimediasi dengan Jakarta pada status politik mereka dan isu-isu hak asasi manusia lainnya .

Intoleransi agama
Rumah ibadah agama minoritas menghadapi serangan fisik dan pengikut mereka menghadapi diskriminasi dan kekerasan fisik di berbagai daerah di Indonesia . Polisi dan pejabat publik sering menolak untuk membela orang-orang di bawah ancaman dan kadang-kadang mengambil sisi penyerang , menggunakan kantor mereka untuk menyebarkan kefanatikan dan menegakkan diskriminasi .
Bantuan Keamanan dan HAM

Pemerintah AS belum meminta maaf atas perannya dalam mendukung pelanggaran hak asasi manusia - termasuk kerjasama dengan kejang Suharto kekuasaan pada tahun 1965 dan pembunuhan massal berikutnya , omset Papua Barat ke Indonesia , dan dukungan dari invasi ilegal di Indonesia dan pendudukan Timor -Leste . Sebaliknya pemerintahan Obama telah bergerak lebih dekat - paling baru melalui penjualan mematikan helikopter serang Apache - untuk sebagian besar belum direformasi polisi bertanggung jawab atas banyak kejahatan militer dan Indonesia.

Helikopter dijual diumumkan pada akhir Agustus dan tidak mencakup kondisi penggunaannya. Helikopter akan meningkatkan kemampuan militer Indonesia untuk melakukan operasi " sweeping " di Papua Barat dan memperluas kapasitasnya untuk operasi tahap setelah gelap dan di daerah terpencil .

Penjualan ini merupakan langkah terbaru dalam Pentagon meningkat keterlibatan dengan militer Indonesia ( TNI ) . Pada tahun 1999 , pembatasan keterlibatan AS dengan militer Indonesia diperketat karena TNI dan milisi yang sedang menghancurkan Timor Timur (sekarang Timor Leste ) setelah referendum PBB dilakukan pada kemerdekaan. Melalui tahun 2000-an , pembatasan keterlibatan dengan militer Indonesia secara bertahap diangkat , meskipun belum bertanggung jawab atas kekejaman di Timor - Leste dan di seluruh nusantara , dan terus melanggar hak asasi manusia pelanggaran berlanjut di Papua Barat dan di tempat lain .

Pada bulan November 2010 , sebelum perjalanan sebelumnya ke Indonesia , ETAN mendesak Presiden "untuk tegas memutuskan hubungan dengan masa dukungan AS untuk penyiksaan, penghilangan , pemerkosaan , invasi dan pendudukan ilegal , pembunuhan di luar hukum dan pengrusakan lingkungan . Senjata AS , pelatihan , dukungan politis dan dukungan ekonomi Indonesia memfasilitasi kejahatan . Presiden Obama harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia dan Timor - Leste untuk peran AS dalam penderitaan mereka selama tahun-tahun Suharto dan untuk menawarkan belasungkawa ke banyak korban Soeharto di seluruh nusantara . "

TNI tidak bertanggung jawab kepada sistem peradilan sipil , juga TNI sebagai institusi subordinasi kebijakan pemerintah sipil atau pengendalian operasional . Selama beberapa dekade , TNI telah menarik dana dari jaringan yang luas dari bisnis yang legal maupun ilegal memungkinkan untuk menghindari bahkan sipil kontrol anggaran pemerintah. Legislasi untuk menahan TNI telah lemah dan hanya dilaksanakan sebagian . Pemerintah Indonesia tetap menolak untuk bekerja sama dengan Timor -Leste dan proses peradilan internasional.

Komisi Timor - Leste untuk Penerimaan , Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor - Leste ( CAVR ) mendesak negara-negara untuk "mengatur penjualan militer dan kerjasama dengan Indonesia secara lebih efektif dan memastikan dukungan itu benar-benar tergantung pada perkembangan menuju demokrasi penuh , subordinasi militer aturan hukum dan pemerintah sipil, dan kepatuhan penuh terhadap hak asasi manusia internasional , termasuk penghargaan terhadap hak penentuan nasib sendiri . "
ETAN , dibentuk pada tahun 1991 , para pendukung demokrasi , keadilan dan hak asasi manusia untuk Timor - Leste dan Indonesia . Sejak didirikan, ETAN telah bekerja dengan kondisi militer AS dan bantuan lainnya ke Indonesia menghormati hak asasi manusia dan reformasi sejati .

Jumat, 04 Oktober 2013

Mencari Solusi untuk Konflik Papua

Oleh: Dr.Neles Tebay,Pr

Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua

Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka.
Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten.
Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah.
Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B).
Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini.
Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua?

Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif.
Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan.
Pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan.
Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflikPapua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM.

Penulis Adalah: Dosen STFT Fajar Timur Abepura dan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di  Papua

Bisa lihat Juga:

http://www.jdp-dialog.org/kolom/opini-publik/728-mencari-solusi-untuk-konflik-papua



Sabtu, 28 September 2013

Consultation urges protection of human rights in Papua

A consultation in Geneva termed political dialogue as the only way towards peace and stability in Tanah Papua, a province of Indonesia. The region has remained the focus of tensions between the Indonesian authorities and the Papuan indigenous people for years – resulting in grave human rights violations.
Rev. Socratez Sofyan Yoman
Hosted by the World Council of Churches (WCC), the consultation titled “Human Rights and Peace for Papua” was organized by the International Coalition for Papua (ICP), a group of faith-based and civil society organizations.
The event brought together a number of faith-based and civil society organizations, church leaders from Tanah Papua, peace activists and United Nations officials, from 23 to 24 September in Geneva, Switzerland.
Participants in the consultation discussed various aspects of the crisis in Tanah Papua, stressing the need for institutional reforms to protect civil, political, socio-economic and cultural rights of the people. They noted the need to promote freedom of expression to avoid Papua becoming isolated from international support.
Rev. Socratez Sofyan Yoman from the Communion of Baptist Churches in Papua and a keynote speaker at the consultation, expressed deep distress over state violence in Tanah Papua.
“Papuans want peace and have always respected other human beings throughout the ages.”
“A lengthy struggle will be needed to change the government policies which have been implemented for the last five decades,” said Yoman referring to on-going violence in the province.
He added that finding a political solution also needs “patience and total commitment to achieve lasting justice, reform and final victory”.
Tanah Papua has a prominent Christian presence, with more than 45 diverse denominations.

Ending violence in Papua

Leonard Imbiri, general secretary of the Papua Customary Council, shared concern over the silencing of human right activists in Tanah Papua. Explaining the situation in the province, he called exploitation of natural resources, military interests in the region and demographic changes as only some of the sources of the problem.
“Extra-judicial killings, torture, arbitrary arrests, poor health and education infrastructure, child mortality and high HIV/AIDS rates, land grabbing and deforestation are a few examples of human rights violation, indicating inability of the national government to deliver,” Imbiri added.
WCC’s programme executive for human rights and global advocacy, Christina Papazoglou, referred to the long-standing support of the WCC to the struggle of the indigenous people of Tanah Papua and for an end to the on-going violence and impunity. She highlighted the need for a Jakarta-Papua dialogue as a means to address the root causes of the present problems, leading to peace with justice in the region.
“It is sad and worrisome to see that after all these years, nothing has really changed,” added Papazoglou.
Mentioning the WCC Executive Committee statement issued in February 2012, Papazoglou said that the Indonesian authorities were requested to take necessary steps to release political prisoners, to lift the ban on peaceful assembly of Papuans and to demilitarize Tanah Papua.
“The WCC Executive Committee urged the Indonesian government to initiate necessary steps to enter into dialogue with indigenous Papuan people and to take adequate measures to protect their rights,” she said.
The international consultation was followed by a side-event on “Human Rights and Indigenous Peoples in Asia: Cases in West Papua” organized jointly by the Asia Human Rights Commission, the WCC’s Commission of Churches on International Affairs, Franciscans International, Geneva for Human Rights, the International Coalition for Papua, Tapol and the World Organisation against Torture. The consultation took place on 25 September at the United Nations Human Rights Council in Geneva.

Senin, 23 September 2013

Socratez: Papua Dapat Dukungan Internasional Karena Gereja

JAYAPURA - Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Socratez Yoman, mengatakan, masalah Aceh dan Papua sangat berbeda. Di mana, Aceh walaupun ada Kantor GAM di Swedia tetapi tidak pernah ada dukungan komunitas internasional, karena Aceh menggunakan pasukan militer GAM.
  Berikutnya, Aceh mendapatkan simpati dan didukung internasional karena adanya bencana Tsunami yang menyebabkan ratusan ribu jiwa manusia hilang. Kemudian, Aceh sejak awal sudah bagian dari perjuangan kemerdekaan negara RI. 
  Bukan itu saja, komunitas muslim di tingkat Internasional tidak banyak peduli dengan perjuangan GAM, karena internal kaum Muslim banyak konflik di antara negara-negara Muslim sendiri. Walaupun demikian, Aceh pernah merdeka dengan nama Negara Nangroe Aceh.
Sementara masalah Papua sendiri, sebagai berikut, pertama, Papua mendapatkan dukungan kuat komunitas Internasional karena ada hubungan langsung dengan Gereja-Gereja di Papua dan di seluruh dunia,
Pdt. Socratez Sofya Yoman. MA

“Jadi melawan dan menindas orang asli Papua berarti Pemerintah RI sedang menindas, memeras, menyiksa, menghukum, memenjarakan dan membunuh bagian dari anggota tubuh Kristus dan Gereja yang amanah di seluruh dunia,” tandasnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Minggu, (21/9).
  Kondisi ini, jika dilihat, Pemerintah RI dengan tindakan memecah-belah Gereja-Gereja di Papua dan diberikan stigma Separatisme secara tidak langsung, itu berarti  Pemerintah RI sedang mengganggu keutuhan dan kesatuan Gereja-Gereja di seluruh dunia.
  Dirinya juga mempertanyakan, kapan Gereja-Gereja di seluruh dunia bersuara masalah ‘pembantaian’  warga Gereja selama 50 tahun? Tentunya tidak, sehingga Pemerintah RI jangan salahkan kalau kedepannya Gereja-Gereja di dunia menyuarakan Papua harus merdeka dan berdiri sendiri.
  Kedua, rakyat Papua berjuang dengan pola damai, lobi, diplomasi dengan dana terbatas dan personil yang terbatas. Tapi rakyat Papua membawa dan mengkampanyekan dengan data-data pelanggaran berat HAM, kemiskinan diatas kekayaan alam yang melimpah, kesehatan dan pendidikan dengan Puskesmas dan Inpres yang tidak efektif dan amburadul.
Ketiga, dialog damai antara Pemerintah RI dan rakyat Papua tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral. Keempat, Papua pernah Merdeka 1 Desember 1961 yang dibubarkan Ir. Soekarno. Kelima, Pepera 1969 tidak demokratis dan dimenangkan oleh ABRI. Keenam, Papua adalah persoalan Internasional karena ada keterlibatan PBB, Amerika dan Belanda. Ketujuh, rakyat tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan RI, walau ada Silas Papare dan kawan-kawan direkrut setelah kemerdekaan NKRI Tahun 1945.
 Kedelapan, Otonomi khusus 2001 solusi terbaik  tapi telah gagal total, dan UP4B dan Otsus Plus sebagai cara pemerintah RI menghibur diri kegagalannya selama 50 tahun. Kemudian Pemerintah RI mau cari istilah apa lagi untuk menipu rakyat Papua dan komunitas Internasional.
  “Rakyat Papua sudah kehilangan Trust kepada Pemerintah RI. Apalagi Sri Sultan Hamengkubuwono X, Negarawan dan Bangsawan memberikan kesimpulan jujur pada 15 Mei 2013 bahwa Pemerintah RI telah gagal meng-Indonesiakan rakyat Papua selama 50 tahun,” tandasnya.(Nls/Don/l03)

Sabtu, 21 September 2013

Koordinator Jaringan Damai Papua Jadi Penasihat Komnas HAM


DR. Neles Kebadabi Tebay,Pr
Jayapura: Neles Tebay, penulis buku Dialog Jakarta-Papuayang juga koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal tersebut disampaikan oleh komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Pelanggaran HAM, Natalius Pigai, saat di Kota Jayapura, Papua, Jumat (20/9). "Iya, Pastor Neles Tebay, satu-satunya yang berasal dari luar Pulau Jawa yang terpilih menjadi anggota Dewan Penasihat Komnas HAM," katanya. 
 Menurutnya ada sejumlah nama lainnya selain Neles Tebay, yang terpilih menjadi anggota Dewan Penasihat Komnas HAM. "Ada juga nama-nama lainnya, dan mereka dalam waktu dekat ini akan dikukuhkan. Jadi tugas Pak Neles adalah memberikan masukan, saran, pertimbangan, solusi dan hal positif lainnya terkait kinerja Komnas HAM," katanya. Natalius mengatakan, dirinya bersama Sriyana dan sejumlah stafnya berada di ibu kota Provinsi Papua karena dua hal, pertama mencari masukan tentang program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) serta penyusunan UU Otonomi Khusus (Otsus) Plus yang di dalamnya diduga dikutip dari Nangroe Aceh Darussalam. "Komnas HAM kekurangan data sehingga perlu turun langsung ke sejumlah daerah di Papua untuk mencari masukan tentang MIFFE dan penyusunan draf Otsus Plus, karena kami hanya melihat dan membaca berita lewat media,"katanya.Menurutnya, program MIFFE jika tidak diperhatikan dan ditangani secara baik dan benar, masalah ekonomi, budaya dan sosial masyarakat setempat akan tergusur.

"Kami sudah lakukan pertemuan dengan sejumlah pihak di Merauke, dengan mendatangi Kampung Senegi. Termasuk berbicara dengan bupati, pihak perusahaan, dan sejumlah pihak terkait lainya," katanya.

"Sedangkan terkait draf Otsus Plus, kami sudah lakukan pertemuan dengan beberapa orang berkompeten di antaranya Pak Socrates Sofyan Yoman dari tokoh agama, Weynan Watori dari komisi A DPR Papua dan prakitisi kampus Universitas Cendrawasih," katanya.

Pater Neles Tebay mengaku masih harus banyak belajar apa saja yang perlu dilakukan. "Saya berterima kasih. Dan terkait hal itu, saya masih harus belajar banyak apa saja tugas yang dibebankan pada lembaga tersebut," katanya. (Antara)

 http://www.metrotvnews.com

PELAKU PEMBUNUHAN MISTERIUS DI Papua DILAKUKAN OLEH ORANG PAPUA.

Beberpa kali pembunuhan secara sitematis dan misterius terjadi di sorong selatan dan di sorong Kota , dari pembunuhan misterius terjadi di wilayah kepala burung tersebut menelan 11 orang jadi korban pembunuhan misterius,. Ternayata pembunuhan misterius di sorong selatan itu dilakukan oleh orang papua yang dipasang oleh NKRI, dengan memfasilitasi peralatan lengkap dan uang puluhan juta perkepala.


Hal ini telah terbukti pada hari Selasa 17 September 2013 dengan ditangkapnya pelaku yang selama ini melakukan pembunuhan oleh masyarakat di sorong selatan , tempatnya di kampung kakas, dimana masyarakat berhasil menangkap dua (2) orang asli papua masing-masing Edison momot dan Daud Sarawan. setelah ditangkap dua orang tersebut masyarakat melakukan diinterviw, lalu mereka mengaku bahwa, mereka dua sedang dipakai oleh Negara Indonesia untuk membunuh orang Papua. Dengan menawarkan gaji per bulan 15 juta, dan mereka berhasil membunuh orang papua maka tawaranya satau kepala 25 juta. Target mereka adalah bagimana menghabiskan orang papua pada umumnya dan lebih khusus adalah orang -orang Papua yang saat ini bicara papua merdeka. Hal yang sama saat ini sedang terjadi di jayapura, dimana para kepala-kepala suku dan RT/RW difasilitasi oleh polda papua dengan sejumlah uang melakukan teror terhadap aktifis Papua merdeka. bahkan para kepala-kepala suku dan RT/RW ditekan degan uang banyak oleh polda akhirnya melarang masyarakat untuk tidak ikut demo bahkan mengancam masyarakat yang ikut demo Papua merdeka dengan KNPB.

beberapa kepala suku yang kami kantongi nama -nama mereka yang dipakai oleh Poldaa dan polresta adalah kepala Suku di angkasa, di Yapis, RT di Dong 9, kepala suku di Entrop dan di Pos 7 sentani. penagkapan beberapa aktivis KNPB di jayapura beberapa hari lalu adalah bagian dari itu juga
oleh sebab itu kami meminta kepada para kepala suku dan RT/RW untuk menhetikan aktifitas menjadi mata-mata NKRI, jika mereka terus menjadi informen berarti mereka adalah musuh abadi bagi rakyat Papua, sorong sampai merauke.

Sumber KNPB wilayah sorong - Published by.Nesta Gimbal`

Senin, 09 September 2013

Failure to deliver full justice for the killing of human rights defender Munir

Munir
Nine years after the killing of human rights defender Munir Said Thalib, Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono must take decisive and concrete action to ensure those responsible – including those at the highest levels – are brought to justice, and that all defenders of human rights are better protected. 

President Yudhoyono, who has himself described Munir’s case as a “test of our history” has just one year of his presidency remaining, in which to ensure full justice and reparations are delivered. The President’s failure so far to do so, at a time the protection of human rights defenders across the country remains seriously under threat, raises serious questions about his legacy. 

One of Indonesia’s most prominent human rights campaigners, Munir took up the cause of dozens of activists who had been subjected to enforced disappearance. He co-founded two human rights organizations, helped to uncover evidence of military responsibility for human rights violations in Aceh, Papua and Timor-Leste (formerly East Timor), and made recommendations to the government on bringing high-ranking officials to justice. In September 1999, he was appointed to the Commission of Inquiry into Human Rights Violations in East Timor (KPP-HAM). 

On 7 September 2004, Munir was found dead on a flight from Jakarta to the Netherlands. An autopsy carried out by the Dutch authorities showed that he had been poisoned with arsenic. Munir had been in constant danger as a result of his human rights work. In 2002 and 2003, his office was attacked, and in August 2003, a bomb exploded outside his home in Bekasi, West Java. 

Although three people have now been convicted for their involvement in Munir’s death, there are credible allegations that those responsible for his death at the highest levels have not been brought to justice. Further, President Yudhoyono has still not published a 2005 report into Munir’s killing by an independent fact-finding team, despite such a recommendation in his decree on its establishment. 

The continuing lack of full accountability for Munir’s killing is a chilling reminder to human rights defenders in Indonesia of the dangers they face and the utter disregard Indonesian authorities have for their crucial work. 

We, the undersigned international, regional and local civil society organizations from Cambodia, France, Germany, Indonesia, Malaysia, the Netherlands, New Zealand, Thailand, Timor-Leste, Philippines, Singapore and the United Kingdom therefore urge the President of Indonesia to ensure that the following steps are taken as a matter of priority: 

- Publication of the 2005 report of the fact-finding team into Munir’s killing as a key step towards establishing the truth; 

- A new, independent investigation is initiated by the police into the murder of Munir to ensure that all perpetrators, at all levels, are brought to justice in accordance with international human rights standards; 

- A review of past criminal proceedings is conducted by the Attorney General into Munir’s killing, including alleged violations of international human rights standards; in particular, investigate reports of witness intimidation and bring those suspected of committing them to justice; 

- Effective steps are taken to ensure that human rights violations committed against all human rights defenders are promptly, effectively and impartially investigated and that those responsible are brought to justice in fair trials; and 

- The passage of specific legislation aimed at providing better legal protection for human rights defenders. 

This joint statement is endorsed by: 

1. ACAT (Action des Chrétiens pour l’Abolition de la Torture), France
2. Aceh Online, Indonesia
3. Alternative ASEAN Network on Burma (Altsean-Burma)
4. Amnesty International
5. Article 19
6. Arus Pelangi, Indonesia
7. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) Indonesia
8. Asia Indigenous Peoples Pact
9. Asia Monitor Resource Centre, Hong Kong
10. Asian Human Rights Commission (AHRC)
11. Asian Muslim Action Network, Indonesia
12. Asia Pacific Human Rights Coalition, New Zealand
13. Asosiasi LBH APIK, Indonesia
14. Badan Advokasi Rakyat (BARA) Persatuan Indonesia (Perindo)
15. Cambodian Center for Human Rights(CCHR), Cambodia
16. Cambodian Human Rights and Development Association (ADHOC)
17. Cambodian League for the Promotion & Defense of Human Rights (LICADHO)
18. Center for Human Rights Law Studies (HRLS) Faculty of Law, Airlangga University, Indonesia
19. Centre for Human Rights Studies University of Surabaya, Indonesia
20. Center for Human Rights Studies of Islamic University of Indonesia
21. Children’s Human Rights Foundation (Yayasan Pemantau Hak Anak/YPHA), Indonesia
22. Community Legal Education Center (CLEC), Cambodia
23. Cross Cultural Foundation, Thailand
24. Dignity International
25. FORUM-ASIA (Asian Forum for Human Rights and Development)
26. Foundation Pro Papua, the Netherlands
27. GANDA Filipinas, Phillipines
28. Housing Rights Task Force (HRTF), Cambodia
29. Human Rights Ambassador for Salem-News.com, UK
30. Human Rights Foundation of Aotearoa New Zealand, New Zealand
31. Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia
32. IMBAS, Germany
33. IMPARSIAL, The Indonesian Human Rights Monitor
34. Indonesia for Humans, Indonesia
35. Indonesian Forum for Budget Transparency (FITRA)
36. Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PBHI)
37. Indonesian Planned Parenthood Association (PKBI), Indonesia
38. Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam), Indonesia
39. Jakarta Legal Aid Institute (LBH Jakarta), Indonesia
40. Judicial Support Monitoring Programme (JSMP), Timor-Leste
41. Justice for Peace Foundation, Thailand
42. Kalyanamitra Foundation, Indonesia
43. Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (Indonesian Women’s Coalition for Justice and Democracy)
44. KontraS (Commission for The Disappeared and Victims of Violence), Indonesia
45. LBH Masyarakat (The Community Legal Aid Institute), Indonesia
46. LIPS (Sedane Labour Resource Centre/Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) ,Indonesia
47. LRC-KJHAM (Legal Resources Center for Gender Justice and Human Rights), Indonesia
48. MADPET(Malaysians Against Death Penalty and Torture)
49. Mauerpark Institut, Germany
50. Mindanao Migrants Center for Empowering Actions, Inc. (MMCEAI), Philippines
51. Observatory for the Protection of Human Rights Defender (a joint programme of International Federation for Human Rights/FIDH and World Organization Against Torture/OMCT)
52. Our Voice, Indonesia
53. Pax Christi, New Zealand
54. Pax Romana-ICMICA
55. Peace Women Across the Globe Indonesia, Indonesia
56. Peoples’ Empowerment Foundation (PEF), Thailand
57. Pergerakan Indonesia
58. Persatuan Aliran Kesedaran Negara (Aliran), Malaysia
59. Philippine Alliance of Human Rights Advocates (PAHRA), Philippines
60. Philippine Human Rights Information Center (PHILRIGHTS), Philippines
61. Philippines Migrant Centre, New Zealand
62. Protection International
63. Reclasseering Indonesia
64. Rumpun Tjoet Nyak Dien, Indonesia
65. Sarawak Dayak Iban Association, (SADIA), Borneo, Malaysia
66. SCN - CREST, Indonesia
67. Sehjira Deaf Foundation, Indonesia
68. Solidaritas Perempuan (Women’s Solidarity for Human Rights), Indonesia
69. South East Asian Committee for Advocacy (SEACA)
70. Sawit Watch, Indonesia
71. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman,SEJUK (Journalist Association for Pluralism and Diversity), Indonesia
72. Setara Institute, Indonesia
73. Solidaritas Perempuan (Women’s Solidarity for Human Rights). Indonesia
74. Solidarity for Asian Peoples’ Advocacy (SAPA) Working Group on ASEAN
75. Suara Rakyat Malaysia (SUARAM), Malaysia
76. TAPOL, United Kingdom
77. Task Force Detainees of the Philippines (TFDP), Philippines
78. Tafena Tabua Society, Kupang, Indonesia
79. Thai Volunteer Service Foundation (TVS), Thailand
80. Terre des hommes Germany in Southeast Asia.
81. The Initiatives for International Dialog (IID)
82. The Asia-Pacific Solidarity Coalition (APSOC)
83. Think Centre, Singapore
84. Watch Indonesia!, Germany
85. Women Corp of Indonesian Moslem Student Movement (KOPRI PB PMII)
86. Yayasan Mandiri Kreatif Indonesia (Yamakindo), Indonesia
87. Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI), Indonesia
88. Yayasan LINTAS NUSA Batam, Indonesia
89. Youth for Peace Cambodia
90. Youth Resource Development Program, YRDP-Cambodia

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...