Sabtu, 06 Desember 2014

Euforia atau semangat Rakyat Papua memperingati Hut West Papua ke 53


Ini komentar saya setelah membaca "euforia atau semangat" rakyat Papua Barat (merujuk rakyat di Provinsi Papua dan Papua Barat) merayakan HUT ke-53 lahirx embirio Negara Papua Barat, dan atas "digelar dan (masih) berlangsungnya" pertemuan tokoh2 politik di Port Villa, Vanuatu --saya akan menggunakan kata "simposium", walau ada juga yang menyebut Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT), pertemuaan pemimpin2 politik, pertemuaan tokoh2 Papua, dan bermacam-macam sebutan lainnya.
Tapi dalam pembahasa ini, hanya menyangkut euforia "dukungan" kepada simposium, dan relevansinya;
PERTAMA, saya melihat dukungan untuk simposium di Vanuatu datang dari berbagai kelompok (yang saya golongkan hanya empat);
(1). Kelompok mahasiswa di kota Jayapura dan luar Papua; +Dukungan pertama datang dari aksi demonstrasi damai yang dilakukan sekelompok mahasiswa Papua di Jayapura yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (GempaR); Gerakan ini terdiri dari mahasiswa2 berpikira lebih maju yang berasal dari Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Muhammadiyah Jayapura, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Umel Mandiri, Universitas Yayasan Pendididikan Islam (Yapis), Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Ottow Geisler, dan sejumlah kampus yang saya belum tahu; ++Dukungan datang juga dari Forum Mahasiswa Independen (FIM), dalam bentuk siaran pers dan diskusi2 secara kongkrit yang berkembang secara luas di media sosial; FIM merupakan "tempat belajar" sejumlah mahasiswa, dan kalau tak salah "kombatan" mahasiswa, yang masih terpanggil untuk eksis; +++Dukungan berikutnya datang dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), sebuah organisasi gerakan bagi kalangan mahasiswa di Jawa dan Bali; AMP pada 1 Desember melakukan aksi demonstrasi secara besar2an di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, dan sebelumnya dikabarkan melakukan dukungan dalam bentuk siaran pers dan diskusi2 internal di tiap Komite Kota;
(2). Kelompok gerakan pro-kemerdekaan sipil kota; +Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di tingkat pusat, dan di Kota Manokwari, Timika, Yahukimo, Nabire, Manokwari, Fak-Fak, Sorong, Sulawesi Utara (Manado), Merauke, Wamena, dan Yalimo; ++Kemudian kelompok gereja di Kota Jayapura, yakni, Benny Giay, dkk, melakukan diskusi di STT Walter Pos, Sentani, terkait buku tokoh terkemuka, dan tahanan politik Papua, Filep Karma; +++Juga aksi "kecil2" yang dilakukan kelompok Tapol/Napol di Taman Imbi, Jayapura, Papua, yang dikoordinir oleh Saul Bomay, Albert Kailele, dkk;
(3). Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB); Kelompok Goliat Tabuni melakukannya di Markas Tingginambut, Yogi, Cs, di Paniai, Kemong Cs di Nemangkawi, Timika, Terianos Satto Cs di Markas sendiri, dan hampir 24 Kodap melakukan upacara bendera seperti seruan Markas pusat, tapi saya tak mendapatkan update lanjutan terkait aksi2 upacara militer yang mereka lakukan -khususnya di sejumlah Kodap atau Markas yang belum saya sebutkan.
(4). Kelompok masyarakat internasional; Di laman Free West Papua Campaign yang anggotanya sedikit lagi mencapai 73ribu "pengguna FB", saya melihat dukungan tidak hanya datang dari Australia (sebagai pusat atau basis perjuangan Papua Merdeka, yang saya dengar di rayakan di hampir 10 kota), tapi datang juga dari San Fransisco (AS), Turki, Ghana, Timor Leste, Mlalaysia, Kuba, Karibati, Fiji, Papua New Guinea, Paris, Jerman, Afrika Selatan, Belanda, Vanuatu, India, dan sejumlah negara lainx; Suara Papua sempat merangkum sejumlah foto2 yang saya lihat cukup luar biasa; Di kelompok ini, mereka selain mendukung "Kemerdekaan" untuk Papua di hari HUT ke-53, rata2 mereka juga memberikan dukungan atas penyelenggaraan simposium: Bagi saya luar biasa, dan ini sebuah kemajuaan yang luar biasa di tingkat internasional. .
KEDUA, setelah melihat euforia dan semangat diseantor dunia, termasuk Indonesia, secara khusus di Paua, terkait penyelenggaraan simposiuam, maka;
(1). Para utusan dari Papua, maupun luar negeri yang hadir di simposium, harus tahu, bahwa dukungan dan semangat untuk sebuah penyatuaan sangat2 besar dikalangan rakyat Papua Barat, dan sayang, dan bahkan menyedihkan jika tak tercapai sebuah kesepkatan seperti yang diharapkan oleh seantoro rakyat Papua saat ini; Dalam beberapa komentar di media, saya menyimpulkan ada beberapa saran, +Tinggalkan ego dan kesombongan masing2 pimpinan politik, ++ Yang ingin merdeka adalah rakyat, bukan organisasi atau faksi2 perjuangan, +++Banyak yang telah menjadi korban di bahwa rezim yang bernama NKRI; ++++Kepada siapa lagi kita berharap jika para pemimpin politik tidak bersatu;
Bersatu memiliki ragam makna, +bersatu dalam sebuah 'wadah" atau "front" bersama, misalkan Presedium Dewan Papua (PDP) zaman alm. Theys, dkk, atau West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) sebelum Dewan Adat Papua (DAP), West Papua National Authority (WPNA) keluar -Kalau tidak salah, disaat itu ada 26 organ perjuangan bersatu di dalamnya -mohon koreksi kalau salah angka atau data. ++Atau bersatu dalam agenda, yakni, memiliki "stratak" sendiri, tapi bersatu dalam agenda2 tertentu (ini yang sering terlihat dalam dinamika gerakan di tanah Papua saat2 ini. +++Semua organ dan faksi2 dibubarkan, setelah itu membentuk front baru, yang dapat menggerakan "semua" kekuataan rakyat untuk maju bersama.
(2). Para utusan dan diplomat di Vanuatu harus tahu "Jokowi" saat ini menjadi "selebritis alis tokoh terkemuka" yang ditakuti, disegani, dan bahkan di sanjung dunia, termasuk sejumlah negara di Pasifik -misalkan PM PNG Peter O'neil datang bertemu Jokowi usai dilantk. Jokowi juga dalam poling majalah Time, mengalahkan Barack Obama, yang selalu ini tak tertandingi kepopulerannya oleh pemimpin2 politik di dunia; Jokowi juga "dihormat" kalangan akivis HAM di Jakarta, sebut saja KontraS dan Imparsial, di awal "mati2an" dukung Jokowo, tetapi Pollycarpus dibebaskan, maka ramai2 mengkritik (ini memang watak LSM yang rasis, dan tak memamhami HAM secara menyeluruh.
Nah, apa efek Jokowi terhadap "diplomasi" Papua, termasuk sepulang dari Vanuatu -terutama setelah membentuk payung penyatuan, (1). Meyakinkan saudara2 Melanesia akan menjadi pekerjaan rumah yang berat karena faktor Jokowi dianggap malaikat; (2). Meyakinkan negara2 di kawasan asia, terutama Tiangkok, dan Jepang yang menjadi sekutur terdekat Jokowi akan menyulitkan kita, karena mayoritas negara Asia memilik watak kapitalis yang sebenarnya justru lebih jahat dari negara2 Eropa, termasuk Amerika , (3). apalagi meyakinkan Amerika, dan negara2 Eropa, ini akan sangat berat; Kita dihadapkan pada sebuah pilihan, yang jika tak memilih, maka akan punah, jika memilih, akan menguras berbagai energi, waktu, dan tenaga.
KETIGA, untuk menjawab point 2, maka tidak ada car lain, rakya harus dibuat "sadar", rakyat harus dibuat mengerti, rakyat harus dibuat paham, kalau "penghisapan" yang "halus dan berwatak malaikat hanya akan melahirkan penindasan yang panjang; Kita, terutama para aktivis politik di dalam negeri, harus menyadarkan para pimpinan2 politik Papua, bahwa hanya kekuataan massa (dari berbagai klas perjuangan) yang bisa "mendobrak" semuanya, termasuk kepopuleran Jokowi sekalipun; Yang menumbahkan Suharto bukan senjata, tapi kekuatan "massa rakyat", yang menumbahgkan Sadam Hussein adalah kekuataan massa rakyat; Yang menumbangkan para diktator di seluruh dunia adalah "massa rakyat yang terorganisir, massa rakyat yang terdidik, dan massa rakyat yang tuntas memahami bentuk2 penjajah; Semakin kapitalisme merajelale, semakin pula akan "melemahkan" perjuangan, karena itu semua belum terlambat-walau keliatannya sudah sangat terlambat sekali. Dan tugas penting paling utama, adalah "menyadarkan" rakyat Papua sendiri, bahwa pace yang pakai baju kotak2 selama kampanye hanya akan "perpanjang" penderitaan kita diatas tanah air kita sendiri.
Ayo, mari tong baku kasi ingat, dan baku kasi masukan, agar kita punya kekuataan untuk melawan; Kekuataan untuk menumbangkan rezim yang sudah mengakar; Jika pulang dari Vanuatu deng bakalai lagi, maka sa tra tau, akan seperti hari depan BANGSA PAPUA BARAT.
Allah Ninom!

Jumat, 05 Desember 2014

Catatan saya di hari anti kekerasan terhadap perempuan; bahan reflektif untuk perempuan2 tanah (Papua):

Anti kekerasan terhadap perempuanmerupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua..” Minerva Mirabal (1926-1960).
Uraian Minerva diatas sangat menyentuh saya; Minerva "memiliki keteguhan" seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria; Tiga wanita terhebat sepanjang massa yang pernah saya kenal, dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.
Nah, bagaimana konteks "perayaan" hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti; (1). Ruang Demokrasi ditutup, (2). Penegakan hukum "dipolitisir", (3). Kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), (4). Isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, (4). Proses "lip service" pembangunan di kedepankan, (5). Proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, (6). Gereka pro-demokrasi dipukul mundur, (7). NGO dibuat "tidur" oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), (8). Terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), (9). Mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di "kencingin" kekuataan militer, (10). Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?
Bagaimana perempuan2 tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?
Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan2 Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah, (1). Kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk "sedikit" mengatasi "segudang" persoalaan, dan kebekuaan "demokrasi itu? (2). Siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan, dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat? (3). Metode taktis atau "jangka" penjang seperti apa yang perlu dibangun? (4). Jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok2 perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap Kabupaten/kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?
Dari pertanyaan reflektif diatas; Muncul beberapa "argumentasi" awal untuk menjawab, juga melihat "peluang" untuk berpartisipasi secara aktif?
Pertama, memetakan masalah; Masalah yang saya maksudkan disini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan2 lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan "sejahat seperti kita" untuk saat ini), tetapi perempuan2 Papua bagaimana keluar dari "lingkaran" pembahasan itu, dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, "Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat".
Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertarasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya: "The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia", bisa didownload di lama resmi ANU; Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada "Zaman Orde lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan" Budi merinci aktor2 yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling "terkena" dampak dari "kekerasan" itu, termasuk statistik perempuan dan laki2, dan bagaimana kelompok2 yang menerima kekerasan "menyikapinya".
Membaca disertasi Ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan2 Papua sejak 1969 hingga kini, dan bisa dengan mudah "menemukan" jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar 'sedikit' memiliki kemampuan "menyusun" waktu, atau era.
Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu "berkibar" di kancah internasional karena mampu dan sangat2 baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit "anti" dengan Islam dan jilbab), dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan2 Papua perlu belajar dari Marhbahan..
Kedua, setelah memetakan persoalan, memahai masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front "persatuan kaum perempuan" untuk melakukan perlawanan.
Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua; Tetapi aktor yang perlu dilawan adalah; NEGARA!
Lebih kongkrit, para aktor itu, (1). TNI/Polri, (2). Multi-national Cooperation (perusahan2 asing, juga jika ada perusahan lokal, Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dll, melalui program2 pemberdayaan perempuan yang sebenarnya "menindas dan membelenggu" perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).
Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh "kekuataan" kaum perempuan; Atau kalian bisa memiliki "pandangan" yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini; Tidak harus sama bukan?
Ketiga, temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor2 tersebut; Perhitungan secara matang perlu dilakukan, dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk "MELAWAN SECARA BERSAMA-SAMA"; Saya melihat, membentuk front (jangka panjang), atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.
Front jangka panjang bisa berupa Partai (ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat, dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi); Organisasi yang dibentuk, atau entah apa nama "unit persatuan" ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan, dan semangat melawan para aktor2 yang telah di identifikasi tadi; Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat "perjuangan" sementara, artinya tak jauh2 beda dengan gerakan2 perempuan di Indonesia pada umumnya.
Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok2 perempuan Papua yang terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi "mengorganisir" semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek; Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD, atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi --bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.
Coba bayangkan, jika dalam sebuah "wadah" yang terbentuk nanti, ada perempuan2 hebat macam Hanna Hikoyabi, Nafi Sanggenafa, Fience Tebay, Frida Klasin, Erna Mahuze, Heni Lani, Ester Haluk, Ice Murib, Olga Hamadi, Ribka Haluk, Maria Duwitau, Angela Flassy, Yohana Yembise, Frederika Korain, Rosa Moiwend, Raga Kogoya, Bernarda Materay, Dominggas Nari, Grace Roembiak, Ivone Tedjuari, Paula Makabory, Leonie Tanggahma, Ciska Abugau, Lien Maloali, Anum Siregar, Joyce Hamadi, Yakoba Lokbere, Diana Gebze, Joyce Hamadi, Yemima Krey, Liba, Sofia Zonggonau, Bernarda Edowai, Aprilia Wayar, Yulana Lantipo, Ligia Giay, Ruth Ohoiwutun, Selphy Yeimo, Pdt. Dora Balubun, dll ---maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu).
Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk "mengikrarkan" komitmen perempuan tanah (Papua) dalam "sebuah wadah", yang akan komitmen untuk "melawan" untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat; Saya yakni, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan2 dan kontribus2 yang sudah diberikan dengan "wadah" tersebut. Sebuah refleksi dihari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat!
Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan; Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), krn kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia! Allah ninom!
Catatan saya di hari anti kekerasan terhadap perempuan; bahan reflektif untuk perempuan2 tanah (Papua):
“..merupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua..” Minerva Mirabal (1926-1960).
Uraian Minerva diatas sangat menyentuh saya; Minerva "memiliki keteguhan" seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria; Tiga wanita terhebat sepanjang massa yang pernah saya kenal, dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.
Nah, bagaimana konteks "perayaan" hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti; (1). Ruang Demokrasi ditutup, (2). Penegakan hukum "dipolitisir", (3). Kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), (4). Isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, (4). Proses "lip service" pembangunan di kedepankan, (5). Proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, (6). Gereka pro-demokrasi dipukul mundur, (7). NGO dibuat "tidur" oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), (8). Terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), (9). Mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di "kencingin" kekuataan militer, (10). Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?
Bagaimana perempuan2 tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?
Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan2 Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah, (1). Kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk "sedikit" mengatasi "segudang" persoalaan, dan kebekuaan "demokrasi itu? (2). Siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan, dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat? (3). Metode taktis atau "jangka" penjang seperti apa yang perlu dibangun? (4). Jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok2 perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap Kabupaten/kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?
Dari pertanyaan reflektif diatas; Muncul beberapa "argumentasi" awal untuk menjawab, juga melihat "peluang" untuk berpartisipasi secara aktif?
Pertama, memetakan masalah; Masalah yang saya maksudkan disini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan2 lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan "sejahat seperti kita" untuk saat ini), tetapi perempuan2 Papua bagaimana keluar dari "lingkaran" pembahasan itu, dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, "Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat".
Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertarasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya: "The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia", bisa didownload di lama resmi ANU; Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada "Zaman Orde lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan" Budi merinci aktor2 yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling "terkena" dampak dari "kekerasan" itu, termasuk statistik perempuan dan laki2, dan bagaimana kelompok2 yang menerima kekerasan "menyikapinya".
Membaca disertasi Ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan2 Papua sejak 1969 hingga kini, dan bisa dengan mudah "menemukan" jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar 'sedikit' memiliki kemampuan "menyusun" waktu, atau era.
Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu "berkibar" di kancah internasional karena mampu dan sangat2 baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit "anti" dengan Islam dan jilbab), dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan2 Papua perlu belajar dari Marhbahan..
Kedua, setelah memetakan persoalan, memahai masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front "persatuan kaum perempuan" untuk melakukan perlawanan.
Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua; Tetapi aktor yang perlu dilawan adalah; NEGARA!
Lebih kongkrit, para aktor itu, (1). TNI/Polri, (2). Multi-national Cooperation (perusahan2 asing, juga jika ada perusahan lokal, Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dll, melalui program2 pemberdayaan perempuan yang sebenarnya "menindas dan membelenggu" perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).
Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh "kekuataan" kaum perempuan; Atau kalian bisa memiliki "pandangan" yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini; Tidak harus sama bukan?
Ketiga, temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor2 tersebut; Perhitungan secara matang perlu dilakukan, dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk "MELAWAN SECARA BERSAMA-SAMA"; Saya melihat, membentuk front (jangka panjang), atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.
Front jangka panjang bisa berupa Partai (ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat, dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi); Organisasi yang dibentuk, atau entah apa nama "unit persatuan" ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan, dan semangat melawan para aktor2 yang telah di identifikasi tadi; Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat "perjuangan" sementara, artinya tak jauh2 beda dengan gerakan2 perempuan di Indonesia pada umumnya.
Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok2 perempuan Papua yankg terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi "mengorganisir" semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek; Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD, atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi --bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.
Coba bayangkan, jika dalam sebuah "wadah" yang terbentuk nanti, ada perempuan2 hebat macam Hanna Hikoyabi, Nafi Sanggenafa, Fience Tebay, Frida Klasin, Erna Mahuze, Heni Lani, Ester Haluk, Ice Murib, Olga Hamadi, Ribka Haluk, Maria Duwitau, Angela Flassy, Yohana Yembise, Frederika Korain, Rosa Moiwend, Raga Kogoya, Bernarda Materay, Dominggas Nari, Grace Roembiak, Ivone Tedjuari, Paula Makabory, Leonie Tanggahma, Ciska Abugau, Lien Maloali, Anum Siregar, Joyce Hamadi, Yakoba Lokbere, Diana Gebze, Joyce Hamadi, Yemima Krey, Liba, Sofia Zonggonau, Bernarda Edowai, Aprilia Wayar, Yulana Lantipo, Ligia Giay, Ruth Ohoiwutun, Selphy Yeimo, Pdt. Dora Balubun, dll ---maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu).
Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk "mengikrarkan" komitmen perempuan tanah (Papua) dalam "sebuah wadah", yang akan komitmen untuk "melawan" untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat; Saya yakni, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan2 dan kontribus2 yang sudah diberikan dengan "wadah" tersebut. Sebuah refleksi dihari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat!
Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan; Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), krn kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia! Allah ninom!

Sabtu, 23 Agustus 2014

Upaya Membangun damai dan Demokratis sesuai dengan budaya orang Papua.

Di Indonesia demokrasi dengan sistem Pemilihan anggota legislatif dan Kepala daerah langsung di pertahankan sebagai sebuah jalan menuju Negara demokratis, namun jangan orang berdemokrasi atau orang berbaju demokrat, tapi watak dan perilaku tidak menunjukan demokrat, tetapi menunjukan iron hands untuk mencapai tujuannya.
Untuk mewujudkan suatu demokrasi yang benar di papua, Harus ada orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, mentransformasi dan mereplikasi ide yang dimiliki dengan pemimpin yang pluralis, untuk menyatuhkan  perbedaan presepsi yang terus berkembang. Pemimpin yang  bisa didengar, mendamaikan,dan memiliki kekuatan, jarinngan akses pada pada berbagai level.
Kita harus mengakui  bahwa ada kemajuan dan keberhasilan  yang telah di capai melalui pembangunan, hasil-hasil pembangunan dapat dilihat dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahtraan, politik demokrasi,kebudayaan, bahasa indonesia,dan lain-lain. Sekalipun demikian namun kami sebagai generasi muda papua, tidak bisa menutup mata terhadap terhadap berbagai masalah  yang masih harus mencarikan solusinya.
Bangsa Papua yang sudah terkontaminasi dengan budaya money politic,budaya Pelanggaran HAM, Budaya penipuan, Budaya Korupsi, budaya manipulasi, budaya dengan watak terjajah dalam segalah sistem.
Semua pihak harus berhati-hati ketika memahami suatu peristiwa atau konflik  yang terjadi dalam menjalankan sisten demokrasi. Konflik muncul dan pola penangan yang di lakukan, hingga sikap aparat yang tidak tegas dapat menjadikan alat propaganda untuk menggeneralisir suatu kelompok atau etnis tertentu. Propaganda ini akan menghambat upaya membangun pemahaman yang sejalan.
Semua pihak harus mampu melihat faktor- faktor lain yang menyebabkan kegagalan atau keberhasilan suatu upaya demokrasi yang sedang di lakukan.apalagi pada dewasa ini harus berhati-hati untuk memahami sebuah konflik yang ada dan informasi yang berkembang seputaran konflik tersebut, sebab bisa jadi digunakan untuk kepentingan yang sebelumnya tidak diduga.
Maka berbagai konflik yang ada tidak di gunakan untuk menggeneralisir atas dasar suku,agama dan atau suatu kelompok tertentu untuk memperbesar atau membuka ruang konflik yang lebih besar.
Pengakuan terhadap eksistensi orang Papua sesuai dengan hakekat kemanusiaan, maka setiap orang harus di pandang sebagai bagaimana keberadaan dirinya, perbedaan yang ada tidak digunakan sebagai alat perpecahan, harus di hargai sebagai kekhususan dari masung-masing individu, harus digargai sebagai kekhususan dari Masing-masing individu. Harus ada perhatian untuk menolong pihak-pihak yang telah menjadi korban atas permasalahan yang sudah terjadi sebagai pengakuan terhadap eksistensinya.
Masyarakat papua pada umumnya dan masyarakat pegunungan demokrasi menjadi bagian dari tradisi budaya, namun pada saat yang sama,demokrasi di daerah terutama dalam konteks pemilu,penegakan HAM,Kebebasan Pers dan menyampaikan pendapat di muka umum,ini masih di pasung oleh golongan orang berduit atau golongan penguasa.
Semua kepemimpinan di papua saat ini adalah korban sistem demokrasi politik yang terbangun hampir di seluruh indonesia  dan bukan hanya di papua. Maka untuk masa depan memilih dan menentukan pemimpin mereka, sesuai dengan tatanan nilai budaya yang ada, melekat pada orang papua.
Dengan ini maka harapan di masa depan,sistem demokrasi akan lumpuh untuk melahirkan seorang pemimpin Papua yang demokratis, adil, jujur dan bermartabat untuk membangun papua. Generasi muda papua terus berjuang membangun tanah papua, dan menginginkan demokrasi tumbuh dengan sehat, hukum harus di tegakan.

Merekonsiliasi untuk mengembalikan nilai-nilai hukum, budaya dan demikrasi yang telah dirusak.peristiwa pelanggaran HAM ataupun peristiwa pelanggaran hukum lainya harus di pertanggungjawabkan, pengakuan terhadap kesalahan yang sudah di lakukan, kerusakan dan penyimpangan yang telah di lakukan harus dipulihkan.

Kamis, 21 Agustus 2014

Sistem Noken dan Demokrasi

                                                        Neles Tebay
Dosen STFT Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura
KOMPAS, 21 Agustus 2014

SISTEM noken digunakan dalam pemilihan presiden di 16 kabupaten yang terletak di Pegunungan Tengah, Papua. Sistem ini menjadi populer karena gugatan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Banyak orang bertanya, ”Apakah sistem noken dalam pemilu mencerminkan atau mencederai demokrasi?”

Noken merupakan tas anyaman tradisional Papua yang dibuat dari kulit kayu dan digunakan orang Papua yang mendiami pegunungan. Noken tidak didatangkan dari luar karena dibuat oleh penduduk lokal, terutama kaum wanitanya. Noken yang merupakan warisan budaya ini digunakan dalam pemilu—baik pilkada, pemilu legislatif, maupun pilpres—entah sebagai sarana pengganti kotak suara, entah sebagai representasi calon atau pasangan calon.

Noken sebagai simbol

Persoalan muncul ketika noken digunakan sebagai simbol dalam pemilu. Sejak nama calon kepala daerah atau anggota legislatif atau presiden dan wakil presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai kampung di pegunungan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara spontan maupun terencana. Diskusi dilakukan di rumah adat, halaman tempat ibadah, halaman balai desa, atau halaman rumah tertentu, dan dipimpin tokoh agama, tokoh pemuda, guru, atau pegawai negeri yang dipercayai oleh penduduk lokal.

Dalam diskusi itu, mereka saling membagi informasi tentang sepak terjang setiap calon yang hendak dipilih.  Mereka tidak membahas janji-janji para calon sebab janji tidak bisa dipegang dan sulit diuji kebenarannya.

Informasi yang mereka cari dan bagikan berkisar tentang kehidupan para calon. Mereka ingin mengetahui pekerjaan yang pernah dilaksanakannya, kebiasaannya, hobinya, sifat-sifat dan karakter dirinya, sikapnya terhadap orang lain, serta nilai-nilai universal yang dihidupi dan diperjuangkannya. Kalau calon berasal dari desa tempat diskusi dilaksanakan, peserta menyelidiki kontribusinya bagi kemajuan desa asalnya.

Dengan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, orang kampung mulai mendapatkan gambaran tentang calon siapa yang dapat dipercayai dan layak dipilih. Setiap pemilih di kampung mulai mengambil keputusan personal tentang calon yang akan dipilihnya.

Kemudian calon pilihannya disampaikan kepada orang lain untuk menguji kelayakan dan mendapatkan tanggapan balik. Dengan demikian, semua calon yang disebutkan para pemilih diuji kelayakannya oleh rakyat dengan menggunakan kriteria kultural.

Pengujian melalui diskusi berlangsung hingga para pemilih di suatu desa mencapai kesepakatan. Isi kesepakatan mencakup calon yang dapat dipercayai dan, karena itu, layak diberikan suara kepadanya, serta seberapa banyak suara yang dapat dialokasikan baginya.

Maka, menjadi jelas bahwa hasil pemilu adalah keputusan personal dari setiap pemilih, yang disatukan secara bersama menjadi sebuah kesepakatan komunitas, dan disimbolkan melalui noken. Rakyat bisa bersepakat ”mengisi” semua suara dari desanya dalam  sebuah noken dan menyerahkannya kepada calon yang dipercayainya atau membagi suara kepada beberapa calon.

Transparan

Kesepakatan rakyat ditetapkan sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Mereka tidak merahasiakan kesepakatan mereka tentang calon yang mereka pilih. Mereka malah menceritakan kesepakatan mereka ke orang lain.

Oleh karena itu, biasanya orang sudah tahu hasil pemilu atau calon siapa yang akan dipilih oleh rakyat di desa sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Pada hari pemungutan suara rakyat hanya mengungkapkan kesepakatan mereka.

Di Pegunungan Papua, pemilu dilaksanakan secara transparan atas dasar kesepakatan bersama yang merangkum keputusan pribadi para pemilih. Oleh karena itu, rakyat tidak mempermasalahkan tempat pemungutan suara. Pencoblosan surat suara bisa dibuat tempat pemungutan suara atau di kantor kecamatan, tetapi hasilnya mesti sesuai dengan kesepakatan rakyat. Jadi,  tidak ada rakyat yang memberontak ketika pemungutan suara tidak dilaksanakan di tempat pemungutan suara.

Pemungutan suara tidak harus dihadiri semua pemilih karena pencoblosan dapat dilakukan orang yang mewakili mereka. Rakyat tidak menyuruh tokoh adat atau kepala suku melakukan pencoblosan, bukan karena tidak percaya, tetapi karena menghormatinya.

Biasanya rakyat meminta tolong kepada orang yang mereka percayai, entah salah satu di antara mereka, entah bahkan penyelenggara pemilu, untuk melakukan pencoblosan sesuai dengan kesepakatan rakyat. Kalau hasil pemilu sesuai dengan kesepakatan mereka, tidak ada rakyat yang mengamuk.

Inti dari demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat. Maka, dalam pemilu yang demokratis, seluruh rakyat mesti berpartisipasi secara aktif membuat keputusan tentang calon yang dipilihnya.

Daulat rakyat

Dalam bahasa Sri-Edi Swasono, demokrasi adalah daulat rakyat. Bukan daulat tuanku. Bukan pula daulat pasar (”Demokrasi Daulat Rakyat”, Kompas 16/8/2014). Ia menjelaskan bahwa demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik seluruh rakyat.

Kesepakatan rakyat yang disimbolkan melalui noken mencerminkan partisipasi dan emansipasi politik. Rakyat telah menyatakan kedaulatannya dalam memilih calon presiden yang dipercayainya. Atas dasar kedaulatan inilah, rakyat di Kabupaten Dogiyai mengusir Bupati Dogiyai keluar dari ruangan karena dia mengajak mereka memilih calon presiden yang bertentangan dengan kesepakatan rakyat.

Maka, hasil pilpres yang menggunakan sistem noken, entah apa pun hasilnya, mencerminkan kedaulatan rakyat. Rakyat telah melaksanakan pilpres secara langsung, umum, bebas, transparan, jujur, dan adil. Dengan demikian, menggugat hasil pilpres di Pegunungan Papua berarti mempermasalahkan kedaulatan rakyat.

Malah, kita perlu menggali kearifan lokal di seluruh nusantara agar memunculkan dan menambah sistem pemilu  berbeda-beda bentuknya, tetapi mencerminkan kedaulatan rakyat sehingga seluruh rakyat berpartisipasi dan beremansipasi dalam pemilu. 

http://budisansblog.blogspot.com/

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...