Sabtu, 06 Desember 2014

Euforia atau semangat Rakyat Papua memperingati Hut West Papua ke 53


Ini komentar saya setelah membaca "euforia atau semangat" rakyat Papua Barat (merujuk rakyat di Provinsi Papua dan Papua Barat) merayakan HUT ke-53 lahirx embirio Negara Papua Barat, dan atas "digelar dan (masih) berlangsungnya" pertemuan tokoh2 politik di Port Villa, Vanuatu --saya akan menggunakan kata "simposium", walau ada juga yang menyebut Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT), pertemuaan pemimpin2 politik, pertemuaan tokoh2 Papua, dan bermacam-macam sebutan lainnya.
Tapi dalam pembahasa ini, hanya menyangkut euforia "dukungan" kepada simposium, dan relevansinya;
PERTAMA, saya melihat dukungan untuk simposium di Vanuatu datang dari berbagai kelompok (yang saya golongkan hanya empat);
(1). Kelompok mahasiswa di kota Jayapura dan luar Papua; +Dukungan pertama datang dari aksi demonstrasi damai yang dilakukan sekelompok mahasiswa Papua di Jayapura yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (GempaR); Gerakan ini terdiri dari mahasiswa2 berpikira lebih maju yang berasal dari Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Muhammadiyah Jayapura, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Umel Mandiri, Universitas Yayasan Pendididikan Islam (Yapis), Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Ottow Geisler, dan sejumlah kampus yang saya belum tahu; ++Dukungan datang juga dari Forum Mahasiswa Independen (FIM), dalam bentuk siaran pers dan diskusi2 secara kongkrit yang berkembang secara luas di media sosial; FIM merupakan "tempat belajar" sejumlah mahasiswa, dan kalau tak salah "kombatan" mahasiswa, yang masih terpanggil untuk eksis; +++Dukungan berikutnya datang dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), sebuah organisasi gerakan bagi kalangan mahasiswa di Jawa dan Bali; AMP pada 1 Desember melakukan aksi demonstrasi secara besar2an di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, dan sebelumnya dikabarkan melakukan dukungan dalam bentuk siaran pers dan diskusi2 internal di tiap Komite Kota;
(2). Kelompok gerakan pro-kemerdekaan sipil kota; +Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di tingkat pusat, dan di Kota Manokwari, Timika, Yahukimo, Nabire, Manokwari, Fak-Fak, Sorong, Sulawesi Utara (Manado), Merauke, Wamena, dan Yalimo; ++Kemudian kelompok gereja di Kota Jayapura, yakni, Benny Giay, dkk, melakukan diskusi di STT Walter Pos, Sentani, terkait buku tokoh terkemuka, dan tahanan politik Papua, Filep Karma; +++Juga aksi "kecil2" yang dilakukan kelompok Tapol/Napol di Taman Imbi, Jayapura, Papua, yang dikoordinir oleh Saul Bomay, Albert Kailele, dkk;
(3). Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB); Kelompok Goliat Tabuni melakukannya di Markas Tingginambut, Yogi, Cs, di Paniai, Kemong Cs di Nemangkawi, Timika, Terianos Satto Cs di Markas sendiri, dan hampir 24 Kodap melakukan upacara bendera seperti seruan Markas pusat, tapi saya tak mendapatkan update lanjutan terkait aksi2 upacara militer yang mereka lakukan -khususnya di sejumlah Kodap atau Markas yang belum saya sebutkan.
(4). Kelompok masyarakat internasional; Di laman Free West Papua Campaign yang anggotanya sedikit lagi mencapai 73ribu "pengguna FB", saya melihat dukungan tidak hanya datang dari Australia (sebagai pusat atau basis perjuangan Papua Merdeka, yang saya dengar di rayakan di hampir 10 kota), tapi datang juga dari San Fransisco (AS), Turki, Ghana, Timor Leste, Mlalaysia, Kuba, Karibati, Fiji, Papua New Guinea, Paris, Jerman, Afrika Selatan, Belanda, Vanuatu, India, dan sejumlah negara lainx; Suara Papua sempat merangkum sejumlah foto2 yang saya lihat cukup luar biasa; Di kelompok ini, mereka selain mendukung "Kemerdekaan" untuk Papua di hari HUT ke-53, rata2 mereka juga memberikan dukungan atas penyelenggaraan simposium: Bagi saya luar biasa, dan ini sebuah kemajuaan yang luar biasa di tingkat internasional. .
KEDUA, setelah melihat euforia dan semangat diseantor dunia, termasuk Indonesia, secara khusus di Paua, terkait penyelenggaraan simposiuam, maka;
(1). Para utusan dari Papua, maupun luar negeri yang hadir di simposium, harus tahu, bahwa dukungan dan semangat untuk sebuah penyatuaan sangat2 besar dikalangan rakyat Papua Barat, dan sayang, dan bahkan menyedihkan jika tak tercapai sebuah kesepkatan seperti yang diharapkan oleh seantoro rakyat Papua saat ini; Dalam beberapa komentar di media, saya menyimpulkan ada beberapa saran, +Tinggalkan ego dan kesombongan masing2 pimpinan politik, ++ Yang ingin merdeka adalah rakyat, bukan organisasi atau faksi2 perjuangan, +++Banyak yang telah menjadi korban di bahwa rezim yang bernama NKRI; ++++Kepada siapa lagi kita berharap jika para pemimpin politik tidak bersatu;
Bersatu memiliki ragam makna, +bersatu dalam sebuah 'wadah" atau "front" bersama, misalkan Presedium Dewan Papua (PDP) zaman alm. Theys, dkk, atau West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) sebelum Dewan Adat Papua (DAP), West Papua National Authority (WPNA) keluar -Kalau tidak salah, disaat itu ada 26 organ perjuangan bersatu di dalamnya -mohon koreksi kalau salah angka atau data. ++Atau bersatu dalam agenda, yakni, memiliki "stratak" sendiri, tapi bersatu dalam agenda2 tertentu (ini yang sering terlihat dalam dinamika gerakan di tanah Papua saat2 ini. +++Semua organ dan faksi2 dibubarkan, setelah itu membentuk front baru, yang dapat menggerakan "semua" kekuataan rakyat untuk maju bersama.
(2). Para utusan dan diplomat di Vanuatu harus tahu "Jokowi" saat ini menjadi "selebritis alis tokoh terkemuka" yang ditakuti, disegani, dan bahkan di sanjung dunia, termasuk sejumlah negara di Pasifik -misalkan PM PNG Peter O'neil datang bertemu Jokowi usai dilantk. Jokowi juga dalam poling majalah Time, mengalahkan Barack Obama, yang selalu ini tak tertandingi kepopulerannya oleh pemimpin2 politik di dunia; Jokowi juga "dihormat" kalangan akivis HAM di Jakarta, sebut saja KontraS dan Imparsial, di awal "mati2an" dukung Jokowo, tetapi Pollycarpus dibebaskan, maka ramai2 mengkritik (ini memang watak LSM yang rasis, dan tak memamhami HAM secara menyeluruh.
Nah, apa efek Jokowi terhadap "diplomasi" Papua, termasuk sepulang dari Vanuatu -terutama setelah membentuk payung penyatuan, (1). Meyakinkan saudara2 Melanesia akan menjadi pekerjaan rumah yang berat karena faktor Jokowi dianggap malaikat; (2). Meyakinkan negara2 di kawasan asia, terutama Tiangkok, dan Jepang yang menjadi sekutur terdekat Jokowi akan menyulitkan kita, karena mayoritas negara Asia memilik watak kapitalis yang sebenarnya justru lebih jahat dari negara2 Eropa, termasuk Amerika , (3). apalagi meyakinkan Amerika, dan negara2 Eropa, ini akan sangat berat; Kita dihadapkan pada sebuah pilihan, yang jika tak memilih, maka akan punah, jika memilih, akan menguras berbagai energi, waktu, dan tenaga.
KETIGA, untuk menjawab point 2, maka tidak ada car lain, rakya harus dibuat "sadar", rakyat harus dibuat mengerti, rakyat harus dibuat paham, kalau "penghisapan" yang "halus dan berwatak malaikat hanya akan melahirkan penindasan yang panjang; Kita, terutama para aktivis politik di dalam negeri, harus menyadarkan para pimpinan2 politik Papua, bahwa hanya kekuataan massa (dari berbagai klas perjuangan) yang bisa "mendobrak" semuanya, termasuk kepopuleran Jokowi sekalipun; Yang menumbahkan Suharto bukan senjata, tapi kekuatan "massa rakyat", yang menumbahgkan Sadam Hussein adalah kekuataan massa rakyat; Yang menumbangkan para diktator di seluruh dunia adalah "massa rakyat yang terorganisir, massa rakyat yang terdidik, dan massa rakyat yang tuntas memahami bentuk2 penjajah; Semakin kapitalisme merajelale, semakin pula akan "melemahkan" perjuangan, karena itu semua belum terlambat-walau keliatannya sudah sangat terlambat sekali. Dan tugas penting paling utama, adalah "menyadarkan" rakyat Papua sendiri, bahwa pace yang pakai baju kotak2 selama kampanye hanya akan "perpanjang" penderitaan kita diatas tanah air kita sendiri.
Ayo, mari tong baku kasi ingat, dan baku kasi masukan, agar kita punya kekuataan untuk melawan; Kekuataan untuk menumbangkan rezim yang sudah mengakar; Jika pulang dari Vanuatu deng bakalai lagi, maka sa tra tau, akan seperti hari depan BANGSA PAPUA BARAT.
Allah Ninom!

Jumat, 05 Desember 2014

Catatan saya di hari anti kekerasan terhadap perempuan; bahan reflektif untuk perempuan2 tanah (Papua):

Anti kekerasan terhadap perempuanmerupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua..” Minerva Mirabal (1926-1960).
Uraian Minerva diatas sangat menyentuh saya; Minerva "memiliki keteguhan" seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria; Tiga wanita terhebat sepanjang massa yang pernah saya kenal, dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.
Nah, bagaimana konteks "perayaan" hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti; (1). Ruang Demokrasi ditutup, (2). Penegakan hukum "dipolitisir", (3). Kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), (4). Isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, (4). Proses "lip service" pembangunan di kedepankan, (5). Proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, (6). Gereka pro-demokrasi dipukul mundur, (7). NGO dibuat "tidur" oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), (8). Terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), (9). Mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di "kencingin" kekuataan militer, (10). Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?
Bagaimana perempuan2 tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?
Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan2 Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah, (1). Kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk "sedikit" mengatasi "segudang" persoalaan, dan kebekuaan "demokrasi itu? (2). Siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan, dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat? (3). Metode taktis atau "jangka" penjang seperti apa yang perlu dibangun? (4). Jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok2 perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap Kabupaten/kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?
Dari pertanyaan reflektif diatas; Muncul beberapa "argumentasi" awal untuk menjawab, juga melihat "peluang" untuk berpartisipasi secara aktif?
Pertama, memetakan masalah; Masalah yang saya maksudkan disini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan2 lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan "sejahat seperti kita" untuk saat ini), tetapi perempuan2 Papua bagaimana keluar dari "lingkaran" pembahasan itu, dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, "Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat".
Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertarasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya: "The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia", bisa didownload di lama resmi ANU; Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada "Zaman Orde lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan" Budi merinci aktor2 yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling "terkena" dampak dari "kekerasan" itu, termasuk statistik perempuan dan laki2, dan bagaimana kelompok2 yang menerima kekerasan "menyikapinya".
Membaca disertasi Ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan2 Papua sejak 1969 hingga kini, dan bisa dengan mudah "menemukan" jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar 'sedikit' memiliki kemampuan "menyusun" waktu, atau era.
Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu "berkibar" di kancah internasional karena mampu dan sangat2 baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit "anti" dengan Islam dan jilbab), dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan2 Papua perlu belajar dari Marhbahan..
Kedua, setelah memetakan persoalan, memahai masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front "persatuan kaum perempuan" untuk melakukan perlawanan.
Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua; Tetapi aktor yang perlu dilawan adalah; NEGARA!
Lebih kongkrit, para aktor itu, (1). TNI/Polri, (2). Multi-national Cooperation (perusahan2 asing, juga jika ada perusahan lokal, Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dll, melalui program2 pemberdayaan perempuan yang sebenarnya "menindas dan membelenggu" perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).
Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh "kekuataan" kaum perempuan; Atau kalian bisa memiliki "pandangan" yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini; Tidak harus sama bukan?
Ketiga, temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor2 tersebut; Perhitungan secara matang perlu dilakukan, dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk "MELAWAN SECARA BERSAMA-SAMA"; Saya melihat, membentuk front (jangka panjang), atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.
Front jangka panjang bisa berupa Partai (ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat, dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi); Organisasi yang dibentuk, atau entah apa nama "unit persatuan" ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan, dan semangat melawan para aktor2 yang telah di identifikasi tadi; Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat "perjuangan" sementara, artinya tak jauh2 beda dengan gerakan2 perempuan di Indonesia pada umumnya.
Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok2 perempuan Papua yang terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi "mengorganisir" semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek; Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD, atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi --bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.
Coba bayangkan, jika dalam sebuah "wadah" yang terbentuk nanti, ada perempuan2 hebat macam Hanna Hikoyabi, Nafi Sanggenafa, Fience Tebay, Frida Klasin, Erna Mahuze, Heni Lani, Ester Haluk, Ice Murib, Olga Hamadi, Ribka Haluk, Maria Duwitau, Angela Flassy, Yohana Yembise, Frederika Korain, Rosa Moiwend, Raga Kogoya, Bernarda Materay, Dominggas Nari, Grace Roembiak, Ivone Tedjuari, Paula Makabory, Leonie Tanggahma, Ciska Abugau, Lien Maloali, Anum Siregar, Joyce Hamadi, Yakoba Lokbere, Diana Gebze, Joyce Hamadi, Yemima Krey, Liba, Sofia Zonggonau, Bernarda Edowai, Aprilia Wayar, Yulana Lantipo, Ligia Giay, Ruth Ohoiwutun, Selphy Yeimo, Pdt. Dora Balubun, dll ---maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu).
Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk "mengikrarkan" komitmen perempuan tanah (Papua) dalam "sebuah wadah", yang akan komitmen untuk "melawan" untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat; Saya yakni, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan2 dan kontribus2 yang sudah diberikan dengan "wadah" tersebut. Sebuah refleksi dihari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat!
Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan; Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), krn kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia! Allah ninom!
Catatan saya di hari anti kekerasan terhadap perempuan; bahan reflektif untuk perempuan2 tanah (Papua):
“..merupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua..” Minerva Mirabal (1926-1960).
Uraian Minerva diatas sangat menyentuh saya; Minerva "memiliki keteguhan" seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria; Tiga wanita terhebat sepanjang massa yang pernah saya kenal, dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.
Nah, bagaimana konteks "perayaan" hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti; (1). Ruang Demokrasi ditutup, (2). Penegakan hukum "dipolitisir", (3). Kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), (4). Isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, (4). Proses "lip service" pembangunan di kedepankan, (5). Proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, (6). Gereka pro-demokrasi dipukul mundur, (7). NGO dibuat "tidur" oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), (8). Terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), (9). Mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di "kencingin" kekuataan militer, (10). Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?
Bagaimana perempuan2 tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?
Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan2 Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah, (1). Kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk "sedikit" mengatasi "segudang" persoalaan, dan kebekuaan "demokrasi itu? (2). Siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan, dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat? (3). Metode taktis atau "jangka" penjang seperti apa yang perlu dibangun? (4). Jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok2 perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap Kabupaten/kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?
Dari pertanyaan reflektif diatas; Muncul beberapa "argumentasi" awal untuk menjawab, juga melihat "peluang" untuk berpartisipasi secara aktif?
Pertama, memetakan masalah; Masalah yang saya maksudkan disini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan2 lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan "sejahat seperti kita" untuk saat ini), tetapi perempuan2 Papua bagaimana keluar dari "lingkaran" pembahasan itu, dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, "Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat".
Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertarasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya: "The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia", bisa didownload di lama resmi ANU; Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada "Zaman Orde lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan" Budi merinci aktor2 yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling "terkena" dampak dari "kekerasan" itu, termasuk statistik perempuan dan laki2, dan bagaimana kelompok2 yang menerima kekerasan "menyikapinya".
Membaca disertasi Ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan2 Papua sejak 1969 hingga kini, dan bisa dengan mudah "menemukan" jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar 'sedikit' memiliki kemampuan "menyusun" waktu, atau era.
Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu "berkibar" di kancah internasional karena mampu dan sangat2 baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit "anti" dengan Islam dan jilbab), dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan2 Papua perlu belajar dari Marhbahan..
Kedua, setelah memetakan persoalan, memahai masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front "persatuan kaum perempuan" untuk melakukan perlawanan.
Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua; Tetapi aktor yang perlu dilawan adalah; NEGARA!
Lebih kongkrit, para aktor itu, (1). TNI/Polri, (2). Multi-national Cooperation (perusahan2 asing, juga jika ada perusahan lokal, Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dll, melalui program2 pemberdayaan perempuan yang sebenarnya "menindas dan membelenggu" perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).
Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh "kekuataan" kaum perempuan; Atau kalian bisa memiliki "pandangan" yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini; Tidak harus sama bukan?
Ketiga, temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor2 tersebut; Perhitungan secara matang perlu dilakukan, dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk "MELAWAN SECARA BERSAMA-SAMA"; Saya melihat, membentuk front (jangka panjang), atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.
Front jangka panjang bisa berupa Partai (ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat, dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi); Organisasi yang dibentuk, atau entah apa nama "unit persatuan" ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan, dan semangat melawan para aktor2 yang telah di identifikasi tadi; Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat "perjuangan" sementara, artinya tak jauh2 beda dengan gerakan2 perempuan di Indonesia pada umumnya.
Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok2 perempuan Papua yankg terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi "mengorganisir" semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek; Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD, atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi --bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.
Coba bayangkan, jika dalam sebuah "wadah" yang terbentuk nanti, ada perempuan2 hebat macam Hanna Hikoyabi, Nafi Sanggenafa, Fience Tebay, Frida Klasin, Erna Mahuze, Heni Lani, Ester Haluk, Ice Murib, Olga Hamadi, Ribka Haluk, Maria Duwitau, Angela Flassy, Yohana Yembise, Frederika Korain, Rosa Moiwend, Raga Kogoya, Bernarda Materay, Dominggas Nari, Grace Roembiak, Ivone Tedjuari, Paula Makabory, Leonie Tanggahma, Ciska Abugau, Lien Maloali, Anum Siregar, Joyce Hamadi, Yakoba Lokbere, Diana Gebze, Joyce Hamadi, Yemima Krey, Liba, Sofia Zonggonau, Bernarda Edowai, Aprilia Wayar, Yulana Lantipo, Ligia Giay, Ruth Ohoiwutun, Selphy Yeimo, Pdt. Dora Balubun, dll ---maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu).
Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk "mengikrarkan" komitmen perempuan tanah (Papua) dalam "sebuah wadah", yang akan komitmen untuk "melawan" untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat; Saya yakni, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan2 dan kontribus2 yang sudah diberikan dengan "wadah" tersebut. Sebuah refleksi dihari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat!
Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan; Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), krn kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia! Allah ninom!

Sabtu, 23 Agustus 2014

Upaya Membangun damai dan Demokratis sesuai dengan budaya orang Papua.

Di Indonesia demokrasi dengan sistem Pemilihan anggota legislatif dan Kepala daerah langsung di pertahankan sebagai sebuah jalan menuju Negara demokratis, namun jangan orang berdemokrasi atau orang berbaju demokrat, tapi watak dan perilaku tidak menunjukan demokrat, tetapi menunjukan iron hands untuk mencapai tujuannya.
Untuk mewujudkan suatu demokrasi yang benar di papua, Harus ada orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, mentransformasi dan mereplikasi ide yang dimiliki dengan pemimpin yang pluralis, untuk menyatuhkan  perbedaan presepsi yang terus berkembang. Pemimpin yang  bisa didengar, mendamaikan,dan memiliki kekuatan, jarinngan akses pada pada berbagai level.
Kita harus mengakui  bahwa ada kemajuan dan keberhasilan  yang telah di capai melalui pembangunan, hasil-hasil pembangunan dapat dilihat dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahtraan, politik demokrasi,kebudayaan, bahasa indonesia,dan lain-lain. Sekalipun demikian namun kami sebagai generasi muda papua, tidak bisa menutup mata terhadap terhadap berbagai masalah  yang masih harus mencarikan solusinya.
Bangsa Papua yang sudah terkontaminasi dengan budaya money politic,budaya Pelanggaran HAM, Budaya penipuan, Budaya Korupsi, budaya manipulasi, budaya dengan watak terjajah dalam segalah sistem.
Semua pihak harus berhati-hati ketika memahami suatu peristiwa atau konflik  yang terjadi dalam menjalankan sisten demokrasi. Konflik muncul dan pola penangan yang di lakukan, hingga sikap aparat yang tidak tegas dapat menjadikan alat propaganda untuk menggeneralisir suatu kelompok atau etnis tertentu. Propaganda ini akan menghambat upaya membangun pemahaman yang sejalan.
Semua pihak harus mampu melihat faktor- faktor lain yang menyebabkan kegagalan atau keberhasilan suatu upaya demokrasi yang sedang di lakukan.apalagi pada dewasa ini harus berhati-hati untuk memahami sebuah konflik yang ada dan informasi yang berkembang seputaran konflik tersebut, sebab bisa jadi digunakan untuk kepentingan yang sebelumnya tidak diduga.
Maka berbagai konflik yang ada tidak di gunakan untuk menggeneralisir atas dasar suku,agama dan atau suatu kelompok tertentu untuk memperbesar atau membuka ruang konflik yang lebih besar.
Pengakuan terhadap eksistensi orang Papua sesuai dengan hakekat kemanusiaan, maka setiap orang harus di pandang sebagai bagaimana keberadaan dirinya, perbedaan yang ada tidak digunakan sebagai alat perpecahan, harus di hargai sebagai kekhususan dari masung-masing individu, harus digargai sebagai kekhususan dari Masing-masing individu. Harus ada perhatian untuk menolong pihak-pihak yang telah menjadi korban atas permasalahan yang sudah terjadi sebagai pengakuan terhadap eksistensinya.
Masyarakat papua pada umumnya dan masyarakat pegunungan demokrasi menjadi bagian dari tradisi budaya, namun pada saat yang sama,demokrasi di daerah terutama dalam konteks pemilu,penegakan HAM,Kebebasan Pers dan menyampaikan pendapat di muka umum,ini masih di pasung oleh golongan orang berduit atau golongan penguasa.
Semua kepemimpinan di papua saat ini adalah korban sistem demokrasi politik yang terbangun hampir di seluruh indonesia  dan bukan hanya di papua. Maka untuk masa depan memilih dan menentukan pemimpin mereka, sesuai dengan tatanan nilai budaya yang ada, melekat pada orang papua.
Dengan ini maka harapan di masa depan,sistem demokrasi akan lumpuh untuk melahirkan seorang pemimpin Papua yang demokratis, adil, jujur dan bermartabat untuk membangun papua. Generasi muda papua terus berjuang membangun tanah papua, dan menginginkan demokrasi tumbuh dengan sehat, hukum harus di tegakan.

Merekonsiliasi untuk mengembalikan nilai-nilai hukum, budaya dan demikrasi yang telah dirusak.peristiwa pelanggaran HAM ataupun peristiwa pelanggaran hukum lainya harus di pertanggungjawabkan, pengakuan terhadap kesalahan yang sudah di lakukan, kerusakan dan penyimpangan yang telah di lakukan harus dipulihkan.

Kamis, 21 Agustus 2014

Sistem Noken dan Demokrasi

                                                        Neles Tebay
Dosen STFT Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura
KOMPAS, 21 Agustus 2014

SISTEM noken digunakan dalam pemilihan presiden di 16 kabupaten yang terletak di Pegunungan Tengah, Papua. Sistem ini menjadi populer karena gugatan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Banyak orang bertanya, ”Apakah sistem noken dalam pemilu mencerminkan atau mencederai demokrasi?”

Noken merupakan tas anyaman tradisional Papua yang dibuat dari kulit kayu dan digunakan orang Papua yang mendiami pegunungan. Noken tidak didatangkan dari luar karena dibuat oleh penduduk lokal, terutama kaum wanitanya. Noken yang merupakan warisan budaya ini digunakan dalam pemilu—baik pilkada, pemilu legislatif, maupun pilpres—entah sebagai sarana pengganti kotak suara, entah sebagai representasi calon atau pasangan calon.

Noken sebagai simbol

Persoalan muncul ketika noken digunakan sebagai simbol dalam pemilu. Sejak nama calon kepala daerah atau anggota legislatif atau presiden dan wakil presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai kampung di pegunungan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara spontan maupun terencana. Diskusi dilakukan di rumah adat, halaman tempat ibadah, halaman balai desa, atau halaman rumah tertentu, dan dipimpin tokoh agama, tokoh pemuda, guru, atau pegawai negeri yang dipercayai oleh penduduk lokal.

Dalam diskusi itu, mereka saling membagi informasi tentang sepak terjang setiap calon yang hendak dipilih.  Mereka tidak membahas janji-janji para calon sebab janji tidak bisa dipegang dan sulit diuji kebenarannya.

Informasi yang mereka cari dan bagikan berkisar tentang kehidupan para calon. Mereka ingin mengetahui pekerjaan yang pernah dilaksanakannya, kebiasaannya, hobinya, sifat-sifat dan karakter dirinya, sikapnya terhadap orang lain, serta nilai-nilai universal yang dihidupi dan diperjuangkannya. Kalau calon berasal dari desa tempat diskusi dilaksanakan, peserta menyelidiki kontribusinya bagi kemajuan desa asalnya.

Dengan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, orang kampung mulai mendapatkan gambaran tentang calon siapa yang dapat dipercayai dan layak dipilih. Setiap pemilih di kampung mulai mengambil keputusan personal tentang calon yang akan dipilihnya.

Kemudian calon pilihannya disampaikan kepada orang lain untuk menguji kelayakan dan mendapatkan tanggapan balik. Dengan demikian, semua calon yang disebutkan para pemilih diuji kelayakannya oleh rakyat dengan menggunakan kriteria kultural.

Pengujian melalui diskusi berlangsung hingga para pemilih di suatu desa mencapai kesepakatan. Isi kesepakatan mencakup calon yang dapat dipercayai dan, karena itu, layak diberikan suara kepadanya, serta seberapa banyak suara yang dapat dialokasikan baginya.

Maka, menjadi jelas bahwa hasil pemilu adalah keputusan personal dari setiap pemilih, yang disatukan secara bersama menjadi sebuah kesepakatan komunitas, dan disimbolkan melalui noken. Rakyat bisa bersepakat ”mengisi” semua suara dari desanya dalam  sebuah noken dan menyerahkannya kepada calon yang dipercayainya atau membagi suara kepada beberapa calon.

Transparan

Kesepakatan rakyat ditetapkan sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Mereka tidak merahasiakan kesepakatan mereka tentang calon yang mereka pilih. Mereka malah menceritakan kesepakatan mereka ke orang lain.

Oleh karena itu, biasanya orang sudah tahu hasil pemilu atau calon siapa yang akan dipilih oleh rakyat di desa sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Pada hari pemungutan suara rakyat hanya mengungkapkan kesepakatan mereka.

Di Pegunungan Papua, pemilu dilaksanakan secara transparan atas dasar kesepakatan bersama yang merangkum keputusan pribadi para pemilih. Oleh karena itu, rakyat tidak mempermasalahkan tempat pemungutan suara. Pencoblosan surat suara bisa dibuat tempat pemungutan suara atau di kantor kecamatan, tetapi hasilnya mesti sesuai dengan kesepakatan rakyat. Jadi,  tidak ada rakyat yang memberontak ketika pemungutan suara tidak dilaksanakan di tempat pemungutan suara.

Pemungutan suara tidak harus dihadiri semua pemilih karena pencoblosan dapat dilakukan orang yang mewakili mereka. Rakyat tidak menyuruh tokoh adat atau kepala suku melakukan pencoblosan, bukan karena tidak percaya, tetapi karena menghormatinya.

Biasanya rakyat meminta tolong kepada orang yang mereka percayai, entah salah satu di antara mereka, entah bahkan penyelenggara pemilu, untuk melakukan pencoblosan sesuai dengan kesepakatan rakyat. Kalau hasil pemilu sesuai dengan kesepakatan mereka, tidak ada rakyat yang mengamuk.

Inti dari demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat. Maka, dalam pemilu yang demokratis, seluruh rakyat mesti berpartisipasi secara aktif membuat keputusan tentang calon yang dipilihnya.

Daulat rakyat

Dalam bahasa Sri-Edi Swasono, demokrasi adalah daulat rakyat. Bukan daulat tuanku. Bukan pula daulat pasar (”Demokrasi Daulat Rakyat”, Kompas 16/8/2014). Ia menjelaskan bahwa demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik seluruh rakyat.

Kesepakatan rakyat yang disimbolkan melalui noken mencerminkan partisipasi dan emansipasi politik. Rakyat telah menyatakan kedaulatannya dalam memilih calon presiden yang dipercayainya. Atas dasar kedaulatan inilah, rakyat di Kabupaten Dogiyai mengusir Bupati Dogiyai keluar dari ruangan karena dia mengajak mereka memilih calon presiden yang bertentangan dengan kesepakatan rakyat.

Maka, hasil pilpres yang menggunakan sistem noken, entah apa pun hasilnya, mencerminkan kedaulatan rakyat. Rakyat telah melaksanakan pilpres secara langsung, umum, bebas, transparan, jujur, dan adil. Dengan demikian, menggugat hasil pilpres di Pegunungan Papua berarti mempermasalahkan kedaulatan rakyat.

Malah, kita perlu menggali kearifan lokal di seluruh nusantara agar memunculkan dan menambah sistem pemilu  berbeda-beda bentuknya, tetapi mencerminkan kedaulatan rakyat sehingga seluruh rakyat berpartisipasi dan beremansipasi dalam pemilu. 

http://budisansblog.blogspot.com/

Jumat, 27 Juni 2014

TAWARAN DIALOG DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN



                                          executive summary

 

 



TAWARAN dialog dALAM membangun keindonesiaan:

Mengurai Kemungkinan Pelajaran Damai Aceh untuk Papua


Oleh:

Syafuan Rozi (Koordinator)
Muridan S. Widjojo
Nina Andriana
Mochtar Pabottingi





PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2P)
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Jakarta 2012

 

 









TAWARAN Dialog daLAM membangun keindonesiaan:

Mengurai Kemungkinan Pelajaran Damai Aceh untuk Papua[1]

 

Bab I Pendahuluan


1.      Pengantar

Penelitian tim Nasionalisme P2P LIPI kali  ini ingin mengungkap bagaimana pengalaman gagal dan berhasilnya dialog Aceh. Aspek aktor, isu dan proses akan disorot secara analitis untuk  memahami akar konflik dan proses dialog di Aceh dengan menggunakan bingkai perspektif nasionalisme dan etnonasionalisme yaitu sudut pandang bagaimana paradigma Keacehan dalam Keindonesiaan. Kekhasan dan kebaruan riset ini adalah ingin melihat kemungkinan proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan menggunakan perspektif dan cara “dialog kesetaraan” dalam membangun nasion Keindonesiaan. Dengan asumsi ada beberapa pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat diulang untuk membangun damai di Papua.


2. Perumusan Masalah
Pada 1960-an gerakan perlawanan di Papua hanya sebatas sejumlah kecil orang Papua yang sudah terdidik dan terlatih oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 2011, sekitar 50 tahun kemudian, perlawanan di Papua bertransformasi menjadi perlawanan rakyat yang bersifat populer dan meluas. Para pengamat dan kalangan masyarakat sipil acapkali mengatakan bahwa jika pemerintah Indonesia tetap mempertahankan pendekatan keamanan dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di Papua maka Papua dapat menjadi Timor Timur yang kedua. [2]
Perumusan permasalahan riset ini adalah bagaimana melihat kemungkinan proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan menggunakan perspektif dan metode dialog kesetaraan untuk membangun kebangsaan, bukan melalui cara koersif atau kekerasan. Dengan asumsi ada beberapa pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat diulang untuk membangun damai di Papua.
Berdasarkan permasalahan di atas, pertanyaan penelitian yang akan ditelusuri lebih lanjut adalah:
2.1. Bagaimana proses dialog di Aceh dirintis? Pelajaran tentang isu, aktor dan proses damai apa yang menentukan keberhasilan untuk mengakhiri konflik separatisme di sana?
2.2. Bagaimana proses dialog di Papua dapat dimulai? Perbedaaan dan persamaan isu, aktor dan proses damai apa yang dapat dipelajari dari keduanya?
2.3. Sejauh mana keberhasilan dialog yang mengakhiri konflik separatisme di Aceh dapat memperkuat bangunan keindonesiaan dan integritas RI? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman Aceh untuk dapat diterapkan di Papua?

3. Tujuan dan Sasaran
3.1. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguraikan kemungkinan dialog  untuk Papua sebagai jalan damai yang terbaik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan gerakan perlawanan separatisme dapat menggantikan jalan represi yang popular dengan pendekatan keamanan yang terbukti telah gagal menyelesaikan masalah-masalah separatisme. Untuk mencapai kondisi saling percaya dan mengakhiri kekerasan di Papua dengan penguatan Dialog tentang Kepapuan dan Keindonesiaan.

3.2. Sasaran
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, sasaran penelitian yang ingin dicapai adalah:
3.2.1 Memahami bagaimana proses dialog Aceh dirintis dengan melihat isu, aktor dan proses yang menentukan keberhasilannya;
3.2.2 Memahami akar konflik Papua dan proses awal dialog yang sedang dirintis dengan melihat isu, aktor, dan proses yang dapat menentukan keberhasilannya;
3.2.3 Membandingkan Aceh dan Papua, perbedaan konteks dan akar konflik serta isu, aktor dan proses. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran berharga Aceh untuk proses damai di Papua;

4. Metodologi

4.1. Kerangka Konseptual

4.1.1. Kebangsaan
Konsep kebangsaan memiliki banyak makna dan pengertian.[3] Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.[4] Dalam batasan ini keberadaan sebuah kelompok etnis (baik dalam konteks minoritas berkuasa atau minoritas sempalan) yang dipandang bukan bagian dari sebuah entitas bangsa dalam sebuah wilayah politik dapat berpotensi menggangu eksistensi nasionalisme sebuah bangsa. Dengan demikian kebangsaan juga seringkali menjadi alat legitimasi politik yang melihat batasan-batasan etnik sebagai sebuah aturan atau prinsip legalitas. Pelanggaran terhadap batasan ini kerap dipandang sebagai sebuah tantangan bagi kebangsaan.
Sementara Benedict Anderson melihat kebangsaan sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.[5] Sedangkan Guibernau dan Rex yang mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan bahwa dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada sebuah teritori tertentu, kebangsaan sejatinya merupakan sebuah kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan.[6]
Dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat tentang kebangsaan, Gellner sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kebangsaan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang universal dan berlaku umum untuk seluruh manusia. Namun di sisi lain keberadaannya bagi suatu bangsa merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya, bahkan dapat dikatakan sebagai suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan semata. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa kebangsaan yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah kebangsaan yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang komprehensif.[7]
Dalam konteks tersebut sebuah kebangsaan, prosesnya aktif mengajak, tidak bertindak diskriminatif, dan bekerja produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Di sinilah definisi “nasion” mendapatkan relevansinya. Atas dasar “kepentingan humanistik” inilah secara hipotetik kebangsaan dan keindonesiaan yang ditawarkan oleh penelitian ini akan dibangun dan menjadi acuan konseptual.  
Dalam pada itu dari batasan di atas kebangsaan sejatinya selalu terkait dengan sebuah keinginan untuk bersatu dalam sebuah unit politik berupa institusi dengan wilayah perbatasannya yang berarti adalah sebuah negara dengan beragam identitas budaya di dalamnya. Oleh karena itu kajian kebangsaan sejatinya memang terkait erat dengan dua konsep, yakni negara (state) dan bangsa (nation).[8]
Dari beragam batasan di atas secara generik maka pengertian kebangsaan dalam penelitian ini akan mengacu pada kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan, kebersamaan, kesetaraan dan persatuan.[9]
Dengan batasan ini terlihat sebuah peluang kajian dalam melihat keberadaan kebangsaan atau khususnya keindonesiaan terutama dikaitkan dengan sebuah situasi di mana faktor kerelaan dan kesadaran untuk bersatu dalam sebuah nasion merupakan sesuatu yang dikonstruksikan oleh sebuah komitmen di sebuah zaman. Di sinilah peran signifikan negara dengan segenap hak yang dimilikinya termasuk hak koersif dalam menentukan langkah, kebijakan dan maksimalisasi penggunaan sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan upaya-upaya penguatan kebangsaan.

4.1.2. Keindonesiaan
Keindonesiaan adalah sebuah nasion.[10] Prinsip-prinsip dasar dan ideal yang menjadi pijakan berdirinya entitas Indonesia sebagai negara-bangsa. Keindonesiaan merupakan watak yang diharapkan menentukan bentuk dan mengarahkan perjalanan Indonesia. Konstruksi filosofis normatif keindonesiaan telah dirumuskan dan dikembangkan oleh para pendiri negara-bangsa Indonesia dan secara dinamis berkembang seiring dengan sejarah hubungan kekuasaan Indonesia itu sendiri. Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar keindonesiaan yang formal kita miliki selama ini.[11] 
Indonesia dalam keseharian hadir diwakili oleh berbagai institusi, pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga peradilannya. Wajahnya dibentuk tidak hanya oleh perilaku para pemimpin yang mewakili berbagai institusi negara di tingkat nasional, tetapi juga para aparat negara di tingkat yang paling rendah seperti desa. Di berbagai wilayahnya Indonesia lebih dipahami dan hadir dalam keseharian yang konkrit. Wajah Indonesia hadir secara nyata melalui perilaku dan kinerja pejabat lokalnya, terutama aparat pendidikannya, kualitas pelayanan kesehatannya dan aparat keamanannya.
Keindonesiaan, selain dirumuskan dan dikembangkan secara filosofis oleh para pendiri negara dan pemikirnya, di tingkat akar rumput Indonesia dipahami berdasarkan kualitas dan wajah kehadirannya sehari-hari. Dengan kata lain, kehadiran Indonesia yang buruk tidak serta merta membuat suatu kelompok masyarakat ingin memisahkan diri dari Indonesia. Menjadi bagian Indonesia pada tahap sekarang ini seperti telah dianggap terberi. Tidak lagi dipertanyakan.

4.1.3. Dialog
Apa pentingnya dialog dibanding cara perang atau kekerasan? Dialog adalah suatu proses penyelesaian masalah yang digunakan untuk menyelesaikan isu-isu sosial politik dan ekonomi yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh satu atau dua institusi pemerintah yang bersangkutan. Menurut Mark Gerzon yang paling spesifik dari pengertian dialog adalah para pihak di dalam dialog datang bersama di suatu tempat yang aman untuk saling memahami sudut pandang para pihak satu sama lain dengan maksud untuk mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian masalah yang sudah diidentifikasi secara bersama-sama.[12] Lewat dialog akan dikurangi korban manusia dan harta benda. Lewat dialog yang konstruktif, anggaran perang dan kekerasan dapat dialokasikan menjadi program kesejahteraan dan peningkatan peradaban.
Pada khasanah teori dialog pada umumnya, dia dibedakan dengan konsep mediasi atau negosiasi. Perbedaan utama terletak pada hasil kegiatannya dan pihak yang terlibat. Dialog menghasilkan suatu perubahan pola hubungan, membangun kapasitas politik untuk menyelesaikan masalah-masalah. Dengan dialog dasar untuk membangun kepercayaan, saling menghormati dan kerjasama dapat dibangun. Dialog ditujukan bagi pihak-pihak berkonflik yang belum siap untuk maju ke tahap negosiasi atau mediasi.
Sebaliknya, mediasi atau negosiasi biasanya menghasilkan suatu persetujuan yang konkrit, memenuhi kepentingan material para pihak, berurusan dengan hak-hak dan benda-benda yang dapat dibagi dan dirumuskan dalam cara yang terukur. Dialog dan mediasi tidak dilihat saling menggantikan, tetapi saling melengkapi.[13]

4.2. Metode Penelitian

a.Jenis Penelitian:
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah deskriptif-eksplanatif. Fokusnya adalah kajian politik identitas dalam mencarikan jalan keluar gerakan disintegrasi di Indonesia dengan perspektif dialog dan membangun keindonesiaan yang ramah bagi Kepapuaan.

b.Teknik Pengumpulan Data:
Pengumpulan data dilakukan dua teknik, yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan. Untuk studi lapangan akan dilakukan melalui dua model, yaitu wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discusssion). Wawancara mendalam, dilakukan terhadap beberapa narasumber, seperti (1) mantan anggota GAM/OPM (2) mantan juru runding pemerintah/GAM, 3) LSM/Ormas, (4) akademisi, (5) tokoh-tokoh gereja dan ulama, 6) pejabat pemerintah yang tugas dan perannya terkait secara langsung dengan konflik di Papua dan Aceh. Penentuan narasumber dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan, pengalaman dan posisi narasumber terkait dengan topik penelitian.
Selanjutnya untuk mendapatkan sebuah hasil penelitian yang komprehensif dan berimbang maka narasumber penelitian ini terdiri dari (1) pihak yang selama ini dipandang sebagai pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) mereka yang diidentifikasi sebagai kalangan pemimpin atau pendukung gerakan politik Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka, dan (3) kalangan yang dipandang netral, misalnya kalangan Gereja, LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Asumsi dan hipotesa kerja yang dibangun antara lain: 1) Percaya bahwa proses perdamaian Aceh (antara GAM dan NKRI/Jakarta) dalam tingkat tertentu dapat diulang dan dipersiapkan, bahkan dengan cara-cara yang lebih baik.  2) Dialog adalah cara yang lebih beradab daripada cara kekerasan bersenjata dan intimidasi. 3). Level analisis riset ini adalah isu, aktor dan proses damai.

c.Teknik Analisis Data:
Data yang terkumpul lewat wawancara dan FGD melalui proses check-rechek atau triangulasi dengan pihak terkait yang berbeda posisi.Asumsi dan hipotesa kerja yang dibangun lewat riset ini adalah tim peneliti percaya bahwa kebaikan dialog lewat cara persuasif dan setara akan membuahkan hasil perdamaian positif yang baik juga, dan tidak sebaliknya. Peneliti melihat proses perdamaian Aceh dan Papua dengan menggunakan paradigma perdamaian dan perspektif dialogis guna membangun bersama nasionalisme Keindonesiaan-Kepapuan baru untuk masa depan bersama.
Aktor, metode dialog, agenda bersama sekarang dan masa depan dibangun lewat proses kesetaraan, bukan melalui cara sepihak, tertutup, koersif atau pengutamaan kekerasan.  Adapun dimensi yang akan menjadi fokus riset ini adalah pola-pola pelajaran penyelesaian dari Aceh dan tahapan membangun Dialog dan Keindonesiaan.

4.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dua lokasi: Banda Aceh dan Jayapura. Banda Aceh dipilih karena kota ini merupakan ibukota provinsi Aceh di mana narasumber yang kompeten dapat ditemukan. Jayapura juga merupakan ibukota provinsi Papua dan di kota ini peneliti dapat mewawancara berbagai narasumber yang memiliki kompetensi yang memadai untuk memberikan informasi. Mengingat keterbatasan dana yang ada, Manokwari yang menjadi ibukota Papua Barat tidak akan dikunjungi.

6. Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN: membahas riset disain, pertama, konsep dialog, keamanan, represi, kebangsaan, serta konteks sejarah dan politiknya. Kedua, pokok permasalahan dan kerangka pemikiran berisi konsep-konsep dan  narasi tentang konflik Aceh dan Papua dalam perspektif komparatif. Ketiga, metode penelitian. Keempat, sistematika laporan.
Bab II DIALOG ACEH DALAM PERSPEKTIF KEBANGSAAN: AKTOR, ISSUE DAN PROSES DIALOG BERTINGKAT. Bab ini membahas bagaimana Aceh bersama pengalaman konflik dan dialognya. Segi aktor, isu dan proses akan disorot secara analitis untuk  memahami akar konflik dan proses dialog di Aceh dengan melihat isu, aktor dan proses yang menentukan kegagalan dan keberhasilannya dengan menggunakan bingkai perspektif nasionalisme dan etnonasionalisme. Keacehan dalam Keindonesiaan.
Bab III DIALOG PAPUA, membahas Papua bersama pengalaman konflik dan upayanya untuk membuka jalan dialogis. Diharapkan akar konflik Papua dapat dipahami dan proses awal dialog yang sedang dirintis dengan melihat isu, aktor, dan proses yang dapat menentukan keberhasilannya atau juga kegagalannya;
Bab IV. TAWARAN PELAJARAN DIALOG ACEH UNTUK PAPUA, membahas akar konflik, konteks dan komponen-komponen isu, aktor, proses yang menunjukkan persamaan dan perbedaan antara Aceh dan Papua. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran berharga Aceh untuk proses damai di Papua;
Bab V CATATAN PENUTUP, berupa kesimpulan dan rekomendasi terkait signifikansi pengalaman  dialog Aceh dan Papua dalam konteks kebangsaan, memperkuat integritas RI dan memperkuat keindonesiaan.

BAB II

DIALOG ACEH DALAM PERSPEKTIF KEBANGSAAN:

Pembelajaran Seputar Aktor, Issue dan Proses Dialog Bertingkat?

 

A. Merangkul Aktor Dialog Aceh: Menyisir Penentu Keamanan?
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana proses dialog di Aceh dirintis. Pelajaran tentang siapa aktor yang efektif dilibatkan dalam membangun proses damai, yang kemudian menentukan kegagalan dan keberhasilan untuk mengakhiri konflik separatisme di Aceh menjadi fokus bagian tulisan ini. Ada pelajaran penting berupa kegagalan dialog Aceh  untuk Papua soal siapa aktor yang dilibatkan untuk membangun dialog perdamaian Aceh dan NKRI lewat Jeda Kemanusiaan COHA-HDC,[14] di masa Keperesidenan Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri, dengan hasil dialog damai belum berhasil dibangun.
Penyebabnya adalah pendekatan single-track negotiation, artinya aktor yang dilibatkan hanya aktor formal tertentu seperti akitifis LSM, Ormas, Rohaniwan dan bukan dukungan internasional dan aktor penentu keamanan atau securitizing –actors di lapangan[15] Berikut ini pemetaan beberapa aktor di Aceh yang telah dihubungi dalam upaya membangun dialog damai antara lain:

1. Non-Securitizing Actor:
Ada informasi dari narasumber bahwa di masa Keperesidenan Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri, pihak Jakarta mengirimkan tokoh atau juru runding ke Aceh untuk menemukan solusi hubungan Jakarta-Aceh. Pihak yang ditemui adalah kalangan LSM dan Ormas, tokoh adat, tokoh kampus dan tokoh ulama di beberapa pelosok Aceh. Namun apa yang terjadi, dialog antar parapihak elemen masayarakat sipil terjadi dan bahkan ada Konggres Perempuan Aceh yang melibatkan semua wakil perempuan di Aceh dan di perantauan. Namun, peristiwa damai tidak menemukan jalan terangnya. Peristiwa kekerasan berulang. Suasana damai negatif (situasi tanpa kekerasan) saja sulit tercapai, apalagi damai positif (situasi membangun).

2. Securitizing Actor:
Adalah aktor kunci penentu keamanan di lapangan. Securitizing Actor dalam konteks konflik Aceh adalah aktor yang berperan dalam menentukan keamanan di lapangan. Mereka ini antara lain para jenderal lapangan pemimpin yang dapat mengendalikan aparat tentara dan kepolisian, intelijen dan juga pemimpin politik yang disegani dan didengar oleh para combatant dan militia AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka).
Peranan dan kepiawaian Farid Husain dan Juha C. dalam membangun kepercayaan pihak GAM untuk melobi mereka masuk dalam perundingan damai dengan juru runding Indonesia merupakan cerita unik tersendiri. Walaupun lebih banyak tampil di bawah permukaan, Farid diam-diam memainkan peranan penting, utamanya ketika dia mampu “meluluhkan hati” pimpinan dan elit GAM (yang semula menolak berdialog), sehingga bersedia duduk di meja perundingan. GAM percaya dengan Farid, karena setelah bertemu tokoh GAM dihutan, tidak ada sweeping oleh TNI. Ini artinya Farid mampu mengendalikan militer garis keras (hawkies) di pusat Jakarta dan di lapangan Aceh.

3. Spoiler Actor:
Ada anggapan dari juru runding GAM yang menilai beberapa intelektual CSIS, LIPI, UGM di Jakarta dan Yogyakarta, lebih mendorong dilakukannya cara-cara perang ketimbang negoisasi dan dialog. Hal ini sangat mengganggu upaya dialog antara pihak GAM dan NKRI. Sehingga komentar dan analisis politik mereka dianggap mendua, disatu sisi ingin membangun damai di Aceh, namun dampaknya membuat pihak GAM makin marah dan membuat keputusan setengah hati. Ada ungkapan buat apa berdamai dengan pihak Indonesia yang tak tahu membalas budi dengan orang Aceh. “Kemerdekaan Aceh, hanya seperti tinggal sebatang rokok saja”.

B. Isue-Isue Konflik Aceh: Politik Identitas, Keadilan Ekonomi dan Perang Melawan Lupa?

1. Kisah Nasionalisme dan Etnonasionalisme Aceh: Janji Soekarno dan Kecewa Tengku Daud Berueh.
Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda. Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.” (Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan).
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.” (Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah).
Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.” Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Hal itui telah menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.[16]

2. Hasan Tiro dan Siapa Mengelola Minyak Gas Aceh: Pusat, Daerah atau Asing?
Nukilan buku harian Hasan Tiro yang berjudul "The Price of Freedom: The Unfinished Diary", menjadi penjelasan penting untuk mengungkap soal apa dan bagaimana akar konflik vertikal Aceh-Jakarta, yang intinya adalah keadilan bagi Putra Aceh, untuk dapat memiliki konsesi minyak. Jangan hanya pihak asing yang diberi kesempatan. Pembelajaran penting, yang dapat menjadi cermin dalam membagun upaya Dialog Papua-Jakarta. Berikut ini petikannya:

“…Dalam sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usaha-usaha penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21Oktober 1975 menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya di Asia Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas alam terkaya di dunia."  Jurnal itu juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah menawarkan 37 persen konsesi Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada pemerintah Jepang…”.

Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak melibatkan orang Aceh yang memiliki kekayaan alam itu. "Rakyat Aceh menjadi terasing di negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah hal semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam catatan hariannya.
Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan Nasional (National Liberation Front Acheh Sumatera = NLFAS) di "Propinsi  Pase", tempat Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan lembut" dengan show of force di dekat Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak. Dalam aksinya, pasukan NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi keselamatan mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang dari Mobil dan Bechtel agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat kembali lagi nanti kalau suatu saat Aceh sudah merdeka," demikian bunyi seruan yang disebarluaskan. 
Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir jalan raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.
Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya "pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para penyuplai makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS—dengan seseorang. Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku!".  Masalahnya adalah pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya.  "Tidak! Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi. 
Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat ke tanah dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja sepanjang hari yang cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan pakaian hijau dan pistol tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro. Lalu, ia meminta pengawal untuk membawa orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk tergesa-gesa dan langsung mencium tangan Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya Taleb Abu Mae (Ismail). Air matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok sehari sebelumnya dan tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro.
Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu merupakan pertemuan yang sangat bermakna. Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae tewas diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia meninggalkan seorang istri yang masih sangat muda dan dua anak.Taleb diminta ayahnya pergi ke hutan untuk membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut tewas bersama Taleb adalah Sulaiman Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang Lhee, Pidie, yang merupakan seorang pemimpin NLF cukup brilian.
Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung untuk satu misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjatasaat diserang. Sulaiman meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga anak.  Pelantikan kabinet Meskipun kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976 dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru Aceh, tapi mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat.
Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama hampir setahun. Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik para menteri yang terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang bertepatan dengan hari pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25 tahun "mengembara" di AS. Hanya dua orang yang tidak berada di tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Diputuskan juga tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab lokasi itu dekat dengan sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat diperoleh secara mudah.       
Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat cocok bagi sebuah acara pelantikan. Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp dihias dengan berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar kenegaraan. Daging, beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan makanan lain dipasok secara besar-berasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari desa pinggiran sibuk membuat kue-kue. Tak ada rahasia tentang acara pengambilan sumpah para menteri. Hari yang bersejarah itu pun tiba. Setelah dua jam berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro tiba di Kamp Lhok Nilam.
Segalapersiapan sangat sempurna. Di "pintu utama" terpampang kalimat "Selamat
Datang Wali Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut. Podium utama terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di utara, terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar belakang Gunung Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan (sebelah timur) terdapat batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas ketika ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.
Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan makanan siap disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa terdekatlah yang membawa semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak. "Saya belum pernah menikmati makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun di dunia ini. Tidak juga ketika saya berada di Maxim Paris atau di Mirabelle London, atau Le Mistral New York," ujarnya.
Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat. Acara dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang menteri yang sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Tengku Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga konstitusi Aceh Sumatera."  
Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi Menteri Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap Menteri Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah, Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir Mahmud, Menteri Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan Panglima Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.
Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang dipimpin Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan bintang bergaris hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara azan oleh seorang muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat NLF berdiri di belakang podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam lengkap. "Saya tidak pernah melihat orang-orang saya lengkap seperti ini sebelumnya. Saya sangat bangga kepada mereka," tulis Hasan Tiro.  Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh menyampaikan pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube.
Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta berkah dari para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air mata setiap orang pun tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro tampil sebagai pembicara terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan pengikutnya.  Air matanya tumpah. Ia tahu semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat perjuangan yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling dalam terbetik satu tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada orang-orang saya!". Demikian ilustrasi catatan harian Hasan Tiro, tuntutan issue dan perjuangannya sebagai kaum pemberontak, di tahun 1977, yang berujung damai di Mou Helsinki di tahun 2005.[17]

3. DOM Aceh: Perang dan Pulang Melawan Lupa?
Seniman dan penyair Aceh Zubaidah Djohar, menggambarkan issu di Aceh sekarang lewat bukunya: Pulang Melawan Lupa.[18] Karya Zubaidah Djohar ini seperti sebuah kilas balik akan sebuah sejarah kelam di Nanggroe Aceh Darussalam. Kilas balik yang bukan saja untuk menabur ulang dendam yang terpendam, atau membakar kembali kesumat yang padam. Buku ini justru laksana sebuah jalan yang mungkin sesekali dapat kita lalui untuk mengingatkan akan sebuah sejarah dari sebuah negeri, agar generasi yang akan datang memahami tentang betapa rakusnya sebuah kekuasaan, betapa berkuasanya sebuah kekerasan. Buku ini juga seperti sebuah”reminder” buat kita, agar dalam perjalanan waktu ke masa depan, kita diingatkan, ada masalah yang belum tuntas, ada ketidakadilan yang belum benar-benar tegak, ada sejarah yang dikubur tanpa suara.
Bagi masyarakat Aceh, DOM Operasi Jaring Merah, telah menjadi momok yang sangat menakutkan dan traumatik, sebab menurut kesaksian korban dan keluarga yang masih hidup ada oknum aparat ABRI yang telah bertindak semena-mena terhadap rakyat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GPK atau GAM. Telah terjadi proses kriminalisasi dan pengkambinghitaman berupa rekayasa kejadian bahwa rakyat Aceh yang tidak terlibat pembrontakan-spratisme, juga tidak melakukan tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum lainnya, pun dianggap sebagai anggota gerakan GPK tersebut.
Akibatnya, tindak kekerasan, penyiksaan atau penangkapan orang tanpa prosedur atau penculikan atau pelecehan seks dan pemerkosaan, atau penghilangan nyawa manusia maupun praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat antara kurun waktu 1989-1999.
Dalam perspektif korban yang peneliti temui, operasi DOM antara kurun waktu 1989-1999 dianggap sebagai mimpi buruk bagi korban konflik vertikal antara GAM dan NKRI, rakyat sipil terjepit di tengah-tengah. Geuchik-kepala desa, bpk. Usman, asal Pidie, turut menjadi korban “pemerasan” uang keamanan kepada oknum TNI/Polri dan uang pajak nanggroe yang dipungut combatan GAM. Jika tidak diberi, kekerasan fisik dan psikis mereka alami. Intinya mereka akan terus melakukan gerakan damai untuk melawan lupa terhadap kejadian pelanggaran HAM masa lalu. 
Pilihannya adalah tangkap pelaku untuk dihadirkan dalam pengadilan HAM atau selesaikan dengan cara bermartabat lewat pengakuan, pencataan ke dalam dokumen Negara dan pemaafan. Soal ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi lewat KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh, terganjal oleh dibatalkan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi akibat tuntuan LSM soal impunity, yang membatalkan keseluruhan pasal-pasal dalam UU KKR. Hal ini mendorong pula, diragukannya kanun KKR  Aceh akan efektif menghadirkan pelaku yang di luar Aceh.
Narasumber kak Rukhiyah dari Komunitas Korban DOM Aceh dan pak Usman yang pernah menjadi geuchik atau kepala gampong atau desa di Pidie menceritakan pengalaman hidupnya yang begitu pahit dan kini seolah dilupakan begitu saja oleh para pelaku dan Negara. Ada yang tidak adil bagi mereka, korban tsunami mendapatkan begitu banyak bantuan dari berbagai pihak, namun mereka yang menjadi korban konflik banyak yang cuma gigit jari dan berlinang air mata. Tidak ada program atau paket bantuan untuk korban konflik DOM yang dicanangkan oleh Pemda atau Negara ini.
Bersadarkan kesedihan yang mereka ceritakan tampaklah terjadi keadaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Nanggro Aceh dalam kurun waktu 1998-1999 sebagai hal yang luar biasa. Kejahatan ini juga terencana, terorganisir, dan sistematis. Di antara data yang diserahkan pegiat LSM kepada Komnas HAM antara lain, ada korban yang diculik, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan itu, ada kemiripan dengan modus operandi penculikan aktivis pro-demokrasi yang melibatkan oknum Kopassus di Jakarta. 
Peristiwa pembantaian, penyiksaan, perkosaan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer, misalnya ada wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan kabel, ada pula yang diperkosa di depan anaknya, telinga disayat dan ditetesi jeruk nipis, kepala dipukul dengan balok lalu dikuliti di depan anaknya, kepala digantung dan dipukuli dengan kayu, leher digorok dan kepalanya ditenteng sepanjang jalan dan suami dipaksa keluar dari rumah sementara istrinya ditelanjangi lalu diperkosa sambil berdiri. 
Jika kita mendengar bagaimana cerita dari para korban dan keluarga korban DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dapat digambarkan seperti gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati terjepit di tengah-tengah. Para keluarga dan korban DOM yang masih hidup ada dalam penantian panjang seolah di jalanan sepi dan tak ada yang serius peduli kecuali para seniman Aceh yang terus berpuisi dan berkata-kata dalam syair sastra: “Gerakan Pulang Melawan lupa?”. Hal tersebut relatif dapat mewakili bagaimana gambaran tentang kegelisahan dan derita yang belum terobati, milik keluarga yang ditinggalkan dan korban yang belum sembuh luka fisik dan batinnya.
Tim peneliti sempat menjumpai komunitas korban DOM Aceh yang menceritakan apa yang mereka alami dan apa yang mereka inginkan. Juga data-data sekunder yang telah didokumentasi oleh para cendikiawan Aceh, KOMNAS HAM Kantor Banda Aceh, LSM KONTRAS Aceh, Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, UNSYIAH, Aceh Institute, dan lain-lainnya. Pada perinsipnya mereka ingin membangun damai yang positif di Aceh pascaperjanjian MoU Helsinki.
Namun butir kesepakatan MoU dan UU Pemerintahan Aceh, yang mensyratkan dan mengatur dibentuknya Kanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi) dan Pengadilan HAM, hingga hampir 7 tahun saat riset ini dilakukan belum menunjukkan kehadirannya secara lebih jelas atau nyata. Sehingga seniman dan sastrawan Aceh, ada yang mengadakan gerakan kultural, intelektual dan seni, agar para korban dan keluarga peristiwa DOM Aceh janganlah dilupakan begitu saja.

C.Proses Dialog Aceh: Keberhasilan Dialog Bertingkat?
Dialog Bertingkat adalah proses membangun dialog dengan teknik multi-track negotiation and diplomacy, yaitu negosiasi, diplomasi dan dialog yang dilakukan oleh aktor Negara di tingkat lokal, nasional (single-track diplomacy)  dan internasional (second-track diplomacy). Ketika dialog nasional gagal, aktor Negara diam, kemudian membiarkan aktor non-negara untuk ambil peranan dalam membangun saling trust antara aktor kunci penentu keamanan dan juru runding Negara untuk membangun dialog di tingkat internasional, bersama pihak mediator internasional yang “terpercaya” oleh pihak-pihak yang berselisih. Sembari mengupayakan turunnya dukungan internesaional terhadapak kaum pemberontak yang tindakannya mengarah ke terorisme, sementara tingkat pelanggaran HAM di tingkat lokal oleh tentara dan aktor keamanan lainnya, dikendalikan sedemikian rupa.[19]

C.1.Pra-Dialog Perdamaian Aceh:
Kalau kita mau melihat proses damai Aceh sebagai bagian pembelajaran untuk dialog dan damai, yang bisa digunakan untuk wilayah lain misalnya Papua. Pertama, diterimanya MoU Helsinki sebenarnya merupakan proses kegagalan dan keberhasilan yang bertingkat. Tidak bisa disimpulkan bahwa keberhasilan satu tingkat merupakan keberhasilan semua proses. Contoh mengapa tawaran dan penerapan otonomi khusus di Aceh relatif  dapat dilaksanakan. Hal itu disebabkan adanya kesepakatan damai GAM bersama pemerintah Indonesia. Mengapa kesepakatan itu bisa ada atau dapat dicapai, karena ada konsesi terhadap otonomi dari pemerintah Indonesia kepada GAM.
Pertanyaan berikutnya mengapa GAM mau berunding dengan pemerintah Indonesia? Pertama, GAM mau berunding dengan pemerintah Indonesia bukan karena faktor otonomi saja, ada faktor lain seperti melemahnya dukungan internasional. Hasan Tiro dan Malik Mahmud pernah ditahan sementara oleh polisi Swedia karena tuduhan terlibat peledakan Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Kedua, Faktor yang menyebabkan conflicting-party (pihak yang bertikai) mau berunding (dialog) berbeda dengan faktor conflicting-party mau melakukan agreement
Ketiga, faktor agreement dapat durable (bertahan lama) berbeda dengan faktor yang menyebabkan conflicting-party bisa menghasilkan agreement. Tiga tahapan tersebut merupakan hal-hal yang berbeda. Maka untuk Papua kita dapat belajar pada tahap pertama. Kita dapat lihat banyak perundingan dan konsesi politik (political setellement) diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah, walaupun bagus tapi tanpa adanya negoisasi dengan pihak yang memberontak itu biasanya akan gagal.
Pengalaman Megawati tahun 2001 ketika memberikan status istimewa kepada Aceh dengan UU No.11/tahun 2001, seolah-olah memaksa hal itu kepada rakyat Aceh, namun itu tidak jalan, termasuk untuk menjalankan syariat Islam. Padahal kalau kita lihat secara substansi, otonomi yang diberlakukan pasca MoU Helsinki dan UU PA dengan yang diberikan oleh Megawati relatif sama isinya. Ada kurang ada lebih.
Perundingan pertama, lewat jeda kemanusaaan atau COHA, GAM menolak untuk berdamai, tapi mengapa tawaran dialog yang kedua (MoU Helsinki, GAM mau menerima? Toh kalau GAM mau, menerima yang pertama-COHA, tapi tidak dilakukan? Mengapa otonomi yang sekarang berhasil dilaksanakan sementara yang dulu gagal dilaksanakan? Otonomi tidak dapat dilaksanakan karena GAM menolak, walaupun isinya relatif sama.

C.2. Second-track Diplomacy: Pelajaran Mengapa Dialog Aceh Berhasil?
Kita perlu melakukan perbandingan pola terkait berlangsungnya proses dialog di beberapa masa kepersidenan Gus Dur, Megawati dan SBY-JK. Untuk menjawab pertanyaan mengapa dialog Aceh gagal atau berhasil, yang menjadi bagian penting untuk tawaran pelajaran dalam membangun dialog Papua, paling tidak ada beberapa persoalan utama yang terkait dengan mau atau tidaknya pihak rebellion hadir dalam dialog yaitu pertama, faktor internal kepercayaan (trust) dari pihak pemberontak terhadap aktor penentu keamanan (tentara) dan kedua, faktor eksternal, berupa dukungan internasional terhadap gerakan separatis tersebut.
Bu Naimah seorang juru runding Indonesia berpandangan bahwa:[20] Kegagalan dialog Aceh pada awalnya adalah kegagalan membangun trust antara kedua belah pihak. Pihak GAM tidak percaya kepada pihak NKRI, karena ada beberapa juru runding GAM yang ditangkap setelah hadir dalam perundingan COHA.
Sementra itu Desley Ronnie, aktifis perdamaian Aceh, berpandangan pertanyaan dan jawaban mengapa GAM menerima dialog atau perundingan Helsinki adalah karena posisi GAM di tahun 2001-2003, berbeda dengan posisi GAM di tahun 2003-2005. Konteks dukungan internasional terhadap pemberontak GAM berbeda jauh. Ada formula politik bahwa posisi pihak yang memberontak itu mempengaruhi posisi tawar atau bargaining-nya untuk hadir atau tidak di meja negoisasi. Di tahun 2001-2003, pihak petinggi GAM masih percaya Indonesia menjadi “the next Balkan”.
Di tahun 2004 GAM baru mulai realistis bahwa tidak ada satu pihak pun yang mendukung mereka (no single parties support GAM). Satu-satunya jalan keluar yang mereka bisa lakukan adalah mengadakan perundingan. Walaupun konsesinya sama dengan yang diberikan seperti sebelumnya. Konteks dukungan internasional sangat menentukan kaum pemberontak untuk hadir berdialog atau menempuh jalan panjang kemerdekaan dengan cara-cara bersenjata.
Belajar dari pengalaman Aceh dengan kegagalan COHA, untuk dialog Papua kita dapat memulai dengan membangun second-track diplomacy, artinya jangan Negara yang berada di depan. Kita dapat belajar dari kasus Aceh di tahun 2001, ketika Presiden Gus Dur dan Megawati, memaksakan memberi otonomi khusus dan memberikan syariat Islam ke Aceh, tapi kelompok radikal SIRA dan kawan-kawan “genk” kelompok mahasiswa tidak bisa menerima dan meminta referendum. GAM bersikap mau independen atau merdeka sesuai ideologinya waktu itu. Akhirnya otonomi itu sulit diimplementasikan dan hanya milik the ruling elite baik yang ada di Aceh maupun yang ada di Jakarta. Civil-society Aceh merasa tidak memiliki. “Basi akhirnya!”.
Sewaktu dialog yang dimediasi oleh HDC (Henri Dunant Center) untuk Jeda Kemanusiaan (COHA), GAM tidak membicarakan soal-soal politik, seperti soal otonomi. Padahal Aburahman Wahid dan Megawati mengatakan anda (GAM) boleh minta apa saja asal jangan meminta merdeka. Namun, pada dialog perundingan kedua (Helsinki), GAM mau membicarakan otonomi, termasuk muatan baru, pendirian partai lokal, juga dimungkinkan. Saat itu dibentuk Komite Bersama untuk Konsolidasi Demokrasi, berlangsung tidak beberapa lama, kemudian semua pegiatnya ditangkap oleh pemerintah Indonesia.
Soal ide pendirian partai lokal tidak dibicarakan pada COHA, karena GAM sama sekali menolak tawaran otonomi. Namun kemudian pada dialog kedua, GAM menerima status otonomi sebagai starting point, not  the final. Not the ending point. Titik akhirnya bisa referendum atau independent. Posisi suatu kelompok pemberontak itu ditentukan oleh kondisi eksternal, trend internasional. Kemudian, baru melanjutkan upaya untuk merdeka atau tidak. Kondisi eksternal dan trend internasional itu berupa ada atau tidak dukungan dunia internasional untuk mereka merdeka dan mandiri. Jika ada dukungan internasional, jangan harapkan mereka mau berunding. Walaupun militer mereka lemah, mereka akan tetap bertahan. Walaupun mereka tidak memiliki militer di dalam negeri atau di tempat yang ingin merdeka, mereka akan tetap bergriliya di luar.
Sejauh ada dukungan internasional, sangat susah untuk mengajak kelompok pemberontak untuk berunding. Posisi dan perasaan itu, yang dimiliki GAM antara tahun 2001-2003. GAM melihat Indonesia, the weakness and the sick country. GAM merasa mendapat dukungan internasional, padahal dukungan itu terlatak pada penegakkan demokrasi dan HAM. Kemudian ada faktor Timor-timur, yang mendapatkan kesempatan mengadakan referendum. Di Aceh kemudian ada tuntutan refrendum, mengapa di Aceh tidak boleh ada referendum di Timor-timur boleh.
Aceh ada dalam konteks internasional, dalam kurun waktu tahun 2004-2005, setelah peristiwa 11 September di Amerika, maka ada kondisi pihak militer dan konggres Amerika Serikat bekerja sama untuk perang terhadap terorisme. Akibatnya di Indonesia adalah posisi dan peran militer dalam menyelesaikan terorisme dan juga separatism cenderung semakin kuat. Kelompok konservatif dan hawkis (garis keras, penggemar perang) semakin mendapat angin dan kuat pengaruhnya.
 Ada pandangan narasumber juru runding GAM bahwa tokoh militer seperti Riyamizar Ryacudu mendominasi dalam “penyelesaian” Aceh. Pihak dovies (garis lunak, pencinta dialog), semakin terpinggirkan. Ade labeling, pemerintah Indonesia telah menempatkan posisi GAM sebagai Al-Qaida (teroris), setingkat lebih tinggi di atas GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), dikaitkan dengan tertangkapnya pelaku pengeboman BEJ (Bursa Efek Jakarta) adalah elemen GAM.
Bahkan pemimpin GAM Hasan Tiro dan Abdullah Zaini, pernah ditahan selama 4 hari oleh Polisi Rahasia Swedia.Walaupun pada akhir persidangan mereka dibebaskan. Itu menunjukkan betapa berubahnya posisi politik GAM disaat perundingan kedua (MoU Helsinki). Sehingga GAM harus menjadi realistis, kalau tidak akan dikejar-kejar. Selain memang kekuatan militer GAM di Aceh sudah jauh menurun selama operasi militer yang sudah dijalankan selama satu tahun setengah.
Faktor lainnya adalah willingness atau keinginan yang dimiliki oleh Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk berdamai, yang ditangkap secara positif oleh pimpinan GAM. Hal yang juga dilihat adalah figure SBY dan JK yang secara perlahan dan bertahap dapat mengontrol perilaku pasukan militer di lapangan, dengan menunjukkan 3 bulan setelah perundingan, Athisari berkunjung dan berbicara dengan SBY. Athisari mengisyaratkan ada spoiler group sedang bermain di Aceh. Itu tidak bagus dan tidak sehat untuk perundingan. Data ditunjukkan, satu minggu kemudian Riyamizad Riyacudu diberhentikan menunggu masa pensiun. Itu good willingness SBY-JK, yang pada masa Megawati tidak ditemukan oleh pimpinan GAM. Bahkan Riyamizard menjadi kandidat kuat untuk menjadi Pangab (Panglima ABRI) waktu itu.
Kalau ingin mereplikasi atau belajar model Aceh untuk Papua, yang harus kita lihat pertama bahwa mengapa perundingan di Aceh yang kedua akhirnya berhasil (MoU Helsinki), tapi mengapa juga ada perundingan sebelumnya yang gagal (COHA). Kalau kita lihat keberhasilan perundingan Helsinki karena faktor pertama, posisi GAM di mata dunia internasional lemah, kemudian faktor kedua, ada willingness atau niat baik dari pemerintah Jakarta. Ketiga, ada moment yang bagus, Tsunami.
Walaupun Tsunami, bukan pemicu atau trigger. Tsunami Aceh hanya mempengaruhi atau influence. Walaupun tidak ada Tsunami Aceh, perundingan Helsinki akan berjalan bagus.  Faktor ketiga, ada kontrol terhadap militer di lapangan yang sangat bagus. Dukungan internasional dan militer yang mengalir bukan untuk perundingan, tapi untuk aksi kemanusiaan setelah Tsunami. Itu faktor yang mempengaruhi keberhasilan MoU Helsinki.
Mana faktor yang paling penting atau utama dari faktor yang ada? Mana variable independennya? Variabel independennya adalah kalau dari pihak GAM adalah dukungan internasional terhadap GAM yang terus menurun. Kalau ada dukungan internasional terhadap GAM, walaupun secara politik dan militer GAM lemah, walaupun Aceh ada Tsunami, walaupun pemerintah Indonesia ingin sekali berunding dan berdamai, GAM tidak akan mau hadir berdialog di meja perundingan karena mereka masih punya harapan dukungan state-actor internasional, mereka tidak akan mau berunding dan terus akan memilih opsi  untuk merdeka.
Ada beberapa catatan tentang proses Dialog Bertingkat dalam kegagalan membangun dialog damai di Aceh yaitu sebagai berikut:
  1. Dialog Single-track di dalam negeri- utusan Gus Dur dan Mega, hanya menyasar ke Ulama-Tengku Pesantren Dayah; organisasi Perempuan Aceh; tidak melibatkan petinggi GAM dan panglima Sagu, yaitu jaringan para kombatan AGAM dan GAM Swedia. Sewaktu Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih menjadi presiden, Gus Dur menanyakan keinginan Aceh untuk meredakan konflik. Apa saja yang diinginkan orang Aceh? Saat itu ada lima tokoh yang dianggap mewakili Aceh yang ditemui. Ke lima tokoh ini menyebutkan bahwa keinginan Aceh adalah syariat Islam. Gus Dur tidak berpikir hal ini akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Hal yang dilakukan Gus Dur saat itu lebih sebagai temporery solution, agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Syariat Islam menjadi solusi saat keadaan Aceh darurat. Namun, pemberiaan status istimewa untuk membuat kanun yang Islami, tidak serta merta menyelesaikan masalah Jakarta-Aceh.
  2. Rusaknya trust atau tingkat kepercayaan-Juru runding GAM Ada yang ditangkap- Tengku Syamsuddin Tiba dkk. sehingga Trust GAM menurun dan jaga jarak untuk dialog- Ingat kasus Teuku Umar-Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponogoro yg ditangkap Belanda saat mau dialog.
  3. Rusaknya trust pihak GAM terhadap juru runding NKRI. Ada tekanan dan dukungan intelektual Jakarta (LIPI, CSIS, UGM, anggota DPR RI, dll)  untuk “melibas GAM” diperkuat pernyataan Komandan Lapangan Rizamizar Riyacudu (Komandan Kopasus). Hal ini menimbulkan prasangka adanya dialog damai yang setengah hati dan penuh kepura-puraan.
  4. Adanya keyakinan petinggi GAM, bahwa tibanya kemenangan tak lama lagi, ”Kemerdekaan tinggal Seperti Menghisap Sebatang Rokok”, kehadiran sdr. Wiraatmaja, pegiat HAM di forum UN (United Nations), dianggap wakil juru runding GAM di dunia internasional, padahal Wira ingin mencari tahu siapa wakil GAM di UN, yang ternyata tidak ada.

C.3. MoU Helsinki: Dialog yang Berhasil?
Tanggal 15 Agustus selalu diingat sebagai hari perdamaian Aceh. Nota Kesepahaman Helsinki yang menandai perdamaian itu telah menjadi sejarah baru. Tiga tahun lalu, 15 Agustus 2005, di sebuah vila megah di Vantaa, Helsinki, Finlandia, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia berjabat erat dengan Malik Mahmud, perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri mesiu permusuhan yang cukup lama berakar dalam tubuh bangsa.[21]
Perdamaian kali ini menjadi lestari karena perangkat keras perdamaian, yaitu keamanan, mampu “digaransi” oleh kedua belah pihak. Letusan senjata dan kriminalitas mampu ditekan hingga titik minimal. Tanpa membesar-besarkan beberapa kasus kekerasan, penculikan, pe- rampokan, dan penembakan dari sebaran senjata ilegal yang masih beredar, tingkat kriminalitas nyatanya turun dengan cepat di tengah masyarakat.
Faktor keamanan di Aceh pun tumbuh karena intervensi ekonomi. Jika dibaca secara komprehensif, skenario perdamaian di Aceh “berkait-kelindan” dengan proyek rekonstruksi tsunami dan investasi pembangunan. Beberapa lembaga yang menangani korban konflik dan mantan kombatan, seperti Badan Reintegrasi/Damai Aceh (BRDA) dan Inter Peace Indonesia (IPI) yang dimotori oleh ”jaringan Makassar” (JK connection) berlomba memperbesar volume anggaran perdamaian.
Faktor terakhir yang memperkuat proses perdamaian di Aceh adalah kesadaran komponen konflik melakukan transformasi politik, dari instrumen militerisme dan clandestein menuju gerakan politik terbuka-konstitusional. GAM telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan membentuk Partai Aceh (PA) sebagai media agregasi kepemiluan. SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), organisasi yang dulu dikenal sebagai sayap intelektual GAM, telah membentuk secara mandiri Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Ada empat partai politik lokal lainnya yang ikut mewarnai proses politik dan demokrasi Aceh.
Hal itu menunjukkan bahwa demokratisasi Aceh tidak hanya terkanalisasi oleh satu kelompok saja (GAM/KPA), tetapi telah menyebar menjadi kekuatan-kekuatan politik baru yang sangat mungkin menolak agenda-agenda krisis dan kerawanan keamanan tumbuh pada masa depan. Mekarnya kekuatan sipil (akademisi, wartawan, dan LSM) dalam mengisi ruang publik dengan rencana-rencana peradaban dan pertumbuhan akan menutup jalan terjal menuju medan pertempuran. Makna pentingnya adalah bahawa proses-proses komunikasi, interaksi, dialog sngat mampu untukmemperbaiki hubungan yang awalnya rusak untuk kembali menjadi baik.

D. Catatan Penutup Pelajaran Aceh untuk Papua: Mengapa Dialog MoU Helsinki-Berhasil?
Membandingkan Aceh dan Papua, tentu tidak mudah dan menuai kritik banyak pihak, terutama kalangan garis keras dan orang Papua sendiri. Perbedaan konteks dan akar konflik serta isu, aktor dan proses yang berlangsung akan menjadi catatan tersendiri untuk lebih cermat memberikan jalan keluar dan penyelesaian yang tersedia lewat cara-cara non kekerasan dan persepektif kebangsaan (nasions).
Dari sini dapat dianalisis beberapa pelajaran-pelajaran berharga dialog gagal dan berhasil di Aceh untuk proses diaolog dan damai di Papua. Kalau kita ingin melihat kemungkinan proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan menggunakan perspektif dan metode “dialog kesetaraan” untuk membangun nasion dan kebangsaan.
Dengan asumsi ada beberapa pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat diulang dan ada yang tidak, untuk membangun damai di Papua, maka ada beberapa hal yang mungkin dapat menjadi pelajaran penting yang dapat dipetik yaitu antara lain:
  1. Dialog Papua dapat dimulai dengan memperhatikan adanya moment perubahan dalam konteks internasional, bergesernya issu HAM ke issue Teorisme: hal ini berdampak terhadap menurunnya dukungan internasional akibat ledakan BEJ Jakarta: Hasan Tiro dan Malik Mahmud sempat ditahan beberapa hari oleh Pemerintah Swedia dengan tuduhan dalang teroris peledakan BEJ.
  2.  Perlu ada Dialog Bertingkat yaitu: Multitrack-dialog: Berperannya juru runding RI (Farid Husein, Naimah, dkk) dan GAM (Syamsudin Tiba, Teungku Nasruddin Ahmad, Otto S. Ishak, Desley  Ronnie, dkk.),  diberbagai saluran dan pihak (Combatan, cendikiawan, pemuda/mahasiswa, kaum ibu, LSM, Media). Trust dibangun sedemikian rupa (GAM boleh meminta apapun asal bukan Merdeka), sembari membagi visi kepada kaum pemberontak untuk menjadi lebih realistis sesuai konteks internasional yang berkembang.
  3. Hadirnya mediator luar negeri yang netral dan mampu dipercaya oleh pihak-pihak yang berselisih.
  4. Soft-Power: memperbaiki kesejahteraan prajurit TNI di lapangan, mengurangi tingkat kekerasan aparat, memperbaiki infrastruktur di Aceh, juga menjadi pelajaran untuk membangun dialog di Papua.
  5. Peristiwa Tsunami hanya sebagai katalist yang memperkuat perdamaian, sebelumnya dukungan GAM di dunia internasional menurun. Bagi OPM, Tusnami-nya adalah tindakan kekerasan akan dianggap sebagai laku teroris, yang kian diperangi warga dunia. Tsunami Teror di mata global akan melemahkan posisi OPM jika bersikeras antidialog.
  6. Memberi ruang masuknya combatan dan tokoh GAM ke saluran politik. Pilkada dan Partai Lokal, adalah pelajaran penting yang dapat dipertimbangkan sebagai upaya “hukum kekekalan energi”, energy tidak dapat dimusnahkan, energy hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Energi kekerasan dan merusak perlu dialihkan ke energi politik.***

Daftar Pustaka


Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso Editions and NLB, 1983.

Aspinall, Edward, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? Washington: East-West Center, 2005.

Awaludin, Hamid. Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008.

Bettye Pruitt and Philip Thomas. Democratic Dialogue - A Handbook for Practitioners . Canada: IDEA-UNDP-OAS, 2007.

Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gellner, Ernest.  Nations and Nationalism. Oxford : Basil Blackwell, 1983.

Guibernau, Montserrat dan Rex, John (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations. Cambridge: Polity Press, 1997

Hamid, Ahmad Farhan, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat. Jakarta: Penerbit Suara Bebas, 2006.

Heidbuchel, Esther, The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches. Wettenberg: Johannes Herrmann J & J-Verlag, 2007.

Kivimaki, Timo. Initiating a Peace Process in Papua: Actors, Issues and Process, and the Role pf the International Community. Washington: East-West Center, 2006.

McGibbon, Rodd, Secessionist Challenges in Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution? Washington: East-West Center, 2004.

Nurdin, Husaini (ed.), Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh. Aceh: Bandar Publishing, 2010.

Noor, Firman et.all. Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Politik, LIPI, 2007.

Pruitt, Bettye and Thomas, Philip. Democratic Dialogue - A Handbook for Practitioners.Canada: IDEA-UNDP-OAS, 2007.

Widjojo, Muridan (ed.), Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI-TIFA-YOI, 2009.

Yanuarti, Sri (ed.), Reconstruction and Peace Building in Aceh. Jakarta: P2P LIPI, 2005.





[1] Koordinator dan Tim Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua narasumber di Aceh dan Papua dan semua pihak yang telah membantu memperkasya mutu riset ini. Terutama kepada Prof. Syamsudin Haris dan Dr. Firman Noor, yang telah menjadi koordinator  dan anggota Tim Nas untuk kajian teoritis pada tahun pertama sejak tim ini dibangun di tahun 2007.
[2] Dengan kata lain, integritas Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke bisa terancam eksistensinya. Dialog sebagai ganti pendekatan keamanan dipercaya dapat merekatkan kembali keindonesiaan yang telah retak sebelumnya di Aceh dan keindonesiaan yang masih retak di Papua.
[3] Lihat Firman Noor, ed, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, LIPI, 2007).
[4]Lihat Ernest  Gellner,  Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), hal. 1.
[5]Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso Editions and NLB, 1983).
[6] Lihat Montserrat Guibernau dan John Rex, (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), hal.8.
[7] Lihat Ernest Gellner, Nationalism, London: Phoenix, 1998, hal.11.
[8] Gellner, op.cit, hal. 3.
[9] Ibid,- Firman Noor et.al.
[10]  Kata nasion mengacu pada batasan yang disampaikan oleh Mochtar Pabottingi yang menandai sebuah kolektifitas politik egaliter-otosentris  yang memiliki batasan wilayah atas dasar dialektik sejarah dan proyeksi kepentingan bersama di kemudian hari, lihat Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari sisi Historis-Politik di Indonesia, Orasi Ilmiah Pengukuhan Sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (Jakarta: PPW LIPI, 2000).
[11] Ibid,- Firman Noor et.al
[12] Lihat Bettye Pruitt and Philip Thomas, Democratic Dialogue - A Handbook for Practitioners (Canada: IDEA-UNDP-OAS, 2007), hal. 19.
[13] Op.cite. Democratic Dialogue, hal. 22.
[14] Penjelasan istilah:  COHA adalah Cessation of hostilities agreement. HDC adalah Henry Dunant Center.
[15] Wawancara dengan D. Ronnie, mantan juru runding Aceh-Jakarta, kandidat Doktor Ph.D Student on Peace and Conflict, Copenhagen University, Sweden, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh, staf GTZ di Aceh. Pernah berperan sebagai  juru runding GAM, bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila, Kachin-Karen di Birma, punya akses jaringa dengan tokoh OPM di dalam dan luar negeri..

[16] Lihat Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua (Medan: Waspada & Parkarsa Abadi Press, 1995)
[17] Lihat Harian Meunasah, tgl. 24/3/1999, terbitan lokal Banda Aceh bertajuk: “Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai”.
[18]  Lihat Zubaidah Djohar,  Pulang Melawan Lupa (Banda Aceh: Lapena – Banda Aceh 2012). Sebuah karya yang berjenis : Kumpulan Puisi. Pertama Sekali membaca judul ini, seketika rasa kita akan seperti terpenjara. Betapa kata-kata dalam judul ini telah menyimpan rangkaian makna, menyediakan tubuhnya untuk menyuarakan betapa banyak suara yang harus diteriakkan, betapa banyak pekerjaan yang belum selesai, dan buku ini seperti muara dari gelombang arus pecahan-pecahan jiwa manusia yang ditelantarkan, seakan sejarah ketidakadilan secara sistematis lesap dan dilepaskan secara perlahan, lembar demi lembar, baris demi baris, kalimat demi kalimat, sampai kata demi kata, tinggal huruf-huruf yang berserakan karena maknanya diinjak untuk dikubur dalam liang bernama lupa. Sejarah telah dijauhkan dari ingatan. Issue Aceh sekarang adalah perang dan pulang melawan lupa.




[19] Wawancara FGD Syafuan Rozi dan Mochtar Pabottingi dengan Wiratmadinata SH MH (Direktur International Center for Transitional Justice--ICTJ Kantor Banda Aceh), Saefuddin Bantasyam, MA -Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik-Dosen Hukum dan Masyarakat, FH Unsyiah; Muslahuddin Daud (Peace and Development, World Bank, Banda Aceh); Drs. Fuad Mardhatillah MA (The Aceh Institute-dosen senior IAIN Ar-Raniry); Dr. Saiful Mahdi (ICAIOS-Pusat Studi Kawasan Asia dan Samudra Hindia, Unsyiah); Delsy Ronnie (Ph.D Student on Peace and Conflict, Copenhagen University, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh, pernah berperan sebagai  juru runding GAM, bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila, Kachin-Karen di Birma, punya akses dg tokoh OPM); Dra. Naimah Hasan MA (mantan perwakilan RI untuk Jeda Kemanusiaan, Hendry Dunant Center, Banda Aceh). FGD di Pusat Studi Perdamaian dan ResolusiKonflik, Unsyiah, Banda Aceh 3-6 Juli 2012.







[20] Narasumber Dra. Naimah Hasan MA, adalah Dosen FE UNSYIAH, mantan perwakilan RI untuk Jeda Kemanusiaan yang dilakukan oleh HDC (Hendry Dunant Center), di Banda Aceh, Davau-Philipina dan mediasi Tokyo, di Jepang.
[21] Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP UNIMAL, Lokhsumawe menjelaskan analisnya yang berkaca pada proses penyelesaian konflik Aceh melalui skenario MoU Helsinki terlihat proses perdamaian masih menjejak pada keamanan sosial dan struktural, belum menjadi keamanan kultural. Misi penguatan perdamaian di Aceh masih mengarah kepada skenario global, di mana manajemen konflik dilakukan melalui liberalisasi politik dan marketisasi. Proses ini memang ditunjukkan dengan terbentuknya beragam regulasi dan struktur-struktur politik yang mencacah residu konflik dan kekerasan sekaligus masuknya industri investasi. Namun, proses ini belum menjadi keyakinan dan keampuhan bagi seluruh masyarakat. Pilkada dan transformasi politik GAM telah berlangsung, tetapi kesejahteraan dan kenyamanan masih jauh dari pandangan (masyarakat kecil).


 www.academia.edu

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...