executive summary
TAWARAN dialog dALAM membangun keindonesiaan:
Mengurai
Kemungkinan Pelajaran
Damai Aceh untuk Papua
Oleh:
Syafuan Rozi (Koordinator)
Muridan S. Widjojo
Nina Andriana
Mochtar Pabottingi
PUSAT
PENELITIAN POLITIK (P2P)
LEMBAGA
ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Jakarta
2012
TAWARAN Dialog daLAM membangun keindonesiaan:
Bab I Pendahuluan
1.
Pengantar
Penelitian tim Nasionalisme P2P LIPI kali ini ingin mengungkap bagaimana pengalaman
gagal dan berhasilnya dialog Aceh. Aspek aktor, isu dan proses akan disorot secara analitis
untuk memahami akar konflik dan
proses dialog di Aceh dengan menggunakan bingkai perspektif nasionalisme
dan etnonasionalisme yaitu sudut pandang bagaimana paradigma Keacehan dalam
Keindonesiaan. Kekhasan dan kebaruan riset ini adalah ingin melihat kemungkinan
proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan
menggunakan perspektif dan cara “dialog kesetaraan” dalam membangun nasion
Keindonesiaan. Dengan asumsi ada beberapa pengalaman perdamaian di Aceh yang
dapat diulang untuk membangun damai di Papua.
2. Perumusan
Masalah
Perumusan permasalahan riset ini adalah bagaimana melihat kemungkinan
proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan
menggunakan perspektif dan metode dialog kesetaraan untuk membangun kebangsaan,
bukan melalui cara koersif atau kekerasan. Dengan asumsi ada beberapa
pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat diulang untuk membangun damai di
Papua.
2.1. Bagaimana proses dialog di Aceh dirintis? Pelajaran
tentang isu, aktor dan proses damai apa yang menentukan keberhasilan untuk mengakhiri konflik
separatisme di sana?
2.2. Bagaimana proses dialog di Papua dapat dimulai? Perbedaaan
dan persamaan isu, aktor dan proses damai apa yang dapat dipelajari dari
keduanya?
2.3. Sejauh mana keberhasilan dialog yang mengakhiri
konflik separatisme di Aceh dapat memperkuat bangunan keindonesiaan dan
integritas RI? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman Aceh untuk
dapat diterapkan di Papua?
3. Tujuan dan
Sasaran
3.1. Tujuan
3.2. Sasaran
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas,
sasaran penelitian yang ingin dicapai adalah:
3.2.1 Memahami bagaimana proses dialog Aceh
dirintis dengan melihat isu, aktor
dan proses yang menentukan keberhasilannya;
3.2.2 Memahami akar konflik Papua dan proses awal dialog yang sedang
dirintis dengan melihat isu, aktor, dan proses yang dapat menentukan
keberhasilannya;
3.2.3 Membandingkan Aceh dan Papua, perbedaan konteks dan akar konflik
serta isu, aktor dan proses. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran
berharga Aceh untuk proses damai di Papua;
4. Metodologi
4.1.
Kerangka Konseptual
4.1.1. Kebangsaan
Konsep
kebangsaan memiliki banyak makna dan
pengertian.[3] Ernest Gellner
mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini
bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya
harus saling selaras.[4]
Dalam batasan ini keberadaan sebuah kelompok etnis (baik dalam konteks
minoritas berkuasa atau minoritas sempalan) yang dipandang bukan bagian dari
sebuah entitas bangsa dalam sebuah wilayah politik dapat berpotensi menggangu
eksistensi nasionalisme sebuah bangsa. Dengan demikian kebangsaan juga seringkali menjadi alat
legitimasi politik yang melihat batasan-batasan etnik sebagai sebuah aturan
atau prinsip legalitas. Pelanggaran terhadap batasan ini kerap dipandang
sebagai sebuah tantangan bagi kebangsaan.
Sementara Benedict Anderson melihat kebangsaan
sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat
yang kerap tidak saling mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana
kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan
teritorial tertentu.[5]
Sedangkan Guibernau dan Rex yang mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan bahwa
dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada
sebuah teritori tertentu, kebangsaan sejatinya merupakan sebuah kemauan untuk bersatu
tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan.[6]
Dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat
tentang kebangsaan,
Gellner sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kebangsaan sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang universal dan berlaku umum untuk seluruh manusia. Namun di sisi
lain keberadaannya bagi suatu bangsa merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya,
bahkan dapat dikatakan sebagai suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan
semata. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa kebangsaan yang sepatutnya dikembangkan
adalah sebuah kebangsaan
yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang
komprehensif.[7]
Dalam konteks tersebut sebuah kebangsaan,
prosesnya aktif mengajak, tidak bertindak diskriminatif, dan bekerja produktif
bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Di sinilah definisi “nasion”
mendapatkan relevansinya. Atas dasar “kepentingan humanistik” inilah secara
hipotetik kebangsaan dan keindonesiaan yang ditawarkan oleh penelitian ini akan
dibangun dan menjadi acuan konseptual.
Dalam pada itu dari batasan di atas kebangsaan
sejatinya selalu terkait dengan sebuah keinginan untuk bersatu dalam sebuah
unit politik berupa institusi dengan wilayah perbatasannya yang berarti adalah
sebuah negara dengan beragam identitas budaya di dalamnya. Oleh karena itu
kajian kebangsaan
sejatinya memang terkait erat dengan dua konsep, yakni negara (state) dan
bangsa (nation).[8]
Dari beragam batasan di atas secara generik maka
pengertian kebangsaan dalam penelitian ini akan mengacu pada kemauan untuk rela bersatu atas dasar
dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana
semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna
keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan
demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan, kebersamaan, kesetaraan dan persatuan.[9]
Dengan batasan ini terlihat sebuah peluang kajian
dalam melihat keberadaan kebangsaan atau khususnya keindonesiaan terutama
dikaitkan dengan sebuah situasi di mana faktor kerelaan dan kesadaran untuk
bersatu dalam sebuah nasion merupakan sesuatu yang dikonstruksikan oleh sebuah
komitmen di sebuah zaman. Di sinilah
peran signifikan negara dengan segenap hak yang dimilikinya termasuk hak
koersif dalam menentukan langkah, kebijakan dan maksimalisasi penggunaan sarana
yang dibutuhkan dalam melaksanakan upaya-upaya penguatan kebangsaan.
4.1.2. Keindonesiaan
Keindonesiaan adalah
sebuah nasion.[10] Prinsip-prinsip dasar dan ideal yang menjadi
pijakan berdirinya entitas Indonesia sebagai negara-bangsa. Keindonesiaan
merupakan watak yang diharapkan menentukan bentuk dan mengarahkan perjalanan
Indonesia. Konstruksi filosofis normatif keindonesiaan telah dirumuskan dan
dikembangkan oleh para pendiri negara-bangsa Indonesia dan secara dinamis
berkembang seiring dengan sejarah hubungan kekuasaan Indonesia itu sendiri.
Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar keindonesiaan yang formal kita miliki
selama ini.[11]
Indonesia dalam keseharian hadir diwakili oleh
berbagai institusi, pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga
peradilannya. Wajahnya dibentuk tidak hanya oleh perilaku para pemimpin yang
mewakili berbagai institusi negara di tingkat nasional, tetapi juga para aparat
negara di tingkat yang paling rendah seperti desa. Di berbagai wilayahnya
Indonesia lebih dipahami dan hadir dalam keseharian yang konkrit. Wajah
Indonesia hadir secara nyata melalui perilaku dan kinerja pejabat lokalnya,
terutama aparat pendidikannya, kualitas pelayanan kesehatannya dan aparat
keamanannya.
Keindonesiaan, selain dirumuskan dan dikembangkan
secara filosofis oleh para pendiri negara dan pemikirnya, di tingkat akar
rumput Indonesia dipahami berdasarkan kualitas dan wajah kehadirannya
sehari-hari. Dengan kata lain, kehadiran Indonesia yang buruk tidak serta merta
membuat suatu kelompok masyarakat ingin memisahkan diri dari Indonesia. Menjadi
bagian Indonesia pada tahap sekarang ini seperti telah dianggap terberi. Tidak
lagi dipertanyakan.
4.1.3. Dialog
Apa pentingnya dialog dibanding cara perang atau kekerasan? Dialog adalah suatu proses penyelesaian masalah
yang digunakan untuk menyelesaikan isu-isu sosial politik dan ekonomi yang
tidak dapat diselesaikan sendiri oleh satu atau dua institusi pemerintah yang
bersangkutan. Menurut Mark Gerzon yang paling spesifik dari pengertian dialog
adalah para pihak di dalam dialog datang bersama di suatu tempat yang aman
untuk saling memahami sudut pandang para pihak satu sama lain dengan maksud
untuk mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian masalah yang sudah
diidentifikasi secara bersama-sama.[12] Lewat dialog akan dikurangi korban manusia dan harta benda. Lewat
dialog yang konstruktif, anggaran perang dan kekerasan dapat dialokasikan
menjadi program kesejahteraan dan peningkatan peradaban.
Pada khasanah teori dialog pada umumnya, dia
dibedakan dengan konsep mediasi atau negosiasi. Perbedaan utama terletak pada
hasil kegiatannya dan pihak yang terlibat. Dialog menghasilkan suatu perubahan
pola hubungan, membangun kapasitas politik untuk menyelesaikan masalah-masalah.
Dengan dialog dasar untuk membangun kepercayaan, saling menghormati dan kerjasama
dapat dibangun. Dialog ditujukan bagi pihak-pihak berkonflik yang belum siap
untuk maju ke tahap negosiasi atau mediasi.
Sebaliknya, mediasi atau negosiasi biasanya
menghasilkan suatu persetujuan yang konkrit, memenuhi kepentingan material para
pihak, berurusan dengan hak-hak dan benda-benda yang dapat dibagi dan
dirumuskan dalam cara yang terukur. Dialog dan mediasi tidak dilihat saling
menggantikan, tetapi saling melengkapi.[13]
4.2.
Metode Penelitian
a.Jenis Penelitian:
Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah
deskriptif-eksplanatif. Fokusnya
adalah kajian politik identitas dalam mencarikan jalan keluar gerakan disintegrasi
di Indonesia dengan perspektif dialog dan membangun keindonesiaan yang ramah
bagi Kepapuaan.
b.Teknik Pengumpulan Data:
Pengumpulan data
dilakukan dua teknik, yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan. Untuk studi
lapangan akan dilakukan melalui dua model, yaitu wawancara mendalam dan FGD (Focus
Group Discusssion). Wawancara mendalam, dilakukan terhadap beberapa
narasumber, seperti (1) mantan anggota GAM/OPM (2) mantan juru runding
pemerintah/GAM, 3) LSM/Ormas, (4) akademisi, (5) tokoh-tokoh gereja dan ulama,
6) pejabat pemerintah yang tugas dan perannya terkait secara langsung dengan
konflik di Papua dan Aceh. Penentuan narasumber dilakukan dengan memperhatikan
pengetahuan, pengalaman dan posisi narasumber terkait dengan topik penelitian.
Selanjutnya untuk
mendapatkan sebuah hasil penelitian yang komprehensif dan berimbang maka
narasumber penelitian ini terdiri dari (1) pihak yang selama ini dipandang
sebagai pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) mereka yang
diidentifikasi sebagai kalangan pemimpin atau pendukung gerakan politik Papua
Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka, dan (3) kalangan yang dipandang netral,
misalnya kalangan Gereja, LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Asumsi dan hipotesa kerja yang dibangun antara lain: 1) Percaya
bahwa proses perdamaian Aceh (antara GAM dan NKRI/Jakarta) dalam tingkat
tertentu dapat diulang dan dipersiapkan, bahkan dengan cara-cara yang lebih
baik. 2) Dialog adalah cara yang lebih
beradab daripada cara kekerasan bersenjata dan intimidasi. 3). Level analisis
riset ini adalah isu, aktor dan proses damai.
c.Teknik Analisis Data:
Data yang terkumpul lewat wawancara dan FGD melalui proses check-rechek atau triangulasi dengan pihak terkait yang berbeda posisi.Asumsi dan
hipotesa kerja yang dibangun lewat riset ini adalah tim peneliti percaya bahwa
kebaikan dialog lewat cara persuasif dan setara akan membuahkan hasil perdamaian
positif yang baik juga, dan tidak sebaliknya. Peneliti melihat proses
perdamaian Aceh dan Papua dengan menggunakan paradigma perdamaian dan perspektif
dialogis guna membangun bersama nasionalisme Keindonesiaan-Kepapuan baru untuk
masa depan bersama.
Aktor, metode dialog, agenda bersama sekarang dan masa depan
dibangun lewat proses kesetaraan, bukan melalui cara sepihak, tertutup, koersif
atau pengutamaan kekerasan. Adapun
dimensi yang akan menjadi fokus riset ini adalah pola-pola pelajaran
penyelesaian dari Aceh dan tahapan membangun Dialog dan Keindonesiaan.
4.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dua lokasi: Banda
Aceh dan Jayapura. Banda Aceh dipilih karena kota ini merupakan ibukota
provinsi Aceh di mana narasumber yang kompeten dapat ditemukan. Jayapura juga
merupakan ibukota provinsi Papua dan di kota ini peneliti dapat mewawancara
berbagai narasumber yang memiliki kompetensi yang memadai untuk memberikan
informasi. Mengingat keterbatasan dana yang ada, Manokwari yang menjadi ibukota
Papua Barat tidak akan dikunjungi.
6. Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN: membahas riset disain,
pertama, konsep dialog, keamanan, represi, kebangsaan, serta konteks sejarah
dan politiknya. Kedua, pokok permasalahan dan kerangka pemikiran berisi
konsep-konsep dan narasi
tentang konflik Aceh dan Papua dalam perspektif komparatif. Ketiga, metode
penelitian. Keempat, sistematika laporan.
Bab II DIALOG ACEH DALAM PERSPEKTIF KEBANGSAAN:
AKTOR, ISSUE DAN PROSES DIALOG BERTINGKAT. Bab ini membahas
bagaimana
Aceh bersama pengalaman konflik dan dialognya. Segi aktor, isu dan proses
akan disorot secara analitis untuk memahami akar konflik dan proses
dialog di Aceh dengan melihat isu, aktor dan proses yang menentukan kegagalan dan keberhasilannya dengan menggunakan bingkai perspektif
nasionalisme dan etnonasionalisme. Keacehan dalam Keindonesiaan.
Bab III DIALOG PAPUA, membahas Papua bersama
pengalaman konflik dan upayanya untuk membuka jalan dialogis. Diharapkan akar
konflik Papua dapat dipahami dan proses awal dialog yang sedang dirintis dengan melihat isu, aktor, dan
proses yang dapat menentukan keberhasilannya atau juga kegagalannya;
Bab IV. TAWARAN PELAJARAN DIALOG ACEH UNTUK PAPUA, membahas akar konflik, konteks
dan komponen-komponen isu, aktor, proses yang menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara Aceh dan Papua. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran
berharga Aceh untuk proses damai di Papua;
Bab V CATATAN PENUTUP, berupa kesimpulan dan rekomendasi
terkait signifikansi pengalaman dialog Aceh
dan Papua dalam konteks kebangsaan, memperkuat integritas RI dan memperkuat
keindonesiaan.
BAB II
DIALOG ACEH DALAM
PERSPEKTIF KEBANGSAAN:
Pembelajaran Seputar
Aktor, Issue dan Proses Dialog Bertingkat?
A. Merangkul Aktor Dialog Aceh: Menyisir
Penentu Keamanan?
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana
proses dialog di Aceh dirintis.
Pelajaran tentang siapa aktor yang efektif dilibatkan dalam
membangun proses damai,
yang kemudian menentukan
kegagalan dan keberhasilan
untuk mengakhiri
konflik separatisme di Aceh
menjadi fokus bagian tulisan ini. Ada pelajaran penting berupa
kegagalan dialog Aceh untuk Papua soal
siapa aktor yang dilibatkan untuk membangun dialog perdamaian Aceh dan NKRI lewat
Jeda Kemanusiaan COHA-HDC,[14] di masa Keperesidenan
Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri, dengan hasil dialog damai belum
berhasil dibangun.
Penyebabnya adalah pendekatan single-track negotiation, artinya aktor
yang dilibatkan hanya aktor formal tertentu seperti akitifis LSM, Ormas, Rohaniwan
dan bukan dukungan internasional dan aktor penentu keamanan atau securitizing –actors di lapangan[15] Berikut ini pemetaan beberapa aktor
di Aceh yang telah dihubungi dalam upaya membangun dialog damai antara lain:
1. Non-Securitizing Actor:
Ada informasi dari narasumber bahwa di masa Keperesidenan Abdurahman
Wahid-Megawati Soekarnoputri, pihak Jakarta mengirimkan tokoh atau juru runding
ke Aceh untuk menemukan solusi hubungan Jakarta-Aceh. Pihak yang ditemui adalah
kalangan LSM dan Ormas, tokoh adat, tokoh kampus dan tokoh ulama di beberapa
pelosok Aceh. Namun apa yang terjadi, dialog antar parapihak elemen masayarakat
sipil terjadi dan bahkan ada Konggres Perempuan Aceh yang melibatkan semua
wakil perempuan di Aceh dan di perantauan. Namun, peristiwa damai tidak
menemukan jalan terangnya. Peristiwa kekerasan berulang. Suasana damai negatif
(situasi tanpa kekerasan) saja sulit tercapai, apalagi damai positif (situasi
membangun).
2. Securitizing Actor:
Adalah aktor kunci penentu keamanan di
lapangan. Securitizing Actor dalam
konteks konflik Aceh adalah aktor yang berperan dalam menentukan keamanan di
lapangan. Mereka ini antara lain para jenderal lapangan pemimpin yang dapat
mengendalikan aparat tentara dan kepolisian, intelijen dan juga pemimpin politik
yang disegani dan didengar oleh para combatant
dan militia AGAM (Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka).
Peranan dan kepiawaian Farid Husain dan Juha C.
dalam membangun
kepercayaan pihak GAM untuk melobi mereka masuk dalam perundingan damai dengan juru runding Indonesia merupakan cerita unik
tersendiri. Walaupun lebih banyak tampil di
bawah permukaan, Farid diam-diam memainkan peranan penting, utamanya ketika dia
mampu “meluluhkan hati” pimpinan dan elit GAM (yang semula menolak berdialog),
sehingga bersedia duduk di meja perundingan. GAM percaya dengan Farid, karena setelah bertemu tokoh GAM dihutan,
tidak ada sweeping oleh TNI. Ini
artinya Farid mampu mengendalikan militer garis keras (hawkies) di pusat Jakarta dan di lapangan Aceh.
3. Spoiler Actor:
Ada anggapan dari juru runding GAM
yang menilai beberapa intelektual CSIS, LIPI, UGM di Jakarta dan Yogyakarta,
lebih mendorong dilakukannya cara-cara perang ketimbang negoisasi dan dialog.
Hal ini sangat mengganggu upaya dialog antara pihak GAM dan NKRI. Sehingga komentar
dan analisis politik mereka dianggap mendua, disatu sisi ingin membangun damai
di Aceh, namun dampaknya membuat pihak GAM makin marah dan membuat keputusan
setengah hati. Ada ungkapan buat apa berdamai dengan pihak Indonesia yang tak
tahu membalas budi dengan orang Aceh. “Kemerdekaan Aceh, hanya seperti tinggal
sebatang rokok saja”.
B.
Isue-Isue Konflik Aceh:
Politik Identitas, Keadilan Ekonomi dan Perang Melawan Lupa?
1. Kisah Nasionalisme dan Etnonasionalisme
Aceh: Janji Soekarno dan Kecewa Tengku Daud Berueh.
Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai
sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki
Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan
membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan
penjajah Belanda. Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja
menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud
Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai
saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut
mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar
antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita
proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala
senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami
kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk
menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam
perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang
yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti
Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang
yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara
Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa
apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk
menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab
90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa
mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan
suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan
Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya
mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon
(sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara
Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.” (Mendengar ucapan Daud Beureueh
itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah
membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan).
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku
menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan
tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara
Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada
rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.” (Sambil menyeka airmatanya,
Bung Karno mengucap janji dan bersumpah).
Bung Karno bersumpah : “Waallah
Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk
menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya
akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan
Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali
lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan
hati Saudara Presiden.” Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy
dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis
terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan
hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun
kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun
pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan
pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Hal itui telah menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang
porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang,
lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan
keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya
dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya
dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah,
meunasah-meunasah, dan sebagainya
yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung
Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah
diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai
kesalahan yang tidak pernah termaafkan.[16]
2. Hasan Tiro dan Siapa Mengelola Minyak Gas
Aceh: Pusat, Daerah atau Asing?
Nukilan buku harian Hasan Tiro yang berjudul "The Price of Freedom: The Unfinished Diary", menjadi penjelasan penting untuk mengungkap soal apa dan bagaimana akar konflik vertikal Aceh-Jakarta, yang intinya adalah keadilan bagi Putra Aceh, untuk dapat memiliki konsesi minyak. Jangan hanya pihak asing yang diberi kesempatan. Pembelajaran penting, yang dapat menjadi cermin dalam membagun upaya Dialog Papua-Jakarta. Berikut ini petikannya:
“…Dalam
sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usaha-usaha
penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya
minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup
kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21Oktober 1975
menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya
di Asia Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas
alam terkaya di dunia." Jurnal itu
juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah menawarkan 37 persen konsesi
Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada pemerintah Jepang…”.
Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak melibatkan orang Aceh
yang memiliki kekayaan alam itu. "Rakyat Aceh menjadi terasing di
negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan
asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah
hal semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam
catatan hariannya.
Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan
Nasional (National Liberation Front Acheh
Sumatera = NLFAS) di "Propinsi
Pase", tempat Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan
lembut" dengan show of force di
dekat Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak. Dalam aksinya,
pasukan NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi
keselamatan mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang
dari Mobil dan Bechtel agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat
kembali lagi nanti kalau suatu saat Aceh sudah merdeka," demikian bunyi
seruan yang disebarluaskan.
Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan
pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir
jalan raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak
dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban
jiwa dari kedua belah pihak.
Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya
"pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para
penyuplai makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS—dengan
seseorang. Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya
tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat
Tengku!". Masalahnya adalah
pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton
menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya. "Tidak! Saya tidak akan pergi sebelum
melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling
tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi.
Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat
ke tanah dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja
sepanjang hari yang cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan
pakaian hijau dan pistol tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro. Lalu,
ia meminta pengawal untuk membawa orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk
tergesa-gesa dan langsung mencium tangan Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan
erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya Taleb Abu Mae (Ismail). Air
matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok sehari sebelumnya dan
tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro.
Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu
merupakan pertemuan yang sangat bermakna. Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae
tewas diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia
meninggalkan seorang istri yang masih sangat muda dan dua anak.Taleb diminta
ayahnya pergi ke hutan untuk membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut
tewas bersama Taleb adalah Sulaiman Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang
Lhee, Pidie, yang merupakan seorang pemimpin NLF cukup brilian.
Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung
untuk satu misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjatasaat
diserang. Sulaiman meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga
anak. Pelantikan kabinet Meskipun
kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976
dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru Aceh, tapi
mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat.
Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama
hampir setahun. Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik
para menteri yang terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang
bertepatan dengan hari pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25
tahun "mengembara" di AS. Hanya dua orang yang tidak berada di
tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Luar Negeri
Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Diputuskan juga
tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab lokasi itu dekat dengan
sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat diperoleh secara
mudah.
Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat
cocok bagi sebuah acara pelantikan. Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp
dihias dengan berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar
kenegaraan. Daging, beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan
makanan lain dipasok secara besar-berasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari
desa pinggiran sibuk membuat kue-kue. Tak ada rahasia tentang acara pengambilan
sumpah para menteri. Hari yang bersejarah itu pun tiba. Setelah dua jam
berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro tiba di Kamp Lhok Nilam.
Segalapersiapan sangat sempurna. Di "pintu utama"
terpampang kalimat "Selamat
Datang Wali
Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada setiap
orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut. Podium utama
terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di
utara, terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar
belakang Gunung Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan
(sebelah timur) terdapat batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas ketika
ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.
Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan
makanan siap disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa
terdekatlah yang membawa semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak.
"Saya belum pernah menikmati makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun
di dunia ini. Tidak juga ketika saya berada di Maxim Paris atau di Mirabelle
London, atau Le Mistral New York,"
ujarnya.
Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat.
Acara dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang
menteri yang sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi
Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi
semua perintah Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan
Sultan Iskandar Muda dan Tengku Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara
Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga konstitusi Aceh Sumatera."
Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi
Menteri Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap
Menteri Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini
Abdullah, Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir
Mahmud, Menteri Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan
Umum dan Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan
Panglima Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.
Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang
dipimpin Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan
bintang bergaris hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara
azan oleh seorang muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat
NLF berdiri di belakang podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam
lengkap. "Saya tidak pernah melihat orang-orang saya lengkap seperti ini
sebelumnya. Saya sangat bangga kepada mereka," tulis Hasan Tiro. Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh
menyampaikan pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube.
Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta
berkah dari para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air
mata setiap orang pun tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro
tampil sebagai pembicara terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan
pengikutnya. Air matanya tumpah. Ia tahu
semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat
perjuangan yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling
dalam terbetik satu tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada
orang-orang saya!". Demikian ilustrasi catatan harian Hasan Tiro, tuntutan
issue dan perjuangannya sebagai kaum pemberontak, di tahun 1977, yang berujung
damai di Mou Helsinki di tahun 2005.[17]
3. DOM Aceh: Perang dan Pulang Melawan Lupa?
Seniman dan penyair Aceh Zubaidah Djohar,
menggambarkan issu di Aceh sekarang lewat bukunya: Pulang Melawan Lupa.[18] Karya
Zubaidah Djohar ini seperti sebuah kilas balik akan sebuah sejarah kelam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Kilas balik yang bukan saja untuk menabur ulang
dendam yang terpendam, atau membakar kembali kesumat yang padam. Buku ini
justru laksana sebuah jalan yang mungkin sesekali dapat kita lalui untuk
mengingatkan akan sebuah sejarah dari sebuah negeri, agar generasi yang akan
datang memahami tentang betapa rakusnya sebuah kekuasaan, betapa berkuasanya
sebuah kekerasan. Buku ini juga seperti sebuah”reminder” buat kita,
agar dalam perjalanan waktu ke masa depan, kita diingatkan, ada masalah yang
belum tuntas, ada ketidakadilan yang belum benar-benar tegak, ada sejarah yang
dikubur tanpa suara.
Bagi masyarakat Aceh, DOM Operasi Jaring Merah,
telah menjadi momok yang sangat menakutkan dan traumatik, sebab menurut
kesaksian korban dan keluarga yang masih hidup ada oknum aparat ABRI yang telah
bertindak semena-mena terhadap rakyat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
GPK atau GAM. Telah terjadi proses kriminalisasi dan pengkambinghitaman berupa
rekayasa kejadian bahwa rakyat Aceh yang tidak terlibat pembrontakan-spratisme,
juga tidak melakukan tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum lainnya, pun
dianggap sebagai anggota gerakan GPK tersebut.
Akibatnya, tindak kekerasan, penyiksaan atau
penangkapan orang tanpa prosedur atau penculikan atau pelecehan seks dan
pemerkosaan, atau penghilangan nyawa manusia maupun praktek-praktek pelanggaran
hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat antara kurun waktu
1989-1999.
Dalam perspektif korban yang peneliti temui, operasi DOM antara kurun waktu 1989-1999 dianggap sebagai mimpi buruk bagi korban konflik vertikal antara GAM dan NKRI, rakyat sipil terjepit di tengah-tengah. Geuchik-kepala desa, bpk. Usman, asal Pidie, turut menjadi korban “pemerasan” uang keamanan kepada oknum TNI/Polri dan uang pajak nanggroe yang dipungut combatan GAM. Jika tidak diberi, kekerasan fisik dan psikis mereka alami. Intinya mereka akan terus melakukan gerakan damai untuk melawan lupa terhadap kejadian pelanggaran HAM masa lalu.
Pilihannya adalah tangkap pelaku untuk dihadirkan dalam pengadilan HAM atau selesaikan dengan cara bermartabat lewat pengakuan, pencataan ke dalam dokumen Negara dan pemaafan. Soal ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi lewat KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh, terganjal oleh dibatalkan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi akibat tuntuan LSM soal impunity, yang membatalkan keseluruhan pasal-pasal dalam UU KKR. Hal ini mendorong pula, diragukannya kanun KKR Aceh akan efektif menghadirkan pelaku yang di luar Aceh.
Narasumber kak Rukhiyah dari Komunitas Korban DOM Aceh dan pak Usman yang pernah menjadi geuchik atau kepala gampong atau desa di Pidie menceritakan pengalaman hidupnya yang begitu pahit dan kini seolah dilupakan begitu saja oleh para pelaku dan Negara. Ada yang tidak adil bagi mereka, korban tsunami mendapatkan begitu banyak bantuan dari berbagai pihak, namun mereka yang menjadi korban konflik banyak yang cuma gigit jari dan berlinang air mata. Tidak ada program atau paket bantuan untuk korban konflik DOM yang dicanangkan oleh Pemda atau Negara ini.
Bersadarkan kesedihan yang mereka ceritakan tampaklah terjadi keadaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Nanggro Aceh dalam kurun waktu 1998-1999 sebagai hal yang luar biasa. Kejahatan ini juga terencana, terorganisir, dan sistematis. Di antara data yang diserahkan pegiat LSM kepada Komnas HAM antara lain, ada korban yang diculik, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan itu, ada kemiripan dengan modus operandi penculikan aktivis pro-demokrasi yang melibatkan oknum Kopassus di Jakarta.
Peristiwa pembantaian, penyiksaan, perkosaan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer, misalnya ada wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan kabel, ada pula yang diperkosa di depan anaknya, telinga disayat dan ditetesi jeruk nipis, kepala dipukul dengan balok lalu dikuliti di depan anaknya, kepala digantung dan dipukuli dengan kayu, leher digorok dan kepalanya ditenteng sepanjang jalan dan suami dipaksa keluar dari rumah sementara istrinya ditelanjangi lalu diperkosa sambil berdiri.
Jika kita mendengar bagaimana cerita dari para korban dan keluarga korban
DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dapat digambarkan seperti gajah bertarung
sama gajah, pelanduk mati terjepit di tengah-tengah. Para keluarga dan korban
DOM yang masih hidup ada dalam penantian panjang seolah di jalanan sepi dan tak
ada yang serius peduli kecuali para seniman Aceh yang terus berpuisi dan
berkata-kata dalam syair sastra: “Gerakan Pulang Melawan lupa?”. Hal tersebut
relatif dapat mewakili bagaimana gambaran tentang kegelisahan dan derita yang
belum terobati, milik keluarga yang ditinggalkan dan korban yang belum sembuh
luka fisik dan batinnya.
Tim peneliti sempat menjumpai komunitas korban DOM Aceh yang
menceritakan apa yang mereka alami dan apa yang mereka inginkan. Juga data-data
sekunder yang telah didokumentasi oleh para cendikiawan Aceh, KOMNAS HAM Kantor
Banda Aceh, LSM KONTRAS Aceh, Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik,
UNSYIAH, Aceh Institute, dan
lain-lainnya. Pada perinsipnya mereka ingin membangun damai yang positif di
Aceh pascaperjanjian MoU Helsinki.
Namun butir kesepakatan MoU dan UU Pemerintahan Aceh, yang
mensyratkan dan mengatur dibentuknya Kanun KKR (Komisi Kebenaran dan
Rekonsliasi) dan Pengadilan HAM, hingga hampir 7 tahun saat riset ini dilakukan
belum menunjukkan kehadirannya secara lebih jelas atau nyata. Sehingga seniman
dan sastrawan Aceh, ada yang mengadakan gerakan kultural, intelektual dan seni,
agar para korban dan keluarga peristiwa DOM Aceh janganlah dilupakan begitu
saja.
C.Proses Dialog Aceh:
Keberhasilan Dialog Bertingkat?
Dialog Bertingkat adalah proses
membangun dialog dengan teknik multi-track
negotiation and diplomacy, yaitu negosiasi, diplomasi dan dialog yang
dilakukan oleh aktor Negara di tingkat lokal, nasional (single-track diplomacy) dan
internasional (second-track diplomacy).
Ketika dialog nasional gagal, aktor Negara diam, kemudian membiarkan aktor
non-negara untuk ambil peranan dalam membangun saling trust antara aktor kunci
penentu keamanan dan juru runding Negara untuk membangun dialog di tingkat
internasional, bersama pihak mediator internasional yang “terpercaya” oleh
pihak-pihak yang berselisih. Sembari mengupayakan turunnya dukungan
internesaional terhadapak kaum pemberontak yang tindakannya mengarah ke
terorisme, sementara tingkat pelanggaran HAM di tingkat lokal oleh tentara dan
aktor keamanan lainnya, dikendalikan sedemikian rupa.[19]
C.1.Pra-Dialog Perdamaian Aceh:
Kalau kita mau melihat proses damai Aceh sebagai bagian
pembelajaran untuk dialog dan damai, yang bisa digunakan untuk wilayah lain
misalnya Papua. Pertama, diterimanya MoU Helsinki sebenarnya merupakan proses
kegagalan dan keberhasilan yang bertingkat. Tidak bisa disimpulkan bahwa
keberhasilan satu tingkat merupakan keberhasilan semua proses. Contoh mengapa
tawaran dan penerapan otonomi khusus di Aceh relatif dapat dilaksanakan. Hal itu disebabkan adanya
kesepakatan damai GAM bersama pemerintah Indonesia. Mengapa kesepakatan itu
bisa ada atau dapat dicapai, karena ada konsesi terhadap otonomi dari
pemerintah Indonesia kepada GAM.
Pertanyaan berikutnya mengapa GAM mau berunding dengan
pemerintah Indonesia? Pertama, GAM mau berunding dengan pemerintah Indonesia
bukan karena faktor otonomi saja, ada faktor lain seperti melemahnya dukungan
internasional. Hasan Tiro dan Malik Mahmud pernah ditahan sementara oleh polisi
Swedia karena tuduhan terlibat peledakan Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Kedua, Faktor yang menyebabkan conflicting-party (pihak yang bertikai) mau berunding (dialog) berbeda dengan faktor conflicting-party mau melakukan agreement.
Ketiga, faktor agreement
dapat durable (bertahan lama) berbeda
dengan faktor yang menyebabkan conflicting-party
bisa menghasilkan agreement. Tiga
tahapan tersebut merupakan hal-hal yang berbeda. Maka untuk Papua kita dapat
belajar pada tahap pertama. Kita dapat lihat banyak perundingan dan konsesi
politik (political setellement)
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah, walaupun bagus tapi tanpa adanya
negoisasi dengan pihak yang memberontak itu biasanya akan gagal.
Pengalaman Megawati tahun 2001 ketika memberikan status
istimewa kepada Aceh dengan UU No.11/tahun 2001, seolah-olah memaksa hal itu
kepada rakyat Aceh, namun itu tidak jalan, termasuk untuk menjalankan syariat
Islam. Padahal kalau kita lihat secara substansi, otonomi yang diberlakukan
pasca MoU Helsinki dan UU PA dengan yang diberikan oleh Megawati relatif sama
isinya. Ada kurang ada lebih.
Perundingan pertama, lewat jeda kemanusaaan atau COHA,
GAM menolak untuk berdamai, tapi mengapa tawaran dialog yang kedua (MoU
Helsinki, GAM mau menerima? Toh kalau GAM mau, menerima yang pertama-COHA, tapi
tidak dilakukan? Mengapa otonomi yang sekarang berhasil dilaksanakan sementara
yang dulu gagal dilaksanakan? Otonomi tidak dapat dilaksanakan karena GAM
menolak, walaupun isinya relatif sama.
C.2. Second-track Diplomacy: Pelajaran Mengapa Dialog
Aceh Berhasil?
Kita perlu melakukan perbandingan pola terkait berlangsungnya proses
dialog di beberapa masa kepersidenan Gus Dur, Megawati dan SBY-JK. Untuk
menjawab pertanyaan mengapa dialog Aceh
gagal atau berhasil, yang menjadi bagian penting untuk tawaran pelajaran dalam
membangun dialog Papua, paling tidak ada beberapa persoalan utama yang terkait
dengan mau atau tidaknya pihak rebellion
hadir dalam dialog yaitu pertama, faktor internal kepercayaan (trust) dari pihak pemberontak terhadap
aktor penentu keamanan (tentara) dan kedua, faktor eksternal, berupa dukungan
internasional terhadap gerakan separatis tersebut.
Bu Naimah seorang juru runding
Indonesia berpandangan bahwa:[20]
Kegagalan dialog Aceh pada awalnya adalah kegagalan membangun trust antara kedua belah pihak. Pihak
GAM tidak percaya kepada pihak NKRI, karena ada beberapa juru runding GAM yang
ditangkap setelah hadir dalam perundingan COHA.
Sementra itu Desley Ronnie,
aktifis perdamaian Aceh, berpandangan pertanyaan dan
jawaban mengapa GAM menerima dialog atau perundingan Helsinki adalah karena
posisi GAM di tahun 2001-2003, berbeda dengan posisi GAM di tahun 2003-2005. Konteks
dukungan internasional terhadap pemberontak GAM berbeda jauh. Ada formula
politik bahwa posisi pihak yang memberontak itu mempengaruhi posisi tawar atau bargaining-nya untuk hadir atau tidak
di meja negoisasi. Di tahun 2001-2003, pihak petinggi GAM masih percaya
Indonesia menjadi “the next Balkan”.
Di tahun 2004 GAM baru mulai realistis bahwa tidak ada
satu pihak pun yang mendukung mereka (no
single parties support GAM). Satu-satunya jalan keluar yang mereka bisa
lakukan adalah mengadakan perundingan. Walaupun konsesinya sama dengan yang
diberikan seperti sebelumnya. Konteks dukungan internasional sangat menentukan
kaum pemberontak untuk hadir berdialog atau menempuh jalan panjang kemerdekaan
dengan cara-cara bersenjata.
Belajar dari pengalaman Aceh dengan kegagalan COHA, untuk dialog
Papua kita dapat memulai dengan membangun second-track
diplomacy, artinya jangan Negara yang berada di depan. Kita dapat belajar
dari kasus Aceh di tahun 2001, ketika Presiden Gus Dur dan Megawati, memaksakan
memberi otonomi khusus dan memberikan syariat Islam ke Aceh, tapi kelompok
radikal SIRA dan kawan-kawan “genk”
kelompok mahasiswa tidak bisa menerima dan meminta referendum. GAM bersikap mau
independen atau merdeka sesuai ideologinya waktu itu. Akhirnya otonomi itu sulit
diimplementasikan dan hanya milik the
ruling elite baik yang ada di Aceh maupun yang ada di Jakarta. Civil-society Aceh merasa tidak
memiliki. “Basi akhirnya!”.
Sewaktu dialog yang dimediasi oleh HDC (Henri Dunant Center) untuk Jeda
Kemanusiaan (COHA), GAM tidak membicarakan soal-soal politik, seperti soal
otonomi. Padahal Aburahman Wahid dan Megawati mengatakan anda (GAM) boleh minta
apa saja asal jangan meminta merdeka. Namun, pada dialog perundingan kedua
(Helsinki), GAM mau membicarakan otonomi, termasuk muatan baru, pendirian
partai lokal, juga dimungkinkan. Saat itu dibentuk Komite Bersama untuk
Konsolidasi Demokrasi, berlangsung tidak beberapa lama, kemudian semua
pegiatnya ditangkap oleh pemerintah Indonesia.
Soal ide pendirian partai lokal tidak dibicarakan pada
COHA, karena GAM sama sekali menolak tawaran otonomi. Namun kemudian pada
dialog kedua, GAM menerima status otonomi sebagai starting point, not the final.
Not the ending point. Titik akhirnya bisa referendum atau independent.
Posisi suatu kelompok pemberontak itu ditentukan oleh kondisi eksternal, trend
internasional. Kemudian, baru melanjutkan upaya untuk merdeka atau tidak.
Kondisi eksternal dan trend internasional itu berupa ada atau tidak dukungan
dunia internasional untuk mereka merdeka dan mandiri. Jika ada dukungan
internasional, jangan harapkan mereka mau berunding. Walaupun militer mereka
lemah, mereka akan tetap bertahan. Walaupun mereka tidak memiliki militer di
dalam negeri atau di tempat yang ingin merdeka, mereka akan tetap bergriliya di
luar.
Sejauh ada dukungan internasional, sangat susah untuk
mengajak kelompok pemberontak untuk berunding. Posisi dan perasaan itu, yang
dimiliki GAM antara tahun 2001-2003. GAM melihat Indonesia, the weakness and the sick country. GAM
merasa mendapat dukungan internasional, padahal dukungan itu terlatak pada
penegakkan demokrasi dan HAM. Kemudian ada faktor Timor-timur, yang mendapatkan
kesempatan mengadakan referendum. Di Aceh kemudian ada tuntutan refrendum,
mengapa di Aceh tidak boleh ada referendum di Timor-timur boleh.
Aceh ada dalam konteks internasional, dalam kurun waktu
tahun 2004-2005, setelah peristiwa 11 September di Amerika, maka ada kondisi
pihak militer dan konggres Amerika Serikat bekerja sama untuk perang terhadap
terorisme. Akibatnya di Indonesia adalah posisi dan peran militer dalam
menyelesaikan terorisme dan juga separatism cenderung semakin kuat. Kelompok
konservatif dan hawkis (garis keras,
penggemar perang) semakin mendapat
angin dan kuat pengaruhnya.
Ada pandangan narasumber
juru runding GAM bahwa tokoh militer seperti Riyamizar Ryacudu mendominasi
dalam “penyelesaian” Aceh. Pihak dovies (garis
lunak, pencinta dialog), semakin
terpinggirkan. Ade labeling,
pemerintah Indonesia telah menempatkan posisi GAM sebagai Al-Qaida (teroris),
setingkat lebih tinggi di atas GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), dikaitkan
dengan tertangkapnya pelaku pengeboman BEJ (Bursa Efek Jakarta) adalah elemen
GAM.
Bahkan pemimpin GAM Hasan Tiro dan Abdullah Zaini,
pernah ditahan selama 4 hari oleh Polisi Rahasia Swedia.Walaupun pada akhir
persidangan mereka dibebaskan. Itu menunjukkan betapa berubahnya posisi politik
GAM disaat perundingan kedua (MoU Helsinki). Sehingga GAM harus menjadi
realistis, kalau tidak akan dikejar-kejar. Selain memang kekuatan militer GAM
di Aceh sudah jauh menurun selama operasi militer yang sudah dijalankan selama
satu tahun setengah.
Faktor lainnya adalah willingness atau keinginan yang dimiliki oleh Yudhoyono dan Jusuf
Kalla untuk berdamai, yang ditangkap secara positif oleh pimpinan GAM. Hal yang
juga dilihat adalah figure SBY dan JK
yang secara perlahan dan bertahap dapat mengontrol perilaku pasukan militer di
lapangan, dengan menunjukkan 3 bulan setelah perundingan, Athisari berkunjung
dan berbicara dengan SBY. Athisari mengisyaratkan ada spoiler group sedang bermain di Aceh. Itu tidak bagus dan tidak
sehat untuk perundingan. Data ditunjukkan, satu minggu kemudian Riyamizad
Riyacudu diberhentikan menunggu masa pensiun. Itu good willingness SBY-JK, yang pada masa Megawati tidak ditemukan
oleh pimpinan GAM. Bahkan Riyamizard menjadi kandidat kuat untuk menjadi Pangab
(Panglima ABRI) waktu itu.
Kalau ingin mereplikasi atau belajar model Aceh untuk
Papua, yang harus kita lihat pertama bahwa mengapa perundingan di Aceh yang
kedua akhirnya berhasil (MoU Helsinki), tapi mengapa juga ada perundingan
sebelumnya yang gagal (COHA). Kalau kita lihat keberhasilan perundingan
Helsinki karena faktor pertama, posisi GAM di mata dunia internasional lemah,
kemudian faktor kedua, ada willingness
atau niat baik dari pemerintah Jakarta. Ketiga, ada moment yang bagus, Tsunami.
Walaupun Tsunami, bukan pemicu atau trigger. Tsunami Aceh hanya mempengaruhi
atau influence. Walaupun tidak ada
Tsunami Aceh, perundingan Helsinki akan berjalan bagus. Faktor ketiga, ada kontrol terhadap militer
di lapangan yang sangat bagus. Dukungan internasional dan militer yang mengalir
bukan untuk perundingan, tapi untuk aksi kemanusiaan setelah Tsunami. Itu
faktor yang mempengaruhi keberhasilan MoU Helsinki.
Mana faktor yang paling penting atau utama dari faktor
yang ada? Mana variable independennya?
Variabel independennya adalah kalau dari pihak GAM adalah dukungan
internasional terhadap GAM yang terus menurun. Kalau ada dukungan internasional
terhadap GAM, walaupun secara politik dan militer GAM lemah, walaupun Aceh ada
Tsunami, walaupun pemerintah Indonesia ingin sekali berunding dan berdamai, GAM
tidak akan mau hadir berdialog di meja perundingan karena mereka masih punya
harapan dukungan state-actor
internasional, mereka tidak akan mau berunding dan terus akan memilih opsi untuk merdeka.
Ada beberapa catatan tentang proses Dialog Bertingkat
dalam kegagalan membangun dialog damai di Aceh yaitu sebagai berikut:
- Dialog Single-track
di dalam negeri- utusan Gus Dur dan Mega, hanya menyasar ke Ulama-Tengku
Pesantren Dayah; organisasi Perempuan Aceh; tidak melibatkan petinggi GAM
dan panglima Sagu, yaitu jaringan para kombatan AGAM dan GAM Swedia. Sewaktu
Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih menjadi presiden, Gus Dur menanyakan
keinginan Aceh untuk meredakan konflik. Apa saja yang diinginkan orang
Aceh? Saat itu ada lima tokoh yang dianggap mewakili Aceh yang ditemui. Ke
lima tokoh ini menyebutkan bahwa keinginan Aceh adalah syariat Islam. Gus
Dur tidak berpikir hal ini akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Hal
yang dilakukan Gus Dur saat itu lebih sebagai temporery solution,
agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Syariat Islam menjadi solusi saat keadaan Aceh darurat. Namun, pemberiaan
status istimewa untuk membuat kanun yang Islami, tidak serta merta
menyelesaikan masalah Jakarta-Aceh.
- Rusaknya trust atau
tingkat kepercayaan-Juru runding GAM Ada yang ditangkap- Tengku Syamsuddin
Tiba dkk. sehingga Trust GAM menurun dan jaga jarak untuk dialog- Ingat
kasus Teuku Umar-Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponogoro yg ditangkap
Belanda saat mau dialog.
- Rusaknya trust pihak GAM terhadap juru runding NKRI. Ada
tekanan dan dukungan intelektual Jakarta (LIPI, CSIS, UGM, anggota DPR RI,
dll) untuk “melibas GAM” diperkuat
pernyataan Komandan Lapangan Rizamizar Riyacudu (Komandan Kopasus). Hal
ini menimbulkan prasangka adanya dialog damai yang setengah hati dan penuh
kepura-puraan.
- Adanya keyakinan petinggi GAM, bahwa tibanya kemenangan tak
lama lagi, ”Kemerdekaan tinggal Seperti Menghisap Sebatang Rokok”,
kehadiran sdr. Wiraatmaja, pegiat HAM di forum UN (United Nations), dianggap wakil juru runding GAM di dunia
internasional, padahal Wira ingin mencari tahu siapa wakil GAM di UN, yang
ternyata tidak ada.
C.3. MoU
Helsinki: Dialog yang Berhasil?
Tanggal 15 Agustus selalu diingat sebagai hari perdamaian Aceh. Nota
Kesepahaman Helsinki yang menandai perdamaian itu telah menjadi sejarah baru.
Tiga tahun lalu, 15 Agustus 2005, di sebuah vila megah di Vantaa, Helsinki,
Finlandia, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia berjabat erat dengan
Malik Mahmud, perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri mesiu
permusuhan yang cukup lama berakar dalam tubuh bangsa.[21]
Perdamaian kali ini menjadi lestari karena perangkat keras
perdamaian, yaitu keamanan, mampu “digaransi” oleh kedua belah pihak. Letusan
senjata dan kriminalitas mampu ditekan hingga titik minimal. Tanpa
membesar-besarkan beberapa kasus kekerasan, penculikan, pe- rampokan, dan
penembakan dari sebaran senjata ilegal yang masih beredar, tingkat kriminalitas
nyatanya turun dengan cepat di tengah masyarakat.
Faktor keamanan di Aceh pun tumbuh karena intervensi ekonomi. Jika
dibaca secara komprehensif, skenario perdamaian di Aceh “berkait-kelindan” dengan
proyek rekonstruksi tsunami dan investasi pembangunan. Beberapa lembaga yang
menangani korban konflik dan mantan kombatan, seperti Badan Reintegrasi/Damai
Aceh (BRDA) dan Inter Peace Indonesia
(IPI) yang dimotori oleh ”jaringan Makassar” (JK connection) berlomba
memperbesar volume anggaran perdamaian.
Faktor terakhir yang memperkuat proses perdamaian di Aceh adalah
kesadaran komponen konflik melakukan transformasi politik, dari instrumen
militerisme dan clandestein menuju gerakan politik terbuka-konstitusional. GAM
telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan membentuk Partai Aceh
(PA) sebagai media agregasi kepemiluan. SIRA (Sentral Informasi Referendum
Aceh), organisasi yang dulu dikenal sebagai sayap intelektual GAM, telah
membentuk secara mandiri Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Ada empat
partai politik lokal lainnya yang ikut mewarnai proses politik dan demokrasi
Aceh.
Hal itu menunjukkan bahwa demokratisasi Aceh tidak hanya
terkanalisasi oleh satu kelompok saja (GAM/KPA), tetapi telah menyebar menjadi
kekuatan-kekuatan politik baru yang sangat mungkin menolak agenda-agenda krisis
dan kerawanan keamanan tumbuh pada masa depan. Mekarnya kekuatan sipil
(akademisi, wartawan, dan LSM) dalam mengisi ruang publik dengan
rencana-rencana peradaban dan pertumbuhan akan menutup jalan terjal menuju
medan pertempuran. Makna pentingnya adalah bahawa proses-proses komunikasi,
interaksi, dialog sngat mampu untukmemperbaiki hubungan yang awalnya rusak
untuk kembali menjadi baik.
D. Catatan Penutup Pelajaran Aceh untuk Papua: Mengapa Dialog MoU
Helsinki-Berhasil?
Membandingkan Aceh dan Papua, tentu tidak mudah dan menuai kritik banyak pihak, terutama kalangan
garis keras dan orang Papua sendiri. Perbedaan konteks dan akar konflik serta isu, aktor dan proses yang berlangsung akan menjadi catatan tersendiri untuk lebih cermat
memberikan jalan keluar dan penyelesaian yang tersedia lewat cara-cara non
kekerasan dan persepektif kebangsaan (nasions).
Dari sini dapat dianalisis beberapa pelajaran-pelajaran
berharga dialog gagal dan berhasil di Aceh untuk proses diaolog
dan damai di Papua. Kalau kita ingin melihat kemungkinan proses perdamaian Aceh
sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan menggunakan perspektif
dan metode “dialog kesetaraan” untuk membangun nasion dan kebangsaan.
Dengan asumsi ada beberapa pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat
diulang dan ada yang tidak, untuk membangun damai di Papua, maka ada beberapa
hal yang mungkin dapat menjadi pelajaran penting yang dapat dipetik yaitu
antara lain:
- Dialog Papua dapat dimulai dengan memperhatikan adanya moment
perubahan dalam konteks internasional, bergesernya issu HAM ke issue
Teorisme: hal ini berdampak terhadap menurunnya dukungan internasional
akibat ledakan BEJ Jakarta: Hasan Tiro dan Malik Mahmud sempat ditahan
beberapa hari oleh Pemerintah Swedia dengan tuduhan dalang teroris
peledakan BEJ.
- Perlu ada Dialog
Bertingkat yaitu: Multitrack-dialog:
Berperannya juru runding RI (Farid Husein, Naimah, dkk) dan GAM (Syamsudin
Tiba, Teungku
Nasruddin Ahmad, Otto S. Ishak, Desley Ronnie, dkk.), diberbagai saluran dan pihak (Combatan,
cendikiawan, pemuda/mahasiswa, kaum ibu, LSM, Media). Trust dibangun sedemikian rupa (GAM boleh meminta apapun asal
bukan Merdeka), sembari membagi visi kepada kaum pemberontak untuk menjadi
lebih realistis sesuai konteks internasional yang berkembang.
- Hadirnya mediator luar negeri yang netral dan mampu dipercaya
oleh pihak-pihak yang berselisih.
- Soft-Power: memperbaiki kesejahteraan prajurit TNI di lapangan, mengurangi
tingkat kekerasan aparat, memperbaiki infrastruktur di Aceh, juga menjadi
pelajaran untuk membangun dialog di Papua.
- Peristiwa Tsunami hanya sebagai katalist yang memperkuat
perdamaian, sebelumnya dukungan GAM di dunia internasional menurun. Bagi
OPM, Tusnami-nya adalah tindakan kekerasan akan dianggap sebagai laku
teroris, yang kian diperangi warga dunia. Tsunami Teror di mata global
akan melemahkan posisi OPM jika bersikeras antidialog.
- Memberi ruang masuknya combatan dan tokoh GAM ke saluran politik.
Pilkada dan Partai Lokal, adalah pelajaran penting yang dapat
dipertimbangkan sebagai upaya “hukum kekekalan energi”, energy tidak dapat
dimusnahkan, energy hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Energi kekerasan dan merusak perlu dialihkan ke energi politik.***
Daftar
Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections
on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso Editions and NLB,
1983.
Aspinall, Edward, The
Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? Washington:
East-West Center, 2005.
Awaludin,
Hamid. Damai di Aceh: Catatan Perdamaian
RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008.
Bettye Pruitt and Philip Thomas. Democratic Dialogue - A Handbook
for Practitioners . Canada: IDEA-UNDP-OAS, 2007.
Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gellner,
Ernest. Nations and Nationalism. Oxford
: Basil Blackwell, 1983.
Guibernau, Montserrat dan Rex, John (eds.), The Ethnicity Reader
Nationalism, Multiculturalism and Migrations. Cambridge: Polity Press, 1997
Hamid, Ahmad Farhan, Jalan Damai
Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat. Jakarta: Penerbit Suara
Bebas, 2006.
Heidbuchel, Esther, The West Papua
Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches. Wettenberg: Johannes
Herrmann J & J-Verlag, 2007.
Kivimaki, Timo. Initiating a Peace
Process in Papua: Actors, Issues and Process, and the Role pf the International
Community. Washington: East-West Center, 2006.
McGibbon, Rodd, Secessionist
Challenges in Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution? Washington:
East-West Center, 2004.
Nurdin, Husaini (ed.), Hasan Tiro:
The Unfinished Story of Aceh. Aceh: Bandar Publishing, 2010.
Noor, Firman et.all. Nasionalisme,
Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian
Politik, LIPI, 2007.
Pruitt, Bettye and Thomas, Philip. Democratic Dialogue - A Handbook for Practitioners.Canada:
IDEA-UNDP-OAS, 2007.
Widjojo, Muridan (ed.), Papua Road
Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future.
Jakarta: LIPI-TIFA-YOI, 2009.
Yanuarti, Sri (ed.), Reconstruction
and Peace Building in Aceh. Jakarta: P2P LIPI, 2005.
[1] Koordinator dan Tim Peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua narasumber di Aceh dan Papua dan semua pihak
yang telah membantu memperkasya mutu riset ini. Terutama kepada Prof. Syamsudin
Haris dan Dr. Firman Noor, yang telah menjadi koordinator dan anggota Tim Nas untuk kajian teoritis
pada tahun pertama sejak tim ini dibangun di tahun 2007.
[3] Lihat Firman Noor, ed, Nasionalisme,
Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia (Jakarta: Pusat
Penelitian Politik, LIPI, 2007).
[4]Lihat Ernest
Gellner, Nations and
Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), hal. 1.
[5]Lihat Benedict Anderson, Imagined
Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London:
Verso Editions and NLB, 1983).
[6] Lihat Montserrat Guibernau dan John Rex,
(eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations
(Cambridge: Polity Press, 1997), hal.8.
[7] Lihat Ernest Gellner, Nationalism,
London: Phoenix, 1998, hal.11.
[8] Gellner, op.cit, hal. 3.
[9] Ibid,-
Firman Noor et.al.
[10] Kata nasion
mengacu pada batasan yang disampaikan oleh Mochtar Pabottingi yang menandai
sebuah kolektifitas politik egaliter-otosentris
yang memiliki batasan wilayah atas dasar dialektik sejarah dan proyeksi
kepentingan bersama di kemudian hari, lihat Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi Satu Solusi:
Rasionalitas dan Otosentrisitas dari sisi Historis-Politik di Indonesia,
Orasi Ilmiah Pengukuhan Sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan
Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (Jakarta: PPW LIPI, 2000).
[11] Ibid,-
Firman Noor et.al
[12] Lihat Bettye
Pruitt and Philip Thomas, Democratic
Dialogue - A Handbook for Practitioners (Canada: IDEA-UNDP-OAS, 2007),
hal. 19.
[13] Op.cite.
Democratic Dialogue, hal. 22.
[14] Penjelasan istilah: COHA adalah Cessation
of hostilities agreement. HDC adalah Henry Dunant Center.
[15] Wawancara dengan D. Ronnie, mantan juru
runding Aceh-Jakarta, kandidat Doktor Ph.D Student on Peace and Conflict, Copenhagen
University, Sweden, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh,
staf GTZ di Aceh. Pernah berperan sebagai
juru runding GAM, bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila,
Kachin-Karen di Birma, punya akses jaringa dengan tokoh OPM di dalam dan luar
negeri..
[16] Lihat Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua (Medan: Waspada & Parkarsa
Abadi Press, 1995)
[17] Lihat Harian Meunasah, tgl. 24/3/1999, terbitan lokal Banda Aceh bertajuk: “Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai”.
[18]
Lihat Zubaidah Djohar, Pulang Melawan Lupa (Banda Aceh: Lapena
– Banda Aceh 2012). Sebuah karya yang berjenis : Kumpulan Puisi. Pertama Sekali membaca
judul ini, seketika rasa kita akan seperti terpenjara. Betapa kata-kata dalam
judul ini telah menyimpan rangkaian makna, menyediakan tubuhnya untuk
menyuarakan betapa banyak suara yang harus diteriakkan, betapa banyak pekerjaan
yang belum selesai, dan buku ini seperti muara dari gelombang arus
pecahan-pecahan jiwa manusia yang ditelantarkan, seakan sejarah ketidakadilan
secara sistematis lesap dan dilepaskan secara perlahan, lembar demi lembar,
baris demi baris, kalimat demi kalimat, sampai kata demi kata, tinggal
huruf-huruf yang berserakan karena maknanya diinjak untuk dikubur dalam liang
bernama lupa. Sejarah telah dijauhkan dari ingatan. Issue Aceh sekarang adalah
perang dan pulang melawan lupa.
[19] Wawancara FGD Syafuan Rozi dan Mochtar
Pabottingi dengan Wiratmadinata SH MH (Direktur International Center for Transitional Justice--ICTJ Kantor Banda
Aceh), Saefuddin Bantasyam, MA -Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi
Konflik-Dosen Hukum dan Masyarakat, FH Unsyiah; Muslahuddin Daud (Peace and Development, World Bank, Banda
Aceh); Drs. Fuad Mardhatillah MA (The
Aceh Institute-dosen senior IAIN Ar-Raniry); Dr. Saiful Mahdi (ICAIOS-Pusat
Studi Kawasan Asia dan Samudra Hindia, Unsyiah); Delsy Ronnie (Ph.D Student on Peace and Conflict, Copenhagen
University, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh, pernah
berperan sebagai juru runding GAM,
bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila, Kachin-Karen di Birma,
punya akses dg tokoh OPM); Dra. Naimah Hasan MA (mantan perwakilan RI untuk
Jeda Kemanusiaan, Hendry Dunant Center, Banda Aceh). FGD di Pusat Studi Perdamaian dan ResolusiKonflik, Unsyiah, Banda
Aceh 3-6 Juli 2012.
[20] Narasumber Dra.
Naimah Hasan MA, adalah Dosen FE UNSYIAH, mantan perwakilan RI untuk Jeda
Kemanusiaan yang dilakukan oleh HDC (Hendry Dunant Center), di Banda Aceh,
Davau-Philipina dan mediasi Tokyo, di Jepang.
[21] Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP UNIMAL,
Lokhsumawe menjelaskan analisnya yang berkaca pada proses penyelesaian konflik
Aceh melalui skenario MoU Helsinki terlihat proses perdamaian masih menjejak
pada keamanan sosial dan struktural, belum menjadi keamanan kultural. Misi
penguatan perdamaian di Aceh masih mengarah kepada skenario global, di mana
manajemen konflik dilakukan melalui liberalisasi politik dan marketisasi.
Proses ini memang ditunjukkan dengan terbentuknya beragam regulasi dan
struktur-struktur politik yang mencacah residu konflik dan kekerasan sekaligus
masuknya industri investasi. Namun, proses ini belum menjadi keyakinan dan
keampuhan bagi seluruh masyarakat. Pilkada dan transformasi politik GAM telah
berlangsung, tetapi kesejahteraan dan kenyamanan masih jauh dari pandangan
(masyarakat kecil).
www.academia.edu