Tampilkan postingan dengan label Papua Tanah Damai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Papua Tanah Damai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Juli 2018

Pemerintah Harus Konsisten Terhadap Janji Dialog Papua


Rakyat Papua menginginkan Presiden Jokowi segera mendorong rencana Dialog antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Kilion Wenda, pemerhati sosial dan anggota Departemen Hukum dan HAM Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua menyorotinya dalam Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Kilion Wenda

Telah dimuat. bergolora.com, Pada Tanggal 4 Juli 2018.

 

TANAH Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah sebanyak madu, adalah harta harapan. Tanah Papua tanah leluhur, di sana aku lahir. Bersama angin bersama daun, aku di besarkan. Hitam kulit keriting rambut, aku Papua. Hitam kulit keriting rambut, aku Papua. Biar nanti langit terbelah, aku Papua. Lirik lagu karya Frangky Sahilatua. Belakangan menjadi populer terus dinyanyikan oleh salah satu penyanyi dan aktor film nasional Ehud Edward Kondologit disapa akrab Edo Kondologit.

Mendengar dan membaca lirik lagu ini sangat menggugah hati, memperlihatkan gambaran keindahan yang dijuluki sebagai pulau surga (Island of Paradise). Keindahan alam yang luar biasa menjadi tempat yang unik. Tanah yang kaya ini dari nenek moyang turun temurun telah di tempatkan bagi Orang Asli Papua (OAP). Sebagaimana daerah-daerah lain di atas bumi ini mereka di tempatkan sesuai dengan gaya budaya bahasa, ras dan warna kulit masing-masing.

Tanah Papua yang kaya ibarat surga kecil yang jatuh ke bumi menunjukan sumber daya alam dan kehidupan bagi penduduk Asli Papua berkulit hitam dan rambut keriting, hidup dan menetap di negeri yang kaya ini. Tanah Papua terbagi dalam tujuh wilayah adat yaitu. HaAnim, Tabi/Mamta, Laapago, Meepago, Saireri, Domberai dan Bomberai. Mereka ditempatkan sesuai dengan, sub-sub suku berdasarkan marga, hampir 270-an bahasa dan ekspresi kebudayaan dengan kekayaannya masing-masing.

Papua mulai memasuki babak baru antara surga dan naraka, ketika berintegrasi bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1969 melalui sebuah referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalil pemerataan pembangunan dalam rencana pembangunan lima tahun (REPELITA) pada masa orde baru, pemerintah melancarkan transmigrasi secara terencana, terstruktur dan masif di seluruh Tanah Papua. Semua kekayaan nan indah itu, mulai beralih fungsi ke tangan koloni baru.

Orang Asli Papua (OAP) sebagai pemilik tanah dan negeri ini hanya menonton tanpa berbuat apa-apa. Mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua tanpa kompromi dengan hadirnya perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT Freeport Indonesia di Timika, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Kilang minyak LNG tangguh di Teluk Bintuni, Kilang minyak Pertamina RU VII Kasim di Kota Sorong, perkebunan kelapa sawit, ilegal loging, dan ilegal fishing di seluruh tanah dan perairan laut di Papua.

Orang Asli Papua menuntut hak-hak atas sumber dayanya. Pemerintah Indonsia mencurigai separatis, makar, gerakan pengacau keamanan (GPK), gerakan pengacau liar (GPL), kelompok kriminal bersenjata (KKB), organisasi Papua merdeka (OPM) menyebabkan banyak orang yang menjadi korban atas harta dan nyawa di atas tanah dan negeri mereka sendiri. Hak asasi manusia seakan tidak berlaku bagi OAP.

Pemerintah Indonesia berupaya, dengan berbagai Undang-Undang, Keputusan, Peraturan untuk, membangun tanah Papua. Belakangan juga dikeluarkan beberapa Daerah Otonomi Baru (DOB). Sayangnya nasib OAP semakin tertinggal di segala bidang. Pelanggaran HAM terus terjadi, banyak yang tangkap dibunuh, dihilangkan, dipenjarahkan demi pembangunan nasional. Masalah-masalah ini sangat sulit untuk terurai ibarat sebuah benang yang sudah terlingkar, tidak tahu dari mana memulainya.

Otsus Sebagai Jawaban?

Untuk menjawab semua masalah-masalah di tanah Papua, pemerintah Indonesia memberikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-Undang ini telah mendapat sambutan positif dari sebagian elit Papua dan komunitas Internasional, bahwa pemberlakukan Undang-Undang Otsus ini sebagai jawaban, dan Papua tetap bagian dari Indonesia. Dinilai bahwa Undang-Undang ini sebagai jalan tengah untuk mendamaikan demi masa depan OAP di dalam Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. Otsus sebagai jaminan akan perbaikan dan peningkatan kesejahtraan bagi OAP.

Walaupun Undang-Undang Otsus ini sebagai jawaban atas semua masalah. Namun ada kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan sengaja. Beberapa pasal-pasal krusial terus dipaksakan, seolah untuk mempercepat marginalisasi bagi OAP. Undang-Undang otsus pasal pasal 3 dan 4 tentang pembentukan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) atas usul pemerintah Provinsi Papua, namun terus dipaksakan dengan dikeluarkannya keputusan presiden (KEPRES) No 1 tahun 2001 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat kini Papua Barat. Padahal beberapa kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua.

Setelah penderitaan panjang sejak Papua berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1969 sampai 2001, Undang-Undang Otsus ini diberlakukan sebagai jawaban atas perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan bagi OAP di berbagai sektor kehidupan dan pembangunan.

Dengan Undang-Undang Otsus dan Pemekaran DOB, akan ada banyak uang yang beredar sehingga membuat kreatifitas dan kemandirian Orang Asli Papua yang sudah ada sejak kita dilahirkan hidupnya mulai menjadi ketergantungan. Lahan mata pencaharian hilang. Pola hidup manusia yang berbudaya menjadi manusia modern mengakibatkan hilangnya bahasa local dan kebudayaan lokal. Arus transmigrasi dan urbanisasi akan tidak terkontrol mengakibatkan yang lemah tetap tidak berdaya.

Jalan Dialog Menemukan Solusi

Sekalipun Otsus dan DOB sebagai Jawaban. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui penelitiannya oleh Alm. Dr. Muridan S Widjojo dkk menerbitkan sebuah buku “Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future” telah menemukan empat akar masalah utama: Pertama, Sejarah intergasi Papua dalam Indonesia dan Status politik Papua, Kedua, Operasi militer menyebabkan pelanggaran HAM di tanah Papua sejak 1965 sampai sekarang. Ketiga, Marginalisasi/tersingkirkan, karena pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia tanpa melibatkan OAP. Keempat, Kegagalan pembangunan, dalam hal ini pembangunan SDM bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat bagi OAP.

Empat akar persoalan Papua menurut penelitian LIPI kalau dilihat, saling kait mengkait dari yang pertama mengakibatkan muncul masalah kedua dan ketiga hingga masalah keempat. Maka proses penyelesaian harus menyeluruh dan tidak parsial. Pemerintah Indonesia harus mengakui masalahnya dan kesalahannya terhadap proses Integrasi Papua ke dalam Indonesia. Indonesia juga harus mengakui atas pelanggaran HAM di tanah Papua, dan perlu ada upaya rekonsiliasi dengan OAP berkaitan dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Menangkap dan mengadili pada pelaku kejahatan. Juga harus mangakui bahwa kegagalan pembangunan dan kesejahteraan bagi OAP.

Hal yang perlu dilakukan antara pemerintah Indonesia dan OAP adalah melalui jalan Dialog. Menyepakati isu-isu yang mau didialogkan, mekanismenya, pesertanya dan tentukan siapa yang memfasilitasi. Sehingga dalam proses penyelesaikannya secara damai bermartabat, dan menyeluruh tanpa kekerasan. Dalam proses dialog juga tidak saling meenyalahkan antara pemerintah Indonesia dan OAP, tidak saling menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Komitmen pemerintah untuk berdialog dengan masyarakat Papua, telah terungkap dalam rapat kabinet Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY), di Kantor Presiden 9 Oktober 2011 lalu. Presiden SBY mangatakan “Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka, kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi mencari langka yang paling baik selesaikan masalah Papua”

Hal yang serupa juga diungkapkan ketika tiga pimpinan gereja-gereja di Papua. Pdt. Jemima J Krey, (ketua sinode GKI tanah Papua), Pdt, Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi Papua) dan Dr, Socratez Sofyan Yoman ( Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua) pada tanggal 16 Desember 2011 di Cikeas Jakarta.

Dalam pertemuan itu tiga pemimpin gereja menyampaikan sejumlah persoalan yang terjadi di tanah Papua dan menawarkan solusi dialog yang difalisitasi oleh pihak ketiga yang netral. Sebagai tanggapan waktu itu menurut Presiden SBY, pendekatan keamanan sudah lewat, harus di mulai dengan pendekatan dialog.

Selanjutnya sejumlah tokoh gereja dari Papua pada tanggal 1 Februari 2012 bertemu Presiden SBY di Wisma Negara Jakarta telah disepakati upaya untuk mendorong dialog yang intenaif dengan berbagai unsur di Papua. Para tokoh-tokoh gereja antara lain Pdt. Lipius Biniluk, Yan Pieth Wambrauw, Isai Dom, Ronaldly Rionaldo Waromi, Theopilus Maupa, Daniel Sukan, Wilem Yance Maury, Dorman Wandikbo, Pastor Neles Tebay, Obetnego Maurim, Yulianus Warabay, Mathias Sarwa, Maurits Rumbekwan. Dalam pertemuan tersebut Presiden menunjuk Wakil Presiden waktu itu Budiono untuk memajukan dialog dengan sejumlah unsur di Papua.

Dalam pertemuan para pimpinan agama yang pertama maupun kedua dengan dengan para tokoh agama Papua ini memperlihatkan komitmen dan konsistensi atas penyelesaian masalah sudah terlihat. Kata dialog yang sebelumnya tabu, mulai bicarakan oleh semua elemen pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, lembaga- lembaga LSM, dan masyarakat internasional. Sayangnya penunjukan terhadap Wakil Presiden Boediono dialog tidak dapat terlaksana.

Di erah kepemimpinan Presiden RI Ir. Joko Widodo (Jokowi), mulai dipertegas lagi, ketika menghadiri acara natal nasional di lapangan Mandala Jayapura 27 Desember 2014. Jokowi mengatakan ingin berdialog dengan masyarakat Papua dan membangun provinsi ini, “Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung, marilah kita bersama sama membangun Papua sebagai tanah damai. Marilah kita saling pelihara rasa saling percaya di antara kita sehingga kita bisa berbicara dalam suasan yang damai dan sejuk,” kata Jokowi.

Konsisten Pada Komitmen

Komitmen Pemerintah untuk dialog mulai ada titik terangnya ketika pada tanggal 15 Agustus 2017 sejumlah tokoh dari Papua menghadiri undangan Presiden Jokowi di istana merdeka Jakarta. Dalam pertemuan itu Jokowi telah menunjuk. Pater Neles Tebay, akan di bantu oleh Teten Masduki, dan Wiranto untuk mengurus dialog persektor. Artinya bahwa dialog sektoral ini akan dilaksanakan di bawah kontrol Presiden Jokowi sendiri.

Dengan Penunjukan Pater Neles Tebay (Koordinator Jaringan Damai Papua) dan di bantu oleh Menkopolhukam dan kepala kantor staf presiden (KSP), ini menunjukan konsistensi Pemerintah atas sejumlah persoalan harus diselesaikan. Diantaranya sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan hidup, kebudayaan, penyelenggaraan pemerintahan, hukum dan HAM, keamanan, sejarah status politik Papua. Untuk menunjukan kominten dan konsistensinya ini Dialog Sektoral sudah harus dimulai.

Komitmen itu mudah diucapkan, namun lebih sukar untuk melaksanakan dengan penuh pertanggungjawaban. Komitmen itu sering dikaitkan dengan tujuan. Sehingga konsistensi pemerintahan pemerintah perlu dipertanyakan kapan dialog sektoral dimulai. Sebab sejak penunjukan tiga orang untuk mengurus dialog sektoral sejak 15 Agustus 2017 lalu sampai sekarang, sisa satu bulan ke depan akan menjadi satu tahun belum ada tanda-tanda niat baik dari pemerintah.

Pemerintahan presiden era Susilo Bambang Yudoyono sampai Presiden Joko Widodo, telah menunjukan komitmen untuk menyelesaikan persoalan Papua. Namun konsistensi untuk mengawal janji yang diucapkannya seolah semacam gula-gula manis habis di mulut. Sangat diharapkan kepemimpinan Presiden Jokowi pada periode yang pertama hanya dalam hitungan sisa waktu beberapa bulan kedepan dialog sektoral sudah harus di mulai, sebelum mengakhiri masa jabatannya. ‘Semoga’.

Selasa, 12 Juni 2018

Sudakah Orang Asli Papua Menjadi Tuan di Negeri Sendiri?

Koran Tabloidjubi.com Edisi 11-12 Juni 2018

Oleh. Kilion Wenda
Ada ternak kelinci di pinggir rumah atau pekarangan rumah. Kelinci ini dibuat kandang oleh tuannya dan dikurung dengan baik supaya ternak hewan ini tinggal didalam. Tuannya berusaha memberikan makanan daun-daunan atau makanan yang bisa di makan kelinci. Bisa saja tuannya lupa memberikan makanan ternak ini sewaktu-waktu sehingga kelinci ini menjadi kurus  dan mati dalam kurungan di kandangnya itu.
Hampir seluruh masyarakat Pegunungan Tengah Papua, rata-rata petani dan peternak babi sehingga sudah tahu pasti membutuhkan perawatan dan pemeliharaan. Salah satu ternak Babi adalah kandang (tempat tinggal babi) dalam satu honai.  Dalam satu honai itu dibuat petak-petakdibatasi dengan papan atau kayu penyangga sesuai dengan besar kecilnya ukuran babi. Jadi babi dari kotak yang satu tidak bisa pindah ke kotak yang lain, karena dibatasi dengan papan dan tiang pemisah dan penyangga. Bahkan babi dari kotak sebelah menggonggong babi yanng berada di kotak sebelah. Dan juga seringkali saling cakar dengan kuku dan gigi mereka. Tidak pernah saling bertemu bahkan kadang- kadang moncong atau hidung  babi itu terluka karena terkena kayu  yang di batasi mereka.
Maksudnya orang-orang asli Papua dikurung dalam Provinsi dan Kabupaten supaya seperti burung dalam sangkar itu tidak bebas menikmati alam bebas nan indah di Papua Barat ini.
Sebuah ilustrasi yang disampaikan dalam buku: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah kebisuan dan sejarah kekerasan di Papua Barat. Di tulis oleh DR.Socratez Sofyan Yoman, terbitkan oleh Galang Pers pada Tahun 2007. Namun setahun kemudianbuku  ini dilarang  beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan surat penyitaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor. Kep-052/A/JA/06/08 tertanggal 20 juni 2008.(Kompas 8 agustus 2008).
Harus diakui bahwa buku ini didilarang dan ditarik dari peredaran karena menjadi ancaman bagi pemerintah Republik Indonesia, namun jadi pelajaran berharga bagi bangsa dan rakyat di tanah Papua (Dalam tulisan ini, nama Papua mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat). Ambil sebuah gambaran pemekaran Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua diibaratkan orang Papua dalam kandang kelinci, dan kandang kurungan ternak babi. Mendengar dan melihat penyebutan nama jenis binatang tersebut, maka sudah pasti cara perpikir dan konsentrasi akan terganggu. Namun perlu mengambil hikmah dibalik ini. Sudah di nubuatkan oleh seorang pelayan umat ini, dan melihat dengan mata rohani, kekhwatiran ini mengumandangkan dikemudian hari orang Papua akan menghadapinya.
Sebagian para elit politik Papua sendiri berjuang untuk pemekaran Daerah Operasi Baru (DOB) Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua untuk mempercepat pembangunan dan kemajuan di tanah Papua. Terbentuknya Provinsi Papua Barat dari Provinsi Papua dan beberapa Kabupaten/Kota di Tanah Papua. Setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, era globalissi, erah keterbukaan, dan erah demokrasi dewasa ini terlihat dengan jelas.kita telah di kotak-kotakan/dikurung dalam satu daerah masing- masing.
Ada juga nilai positifnya dari bahwa, dengan adanya pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). lapangan pekerjaan terbuka luas, akses transportasi yang dulunya ditempuh dalam jangka waktu yang lama kita hanya bisa tempuh dengan hitungan waktu yang sangat cepat. Tehknologi dan Informasi sangat mudah, banyak yang mempunyai rumah mewah, kendaraan mewah dari tingkat daerah sampai di tingkat Pusat.
Dari nilai positif ini, ada nilai negatif yang sedang dan akan mengalami bagi orang Asli Papua. Artinya bahwa pemekaran ini logikanya akan dibalik dari nilai positifnya bahwa, dengan adanya pemekaran akan ada banyak uang yang beredar, membuat kreatifitas dan kemandirian yang sudah ada sejak kita dilahirkan akan hidup menjadi ketergantungan, lahan dimana tempat mata penharian hilang, pola hidup manusia yang berbudaya menjadi manusia modern mengakibatkan hilangnya bahasa lokal, kebudayaan lokal. Menyadari juga bahwa arus transmigrasi dan urbanisasi akan tidak terkontrol mengakibatkan yang lemah tetap tidak berdaya.

Menjadi Tuan di  Negeri Sendiri
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Bab IV Pasal 4 Ayat 1, berbunyi:“Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, Kecuali politik luar nege,Pertahanan Keamanan, Moneter dan Fiskal, Agama, dan Peradilan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Benar-benar memberi semangat yang luar biasa bagiorang asli Papua untuk menjadi tuan di negeri sendiri, di sektor, pendidikan, ekonomi, birokrasi pemerintahan untuk di kuasai oleh orang asli Papu sendiri.
Seluruh Provinsi di negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI) yang tercinta ini, hanya ada dua Provinsi  yaitu: Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua(kemudian Provinsi Papua dimekarkan menjadi Papua dan Papua Barat) dengan status Otonomi Khusus (Otsus), sedangkan Provinsi Yogyakarta diberikan keistimewaan menjadi Derah Istimewa. Sementara yang lain tidak namun menelusuri provinsi-provinsi yang tidak berikan status khusus dan istimewa ini lebih menjadi tuan di negeri sendiri dari pada  provinsi Papua dan Papua Barat yang ada status khusus ini.
Kongkrit adalah Provinsi Sulawesi Utara (sultra) khususnya di Ibu Kota Manado. Disemua  sektor, Pendidikan: Dari pimpinan sekolah, perguruan tinggi negeri dan swasta sampai dengan stafnya adalah orang Manado. Sektor Ekonomi: mall, supermarket, bank-bank, hotel-hotel dari pimpinan sampai stafnya orang Manado, sopir-sopir taksi juga orang Manado. birokrasi pemerintahan:  Dari sekda, kepala- kepala dinas, camat, kepala desa sampai RT/RW adalah orang Manado. Bahkan orang-orang Manado sendiri  punya lembaga adat yang mengawasi keamanan mereka yang di sebut “Laskar Manguni”. Kecuali jabatan Kapolda, Pangdam, Kejari, Kemenag secara hirarki ditentukan oleh pusat. Dengan kenyataan ini, mereka telah menjadi tuan di negeri mereka sendiri.
Sedangkan Papua dengan status Otsus, apakah telah menjadi tuan di negeri sendiri?. Dari fakta di Provinsi Sulawesi Utara ini, kita melihat kembali kondisi objektif di tanah Papua. Ada beberapa pertanyaan. Berapa banyak orang asli Papua sudah mepunyai, mall, supermarket,hotel berbintang, pengusaha, sopir-sopir taksi? Berapa banyak orang asli Papua yang menjadi karyawan bank-bank daerah dan nasional (bank Papua, bank Mandiri, bank BNI, bank BCA,dll) di Tanah Papua?, Berapa banyak orang asli Papua sebagai pimpinan dan karyawan bandara udara (Air port) di Seluruh tanah Papua?, Berapa banyak orang asli Papua jadi pegawai negeri sipil (PNS)/aparatur sipil negara (ASN) di seluruh tanah Papua?. Berapa banyak orang asli Papua yang menjadi kepala sekolah,(dasar dan menengah)?, berapa banyak orang asli Papua yang menjadi pimpinan sampai dengan stafnya di perguruan tinggi negeri dan Swasta (PTN dan PTS) di tanah Papua?. Kenapa bukan orang asli Papua jadi Bupati dan Wakil Bupati, Ketua dan Anggota DPR, Sekretaris Daerah, Kepala Distrik, pegawai negeri Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN, dan kepala kampung di seluruh tanah Papua?
Dari sejumlah pertanyaan dan kenyataan yang ada di depan mata mengantar diri orang asli Papua  menjadi kuli di negerinya sendiri.

Bersama Mewujudkan Papua Tanah Damai
Sambungan Koran Tabloidjubi.com Edisi 11-12 Juni 2018
Secara bersama kita harus mengakui bahwa sejumlah persoalan yang sudah disebutkan tersebut adalah sebuah kenyataan yang ada di depan mata kita. Kita tidak bisa melihat dengan sebelah mata, melupakan dan atau mengabaikan persoalan itu terus terjadi. Papua tanah Damai telah di canangkan sebagai visi bersama masyarakat yang hidup di tanah Papua. Pencanangan visi Papua Tanah Damai ini ditegaskan kembali dalam perayaan 158 tahun pekabaran injil di tanah Papua. Pada hari kamis 5 februari 2013 di lapangan Mandala Jayapura oleh semua pimpinan agama, semua pimpinan paguyuban- paguyuban, Gubernur Provinsi Papua, dan Kapolda Papua sebagai hari Papua Tanah Damai.
Papua Tanah Damai merupakan visi dan masa depan bersama, dan Harapan bersama semua orang yang hidup di tanah Papua. Papua tanah Damai merupakan suatu tatanan ideal  yang  harus di perjuangkan bersama oleh semua pihak yang berkepentingan. Papua tanah damai mengandung sepuluh nilai dasar: Keadilan dan Kebenaran, Partisipasi, Rasa Aman dan Nyaman, Harmoni dan Keutuhan, Kebersamaan dan Penghargaan, Pengakuan dan Harga Diri, Komunikasi dan Informasi Yang Benar, Kesejahtraan, Kemandirian, dan Kebebasan.
Dengan nilai-nilai dasar ini semua orang yang hidup di tanah Papua secara bersama-sama menyadari pentingnya keterlibatan sejumlah kelompok- kelompok untuk mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai yaitu: Pertama. Orang Asli Papua (OAP) sendiri sebagai korban langsung dari berbagai  undang- undang, kebijakan, peraturan, keputusan yang berlaku untuk tanah Papua.
Kedua.Masyarakat Papua yang datang dari berbagai latar belakang, dan kepentingan dari berbagai daerah di Indonesia, hidup dan menetap menetap di seluruh tanah  Tanah Papua.
Ketiga. Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Distrik,  Kelurahan/Kampung sampai di tingkat yang paling rendah RT dan RW  yang  adalah membuat dan menjalankan pemerintahan di seluruh tanah Papua.
Keempat. Pemerintah Pusat (Preasiden), jajaran kementrian dan lembaga di Jakarta selaku pembuat Undang- undang, Peraturan, dan Keputusan, untuk  menjalan di seluruh Tanah Papua.
Kelima. Kepolisian Rebublik Indonesia (POLRI), memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat Indonesia termasuk di Tanah Papua.
Keenam. Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menegakan kedaulatan negara, mempertahankan  keutuhan  wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman luar, termasuk wilayah di tanah Papua.
Ketujuh. Pengusaha-pengusaha, lokal, nasional dan internasional yang mengelola dan mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di seluruh tanah Papua.
Kedepalan. TPN/OPM yang ada di hutan rimba seluruh tanah Papua, memperjuangkan keadilan dan perdamaian sejati. Untuk memperjuangkan Papua Merdeka secara hukum danpolitik, pisah dari negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Kesembilan orang asli Papua yang  hidup dan menetap di luar negeri (diaspora), seperti di Papua New Guinea, Autralia, Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan belahan dunia lain diseluruh dunia. Mereka telah mengasingkan diri  di luar negeri hanya untuk memperjuangkan Papua Merdeka. Mereka juga gencar melobi dan mengkampanyekan kemerdekaan Papua, di tingkat masyarakat Sipil, politik dan pemerintahan di luar negeri.
Untuk saling berbagi cinta dan rasa dalam upaya mejuwudkan Papua sebagai Tanah Damai, ke sembilan aktor tersebut perlu dilibatkan dalam suatu ruang dialog. Mengedepankan sepuluh  nilai dasar tadi. Membahas masalah- masalah dan menentukan solusi secara bersama, sesuai dengan kepentingan di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi (mikro dan makro), lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan, keamanan, hukum dan hak asasi manusia, status politik Papua, dan sejarah  integrasi Papua ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. “Selamat membaca”


Artikel ini telah di Publikasih oleh Tabloidjubi. Edisi 11-12 Juni 2018

Senin, 28 September 2015

Interfidei dan FKPPA, Menggelar Konferensi – FGD II Papua Tanah Damai di Jayapura.

Institut DIAN Interfidei bekerja sama dengan Forum Konsultasi Para pimpinan Agama (FKPPA),Provinsi Papua Ilalang Papua dan dinas Kesbangpol Kota Jayapura, telah Menggelar Konferensi dan Focus Group Discussionn (FGD), II di Hotel Sahid Papua, pada 6-9  September 2015.
Kegiatan ini dirselenggarakan lanjutan dari Konferensi dan FGD I di Kabupaten Jayapura pada 23-27 november 2014, dengan tema: menata dan memaknai perbedaan, demi Papua Tanah Damai, diikuti oleh seluruh para pimpinan agama-agama di Kaupaten/kota seprovinsi Papua
Pada konferensi dan FGD ke II ini, lebih fokus pada monitoring dan evaluasi, Untuk mengetahui sampai sejauhmana kegiatan yang diikuti sebelumnya untuk memberi pengaruh signifikan kepada peserta dalam melakukan perubahan, demi terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai dan apakah manfaat bagi komunitas dan masyarakat dari mana peserta diutus, demi sebuah perubahan, terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai.
Dalam Konferensi dan FGD II  diikuti  dari para pemimpin agama dan tokoh agama  dari tujuh daerah yakni. Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, kabupaten Timika, Kabupaten Nabire, dan Kelompok Avatan (Kabupaten jayawijaya dan Sarmi).
Pada  Kegiatan  yang berlangsung selama empat  hari ini, membahas  beberapa isu-isu penting  Yaitu. Perlindungan dan palayanan keagagamaan  bago Umat Agama disampaikan langsung oleh Prof. Dr. M. Machasin, Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Republik Indonesia, sebagai Keynote speech. Juga para pakar lain, dr.Gunawan Ingkokusumo menyampaikan (tentang tantangan, ancaman dan tindakan menghadapi perluasan HIV/AIDS di Tanah Papua). Ida Bagus Suta Kertya (Memelihara alam semesta secara adil-bersih-indah, demi kelangsungan hidup masyarakat papua), Dr.Tonny Wanggai,S.Ag,MA (Ancaman dan tindakan menghadapi masuknya gerakan radikalisme agama di Tanah Papua).  Uskup Dr.  Leo Laba Ladjar, OFM  (Tantangan, ancaman dan tindakan dunia Pendidikan di Papua). Prof.Dr.Sidney Jones (Peta perubahan dan dinamika perbedaan dalam keragaman agama-agama di Indonesia, persoalan KBB, dan pembiaran Negara terhadap kelompok intoleran atas nama agama).  Dr. Theo van den Broek (Dinamika hubungan antar warga di masyarakat Papua, dalam perubahan demografi agama-agama di Propinsi Papua). Dan Dr.Pater.Neles Tebay,Pr (Makna perbedaan agama-agama di Tanah Papua demi Papua menjadi Tanah Damai: Dialog Damai sebagai jalan tanpa kekerasan).

Kegiatan tersebut diakhiri dengan menysun rencana tindak lanjut (RTL) dari  masing-masing daerah yang berkaitan dengan membangun toleransi Umat beragama, menjaga kelestarian lingkungan hidup, bahaya HIV/AIDS, Radikalisasi Agama, menjaga perubahan demografi,membangun karakter dalam pendidikan dan memaknai perbedaan agama-agama di Tanah papua demi Papua Tanah Damai.(JDP.Kilion)

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...