Kamis, 01 Agustus 2013

LATAR BELAKANG OTONOMI KHUSUS PAPUA, KEGAGALAN DAN SOLUSINYA

Ndumma Socratez Sofyan Yoman
(Foto:Album Pribadi)
Pada 25-27 Juli 2013 di Hotel Sahid Jayapura, Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Papua Barat bersama Orang Asli Papua dari 257 suku yang terbagi dalam tujuh wilayah: Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Pago Mee, mengadakan Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.
Dalam pertemuan ini, Rakyat Papua menyampaikan berbagai macam masalah berdasarkan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus.  Orang Asli Papua tidak merasakan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus.  Sejak otsus diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara.  Penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM. Secara ekonomi  Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacau-balau di mana-mana karena faktor ketiadaan guru, keamanan dan tempat belajar. Pembatasan yang berlebihan dari aparat keamanan Indonesia sehingga Orang Asli Papua kehilangan hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan  berkumpul.
Pemerintah Indonesia  dinilai tidak  melaksanakan  dengan sungguh-sungguh dan konsisten  kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan penyelesaian menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang status politik  Papua dalam wilayah Indonesia.  Yang jelas dan pasti,  UU Otsus dibuat karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk  keluar dari wilayah Indonesia. Tapi, sayang, Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan bermartabat itu dinyatakan gagal total dari mayoritas peserta evaluasi otsus.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua.  Pemerintah juga lupa, Otsus  bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah  kepada rakyat Papua.  Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional  tidak tahu  latar belakang dan  fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Latar belakang dan fakta sejarah lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai duta-duta rakyat Papua menghadap  Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan: “ Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia.”
“Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.” “Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai, dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka: (1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun  Rakyat Papua  mengadakan Musyarawah Besar (MUBES)  pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah.  Dalam MUBES, rakyat Papua  telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa  menyampaikan komunike politik bangsa Papua  sebagai berikut  :
1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian  menjadi Papua pada tanggal 31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya menggunakan nama Papua  sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian. Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J. Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999 di istana negara Jakarta.
2. Rakyat Papua  menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua dari Belanda melalui  PBB kepada pemerintah   Indonesia pada 1 mei 1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan nasib bangsa Papua. 
3. Bahwa sebagai konsekuensi dari  tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan  seluruh hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun 1969 tersebut berdasarkan alasan sebagai berikut:
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d,  " yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa - pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek  international", atau one man one vote. (b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000, rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua  yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi :
Pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di istana Negara Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah dari negara  RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan  - pengakuan kedaulatan hak-hak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda,  pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai pihak-pihak yang telah meniadakan hak-hak politik bangsa Papua. Juga disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut mengetahui alasan -alasan dan mendukung kehendak bangsa Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim 100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni 2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid.   Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:       
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948, Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14 Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasil-hasil kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia, bahwa :
(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara  sejak 1 Desember 1961. (2)  Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua. (3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu Bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. (4)  Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan internasional. (6)  PBB, AS,dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
 (7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua Barat serta pengusutan dan pengadilan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. (8)  Segera membentuk suatu tim independen yang akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua.
(9) Penyelesaian masalah status politik Papua Barat secara adil dan demokratis harus dilakukan antara wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua selama 38 tahun di bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres II Papua 2000 menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi bangsa Papua”.
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik dengan  pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme  untuk mengkaburkan dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.   
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak azasi manusia di Papua  yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman, Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada  Juli 2013  Komisi  HAM PBB  independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan Pemerintah Indonesia juga  masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?”
Sultan Hamengku Buwono X sebagai seorang bangsawan sejati dan negarawan dengan jujur dan tepat dapat menyimpulkan   kegagalan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua.  “Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”. (Hotel Borobudur,  Jakarta, 15 Mei 2013).  
Dari berbagai pihak menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal.  Karena itu, apa yang disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan Penduduk Asli Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung.  Ada dua  sulusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di tempat yang netral. (2)  UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU No. 35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan setelah dialog damai diadakan.  Selain dua solusi tadi, langkah mendesak lain yang perlu dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua tahanan politik di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk ke Papua. (3) Para wartawan asing dan pekerja kemanusiaan diijinkan masuk ke Papua.  Walaupun tuntutan ini berat bagi Indonesia, namun demi rasa keadilan dan penegakkan hak asasi manusia patut  dilaksanakan dalam semangat demokrasi di Indonesia. 

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

‘Dialog Jakarta-Papua Bisa Menjawab Teriakan ‘M’

Pdt. Bas: Tunda Dialog Berarti Buka Pintu Peluang Menuju Referendum  

JAYAPURA - Wacana dialog Jakarta-Papua yang terus didengungkan,  bahkan telah menjadi kesepakatan pada acara Dengar Pendapat MRP dan MRP Papua Barat, nampaknya turut menjadi perhatian serius Tokoh Agama dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pdt. Bas Weyai, S.Th.,
  Mantan Ketua Klasis Jayapura ini, mengatakan, sesungguhnya dialog sendiri adalah sebuah percakapan yang kaitannya dengan sejarah panjang di Papua, dimana sering terjadi permasalahan-permasalahan dan teriakan masyarakat, yang semestinya diminta masyarakat untuk diselesaikan melalui dialog Jakarta-Papua, entah itu dialog dilakukan oleh para elit politik, tokoh masyarakat/adat, tokoh gereja.

  “Harus duduk bersama bicara agar adanya kesadaran bersama atas masalah Papua ini. Dialog itu sangat penting, karena sepanjang kita tidak duduk bicara, sepanjang itu pula antara Jakarta dan Papua tetap ada situasi yang tidak bisa kita pungkiri dalam hal masyarakat Papua selalu menuntut kesejahteraan yang harus dibangun, dan masalah teriakan merdeka,”  ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Selasa, (30/7). Singkatnya bahwa dengan menggelar dialog Jakarta-Papua bisa menjawab teriakan ‘M’ (merdeka) 
  Menurutnya, jika Jakarta berjiwa besar membangun Papua ini dengan hati dan kasih, serta pandangan yang positif, tentunya dipastikan tidak ada teriakan dari masyarakat, namun selama Jakarta menutup kupingnya terhadap teriakan masyarakat Papua, maka itulah jelas terus menjadi persoalan bagi rakyat Papua-Jakarta, baik itu teriakan secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat, maupun teriakan secara vertikal dengan pemerintah atau lembaga-lembaga yang punya kepentingan untuk pembangunan di Papua ini, dan pembangunan secara nasional.
  Baginya, bila dialog direalisasikan antara Jakarta-Papua, jelas segala hal yang selama ini berada di balik stigma teriakan merdeka dan teriakan-teriakan persoalan kesejahteraan itu akan terungkap dan dapat diselesaikan dengan baik. Tapi sebaliknya jika tidak terealisasi, maka kebisuan antara Jakarta-Papua tetap terjadi, yakni, masalah demi masalah terus menerus terjadi,  bahkan bisa meningkat.
  Ditambahkan, untuk masalah dialog Jakarta-Papua, secara internal daerah, setidaknya Pemerintah Provinsi Papua, dalam hal ini Gubernur Papua dan DPRP,  serta MRP proaktif untuk memfasilitasinya ke Jakarta untuk dialog Jakarta-Papua itu.
  “Gubernur Papua tidak memandang masalah ini dengan sebelah mata, tapi harus mengakomodir teriakan masyarakat itu, dan memfasilitasinya dialog Jakarta-Papua. Tapi kelihatannya kurang proaktif sumbangan pikiran atau permintaan ketegasan dari Pemerintah Pusat,” terangnya.
  Lanjutnya, jika inisiatif dialog Jakarta-Papua itu datang dari Gubernur Papua, maka apa yang dicita-citakan masyarakat untuk duduk bersanding dengan Pemerintah Jakarta dan Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan pembangunan akan berjalan dengan baik. Dan semua hal dapat dibicarakan secara kekeluargaan.
  Pemerintah Provinsi Papua harus memberikan jaminan terhadap hal itu, karena dilihat dari kaca mata Otsus Papua (dan UU No 32 Tahun 2012) ataupun Otonomi Daerah (Otda) yang harus didudukkan secara baik,  yang mana kebijakan yang masuk dalam Otsus dan mana yang masuk dalam kebijakan Otda. Karena ini kedua-duanya belum jelas untuk masyarakat yang menyebabkan rakyat terus berteriak. Ini yang harus dibicarakan dalam dialog itu.
“Untuk masalah kesejahteraan rakyat Papua itu belum menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Ini yang sering memicu terjadinya teriakan-teriakan yang lain. Ini harus dijelaskan dengan baik oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat menjelaskan dengan baik supaya masyarakat tahu bahwa Otsus tidak gagal,” imbuhnya.
    Ditempat terpisah, Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, secara singkat menyatakan, pilihan terakhir mari semua orang Papua dan orang non Papua kita mendorong dialog damai Jakarta-Papua dalam tahun ini yang pra dialognya sudah dilakukan oleh Jaringan Damai Papua dan Aliansi Liga Demokrasi Papua dan juga telah menjadi keputusan bersama rapat dengan pendapat MRP dengan orang asli Papua. Menunda dialog, berarti mempercepat proses buka pintu Papua menuju referendum. 
  Menunda  dialog, juga membuka pintu bagi intervensi asing masuk dalam rangka Responsibility to protect terhadap penduduk asli Papua yang mengalami pelanggaran HAM  berat, dan tindakan ini menjadi bagian dari konvensi dewan keamanan PBB.  “Bola panas dialog Papua-Jakarta ada di tangan Pemerintah Pusat sekarang,” pungkasnya.

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...