Kamis, 01 Agustus 2013

‘Dialog Jakarta-Papua Bisa Menjawab Teriakan ‘M’

Pdt. Bas: Tunda Dialog Berarti Buka Pintu Peluang Menuju Referendum  

JAYAPURA - Wacana dialog Jakarta-Papua yang terus didengungkan,  bahkan telah menjadi kesepakatan pada acara Dengar Pendapat MRP dan MRP Papua Barat, nampaknya turut menjadi perhatian serius Tokoh Agama dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pdt. Bas Weyai, S.Th.,
  Mantan Ketua Klasis Jayapura ini, mengatakan, sesungguhnya dialog sendiri adalah sebuah percakapan yang kaitannya dengan sejarah panjang di Papua, dimana sering terjadi permasalahan-permasalahan dan teriakan masyarakat, yang semestinya diminta masyarakat untuk diselesaikan melalui dialog Jakarta-Papua, entah itu dialog dilakukan oleh para elit politik, tokoh masyarakat/adat, tokoh gereja.

  “Harus duduk bersama bicara agar adanya kesadaran bersama atas masalah Papua ini. Dialog itu sangat penting, karena sepanjang kita tidak duduk bicara, sepanjang itu pula antara Jakarta dan Papua tetap ada situasi yang tidak bisa kita pungkiri dalam hal masyarakat Papua selalu menuntut kesejahteraan yang harus dibangun, dan masalah teriakan merdeka,”  ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Selasa, (30/7). Singkatnya bahwa dengan menggelar dialog Jakarta-Papua bisa menjawab teriakan ‘M’ (merdeka) 
  Menurutnya, jika Jakarta berjiwa besar membangun Papua ini dengan hati dan kasih, serta pandangan yang positif, tentunya dipastikan tidak ada teriakan dari masyarakat, namun selama Jakarta menutup kupingnya terhadap teriakan masyarakat Papua, maka itulah jelas terus menjadi persoalan bagi rakyat Papua-Jakarta, baik itu teriakan secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat, maupun teriakan secara vertikal dengan pemerintah atau lembaga-lembaga yang punya kepentingan untuk pembangunan di Papua ini, dan pembangunan secara nasional.
  Baginya, bila dialog direalisasikan antara Jakarta-Papua, jelas segala hal yang selama ini berada di balik stigma teriakan merdeka dan teriakan-teriakan persoalan kesejahteraan itu akan terungkap dan dapat diselesaikan dengan baik. Tapi sebaliknya jika tidak terealisasi, maka kebisuan antara Jakarta-Papua tetap terjadi, yakni, masalah demi masalah terus menerus terjadi,  bahkan bisa meningkat.
  Ditambahkan, untuk masalah dialog Jakarta-Papua, secara internal daerah, setidaknya Pemerintah Provinsi Papua, dalam hal ini Gubernur Papua dan DPRP,  serta MRP proaktif untuk memfasilitasinya ke Jakarta untuk dialog Jakarta-Papua itu.
  “Gubernur Papua tidak memandang masalah ini dengan sebelah mata, tapi harus mengakomodir teriakan masyarakat itu, dan memfasilitasinya dialog Jakarta-Papua. Tapi kelihatannya kurang proaktif sumbangan pikiran atau permintaan ketegasan dari Pemerintah Pusat,” terangnya.
  Lanjutnya, jika inisiatif dialog Jakarta-Papua itu datang dari Gubernur Papua, maka apa yang dicita-citakan masyarakat untuk duduk bersanding dengan Pemerintah Jakarta dan Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan pembangunan akan berjalan dengan baik. Dan semua hal dapat dibicarakan secara kekeluargaan.
  Pemerintah Provinsi Papua harus memberikan jaminan terhadap hal itu, karena dilihat dari kaca mata Otsus Papua (dan UU No 32 Tahun 2012) ataupun Otonomi Daerah (Otda) yang harus didudukkan secara baik,  yang mana kebijakan yang masuk dalam Otsus dan mana yang masuk dalam kebijakan Otda. Karena ini kedua-duanya belum jelas untuk masyarakat yang menyebabkan rakyat terus berteriak. Ini yang harus dibicarakan dalam dialog itu.
“Untuk masalah kesejahteraan rakyat Papua itu belum menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Ini yang sering memicu terjadinya teriakan-teriakan yang lain. Ini harus dijelaskan dengan baik oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat menjelaskan dengan baik supaya masyarakat tahu bahwa Otsus tidak gagal,” imbuhnya.
    Ditempat terpisah, Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, secara singkat menyatakan, pilihan terakhir mari semua orang Papua dan orang non Papua kita mendorong dialog damai Jakarta-Papua dalam tahun ini yang pra dialognya sudah dilakukan oleh Jaringan Damai Papua dan Aliansi Liga Demokrasi Papua dan juga telah menjadi keputusan bersama rapat dengan pendapat MRP dengan orang asli Papua. Menunda dialog, berarti mempercepat proses buka pintu Papua menuju referendum. 
  Menunda  dialog, juga membuka pintu bagi intervensi asing masuk dalam rangka Responsibility to protect terhadap penduduk asli Papua yang mengalami pelanggaran HAM  berat, dan tindakan ini menjadi bagian dari konvensi dewan keamanan PBB.  “Bola panas dialog Papua-Jakarta ada di tangan Pemerintah Pusat sekarang,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...