Jabat tangan erat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keaman Tedjo Edhi Purdijatno kepada peserta pertemuan eksploratif keenam di
Jakarta pertengahan Februari lalu, mengesankan mereka. Anggota Majelis Rakyat
Papua Wolas Krenak, melihat apa yang terjadi dalam pertemuan sebagai pertanda baik.
Kehadiran Menko Polhukam,
bahkan berkenan menjadi pembicara utama dalam pertemuan yang di gelar Jaringan
Damai Papua, sejumlah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan pihak lainnnya itu bukan persoalan
sederhana. Mengingat isu yang di bicarakan adalah tentang Papua yang masih
manjadi salah satu isu sensitif di Indonesia, kehadiran Tedjo membuka harapan.
Di depan para peserta, Tedjo
menegaskan pemerintah akan mengurangi pendekatan keamanan dan akan lebih
memperkuat pendekatan kesejahtraan di Papua. Pemerintah, katanya juga ingin secara konsisten membangun Papua sebagai kultur yang hidup di
tanah itu.
Bagi para peserta, kehadiran
tersebut bentuk dukungan atas upaya yang
telah di bangun bersama semua pemangku kepentingan, baik di Papua maupun di Jakarta,
dalam empat tahun terakhir.
Proses itu tidak mudah
karena lebih dari 50 tahun bercuran dana triliunan rupiah, ternyata belum
membuat masyarakat Papua nyaman. Gugatan berbasis argumentasi sejarah seputar pelaksanaan penentuan
pendapat rakyat pada 1969 hingga tuntutan referendum yang di suarahkan sejumlah kalangan di Papua
menjadi indikasi bahwa persoalan itu ada.
Gugatan itu kian menguat
ketika sejumlah program kesejahtraan
rakyat juga tidak membuahkan hasil optimal. Minimnya proses transformasi dan penguatan masyarakat asli membuat mereka
masih marjinal.
Gandah dengan kondisi itu,
sejumlah pemerhati persoalan Papua berhimpun mencari upaya membagun perdamaian
di Papua. Melalui Jaringan Damai Papua (JDP) yang terdiri dari sejumlah
akademisi, Peneliti LIPI, termasuk sejumlah LSM dan kalangan profesional, di gelar Konferensi Perdamaian Papua pada Juli
2011 yang di hadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto serta perwakilan masyarakat
asli dari Papua.
Pada akhir konferensi itu
medikator Papua damai dan menyepakati
untuk mengajukan dialog sebagai sarana menyelesaikan aneka persoalan di Papua.
Suasana ketidakpercayaan
dari Jakarta dan sejumlah pihak di Papua membuat upaya itu seolah jalan di
tempat. Sejumlah pihak bersama JDP dan
LIPI kemudian mengundang perwakilan dari
Papua, seperti dewan adat papua (DAP),
dan perwakilan dari pemerintah untuk mengikuti pertemuan eksploratif di
Bali. Menurut koordinator JDP Papua Neles Tebay, suasana pertemuan pertama di
Bali pada Februari 2013 itu di liputi ketegangan.
Namun agaknya para peserta
menilai pertemuan itu penting dan harus di lanjutkan. Kemudian, berturut-turut
pertemuan di gelar di Manado (april 2013), Lombok (Agustus 2013),Yogyakarta
(Januari 2014), Semarang ( September
2014) dan Jakarta (16-18 Februri
2015).
Setelah melewati beberapa
tahap pertemuan tiap-tiap pihak menjadi kian berani menyampaikan berbagai hal
yang sebelumnya mungkin sulit diungkapkan.
Perwakilan dari DAP, dan MRP, dengan terbuka menyampaikan kritik kepada
TNI dan Polri yang juga terbuka menanggapi.
Akademisi dan kelompok madani juga leluasa menyampaikan pemikiran mereka. Perlahan kecurigaan mulai terurai dan rasa
percaya mulai tumbuh.
"JOSI SUSILO HARDIANTO "Kompas 25 Februari 2015".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar