Ndumma Socratez Sofyan Yoman (Foto:Album Pribadi) |
Pemerintah dan aparat
keamanan Indonesia selalu membanggakan diri dengan klaim bahwa Papua adalah
bagian Indonesia yang sudah final melalui PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas
jajahan Belanda sehingga otomatis masuk dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Namun pertanyaannya ialah (1) Menpaga penduduk asli Papua tidak pernah
mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan
terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat
ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang
beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke
dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia,
mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final?
Jawaban dari tiga pertanyaan ini adalah Perlawanan rakyat Papua yang menuntut
rasa keadiaan adalah beralasan. Karena Kalam proses dimasukkannya Papua ke
dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam
proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer:
Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII
Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio
Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi
referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing
bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik
maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan.
Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan,
harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan.
Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat
ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi
sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR. Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai
dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu
kelompok besar tentara Indonesia hadir (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1,
paragraph 189-200). Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII
Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer
Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia,
Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai
berikut:Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan
dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai
ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan
tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan Republik Indonesia†(Sumber: Dutch
National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000). Tidak saja masyarakat asli
Papua yang melakukan perlawanan aneksasi Papua dan dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia. Tetapi, perwakilan Persirikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi
PEPERA 1969 di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan dalam
melaporkannya :Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya
tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan
dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak,
kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap,
syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan
administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat
terhadap penduduk pribumi.[1] Ortiz menyatakan pula, Penjelasan orang-orang
Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercayai. Sesuai
dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan Rakyat Papua yang
dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu
penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka ( Sumber:
Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr.
Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969
menyatakan: Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah
dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka (Sumber:
UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47). Berhubungan dengan kepalsuan
sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota
resmi PBB juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969
oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA
yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum
internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum
internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat take note. Istilah
œtake note itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada
masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA
1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa
Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti
dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: 156 dari
179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai
tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti
Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral (Sumber
resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications
from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series
100, Box 1, File 5). Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam
Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap
Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada
peserta PEPERA di Papua Barat yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum
bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah
fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar
kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan
musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu
ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang
sampai Merauke.[2] Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik
sebagai berikut: Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon
menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan
pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian
Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan
oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya.
Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya
berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti
menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk
menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami
dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam
laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:
a.
Mengapa sangat banyak
jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh
rakyat?
b.
Mengapa pengamat PBB dapat
hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya
sebentar saja?
c.
Mengapa pertemuan
konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan
pemerintah?
d.
Mengapa hanya organisasi
pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e.
Mengapa prinsip one man, one vote yang
direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f.
Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka
yang dihadiri pemerintah dan militer?
g.
Mengapa para menteri dengan
sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan
mereka bahwa, hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka
berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h.
Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New
York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan
berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?[3] Protes
Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut:
Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak
tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua (hal. 784).
Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga
menemukan bukti-bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya
: Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz
tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini
hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas
dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu
(an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa
menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses situ jauh di
bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat
ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang
justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York
itu (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib
Sendiri. Drooglever mengatakan, œmenurut pendapat para pengamat Barat dan
orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas
berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah
tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia
(hal. 783). Ini bertentangan dengan karakter nasional yang sama sekali berbeda,
dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua
(2010: hal.775).Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang
berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa PEPERA
1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis. Sebagian besar hal menarik
adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsip. Sebab
Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa
dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau
jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia, sungguh-sungguh itu tidak
demokratis dan itu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia
dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan
Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA
1969 benar-benar tidak demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat
apa-apa tentang itu. Mr. Saltimar adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada
waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai
Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah
tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam
dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya
tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. (Documents show Dutch support for
West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first
broadcasting, 17 April 2001).Akademisi Inggris, Dr. John Saltford yang
melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: tidak ada
kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan
keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia
gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan
orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur (John Salford:
United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua
(Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan, bahwa Dr.
Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang
dia terima dalam akhir minggu tahun 1969Â adalah melawan Indonesia, dengan
demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya
60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia dan setuju
referendum secara jujur dan terbuka.Karena itu, Ortiz Sanz sendiri memilih
untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB, atau dia telah disampaikan untuk
melakukan pembohongan itu oleh U.Thant. Pemerintah Amerika Serikat juga
mengakui orang-orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka.Pada bulan Juni
1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim
PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): bahwa 95% orang-orang Papua
mendukung gerakan kemerdekaan Papua (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman report,
July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain). Pengakuan
itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat  tetapi juga dating dari
pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: banyak orang Papua kemungkinan tidak
setuju tinggal dengan Indonesia (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1,
paragraph 126). Akibat dari rekayasa dan kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 ini,
belakangan ini datang berbagai tekanan dan gelombang protes untuk tinjau
kembali status politik Papua. Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres
Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.Pada 17
Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, Pada
tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan operasi
yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu Act of No Choice atau hukum yang
tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang
kuat diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status
politik wilayah itu. Perwakilan PBB dikirm untuk mengawasi dan melaporkan hasil
proses pemilihan dan laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsaâ€. Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan
Donald Payne, Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,  “…Referendum (PEPERA
1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah
dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah
menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau
kembali untuk melaksanakan pemerimaan PEPERA 1969 itu. Pada 19 Juli 2002, 34
Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa
untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut:
PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih
oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan
tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk
asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan kepada
Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan
PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat
untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan (baca: Laporan Komisi
Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March,
2002, on unrest in West Papua). Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia
mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut.
Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni
dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia
menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki
pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan
mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969. Pada 1 Desember 2008, di gedung
Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries
of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: kami
yang bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli
Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa
depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 Act of Free Choice 1969. Kami
menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan
penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat
memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar
hak asasi Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa.Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya
Papua ke delam wilayah Indonesia yang penuh rekayasa, kepalsuan dan cacat hukum
seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat dan
manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah
Indonesia. Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah
Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai
yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak
ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh.
Penulis adalah Ketua Umum Badan
Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar