|
Kilion Wenda |
Sejarah integrasi tidak jelas, Pelanggaran HAM, kegagalan
Pembangunan Marginalisasi Orang papua,
Jika
dilihat dari sejarah, konflik di tanah papua sudah bisa di rasakan sejak awal
kemerdekaan indonesia. Kekisruan makin terlihat ketika daerah ini tergabung
kepada Indonesia setelah
adanya penandatangan kesepakan politik antara RI-Belanda yang difasilitasi PBB
pada 19962
Awalnya saat bergabung, provinsi yang memiliki luas
427,981 km persegi dan terletak di koordinat 130 derajat- 141 derajat lintang
timur, dan 2,25 derajat utara-9 derajat selatan ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan
berubah menjadi Irian
Jaya ( 1973-2001) nama
“Iryan” di perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september 1945, yang dalam
bahasa Biak Numfor
berarti sinar matahari atau tanaha yang panas ( the hot land) barulah oleh
presiden Abdul rahman Wahid pada 1 januari 2000, nama provinsi Papua kemudian di
legalkan melalui UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi
papua, dan sejak 10 november 2004 dengan keputusan mahkama konstitusi No 018/PUU-I/2003 area
ini terdiri dari dua Provinsi: Provinsi Papua Barat dan papua yang terdiri dari
29 daerah pemerintahan dan dua kota
praja.
Kesehatan
masyarakat di daerah cukup sangat memprihatinkan. Penyakit-penyakit seperti
malaria, infeksi pernapasan, dan disentri adalah penyebab utama dari kematian
anak, dengan tingkat kematian anak yang
berkisar sampai 70 sampai 200 per 1,000 jiwa. Lebih dari 50% anak yang
di bawah umur 5 tahun bergizi buruk, dan tingkat imunisasi pun rendah.
Penyebaran HIV/AIDS berkisar 40 kali
lebih buruk dari rata-rata nasional penyebaran penyakit kematian ini di
perparah dengan aktifitas seksual bebas yang meingkat, tingkat buta hrurf yag tinggi, dan pencegahan dan penahan yang minim untuk penyakit ini.
Semenjak
terintegrasi dengan Indonesia,
pergolakan di Papua
tidak juga surut, hal ini di sebabkan
dari ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis penyatuan kawasan
tersebut dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata bermunculan dan
menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan
indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.
Secara
sederhana, terminologi konflik dapat di definisikan sebaga relasi yang menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang
dimiliki atau yang di rasa dimiliki oleh
dua pihak atau lebih. Sedangkan kekerasan di artikan sebagai kegiatan yang
mmencakup tindakan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik,
mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensi
penuh. Konflik atau perang internal di bagi
dalam dua jenis pertama,
perang atau konflik yang terjadi antara pemerintah dengan gerakan separatis
yang ingin memerdekakan diri ( konflik fertikal); kedua, konflik terjadi antar
kelompok di dalam negara atau lebih di kenal sebagai perang sipil ( konflik
horisontal)
Selanjutnya,
Muscat mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu
(triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. Konflik
menurutnya ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup
mencolok antar dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam
konflik yang di sebabkan oleh politik, etnis dan budaya adalah tidak adanya pembangunan
dan ekonomi yang bisa menggeliminasi kemiskinan.
Sementara
William J.Dixon mengategorikan konflik dalam dua hal pokok, pertama, konflik timbul dari pengakuan
bersama atas kepentingan dan nilai-nilai dasar yang saling berbenturan; kedua,
konflik merupakan gambaran yang sangat jelas dari hubungan sosial. Konflik yang
berlangsung terus menerus dalam suatu negara bisa di sebabkan dengan adanya
krisis dalam pemerintahan terasuk tidak adanya tujuan perdamaian dalam resolusi
konflik, kebijakan yang lumpuh( polici
paralysis) dan krisis kemanusiaan yang hebat.
Khusus
untuk konflik internal, Michael E Brown menjelaskan ada dua pendorong yang
menjadi penyebab terjadinya sengketa, yakni dari internal ( internally driven) dan eksternal ( externally-driven). Sementara faktor pemicu konflik saling
berkaitan satu sama lain.Brown berargumen hampir semua konflik internal di pucu
oleh problem internal dan di lakukan oleh aktor yang berada pada tingkatan
elit. Pemimpin yang buruk telah menjadi katalis perubahan yang telah menjadi
perang terbuka. Sementara, masalah pada tawaran mas-level seperti pada dampaknya pembangunan ekonomi, modernisasi atau
diskriminasi politik dan ekonomi lebih pada penciptaan kondisi yang tersirat (underlyng condition) yang kemudian
membuka peluang terjadinya konflik.
Table
penyebab yang dekat dari oknflik
internal
(the
proximate cause of internal conflict)
|
Pendorong dari internal
Internality driven)
|
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
|
Elite-level
|
Pemimpin yang buruk (bat leaders)
|
Negara tetangga yang buruk
( bat neighbors)
|
|
Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
|
Lingkungan sekitar yang buruk
(but neighborhoods)
|
Jika melihat literatur ada banyak riset yang
mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007) misalnya mengkategirikan konflik papua dalam empat level; pertama adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua dengan
indonesia, perbedaan ras,ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk
dimusnahkan, ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua dan begitu pula sebaliknya; kedua adalah issue level yakni
inkonsistensi kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi . ketiga adalah damand level,
yakni integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan
sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi
khusus.
Konflik
papua secara sederhana menururt amich Alhumani dapat di lihat dari dua sisi,
yakni sisi Ekonomi dan politik. Faktor utama yang bisa menjelaskan sisi dimensi ekonomi adalah ekspoloitasi
sumber daya alam (SDA)
Papua yang tidak di rasakan oleh warga setempat. Semua
orang tahu bahwa propinsi Papua
adalah propinsi yang kaya di Indonesia. Akan tetapi fakta menunjukan standar hidup
penduduk asli masih dibawah rata-rata daerah lain. Kebijakan pemerintah pusat
telah menghasilkan adanya kesenjangan kesejahteraan ekonomi yang besar di antara penduduk Papua tidak puas
dengan strategi pembangunan nasional yang disiapkan pemerintah pusat yang telah
nyata bahwa ketidak sejajaran kesejahteraan
Tidak ada respon yang memadai atas ketidakpuasan
itu juga
yang kemudian membawa masalah ke wilayah politik. Kekecewaan atas praktik
marjinalisasi yang di lakukan pemerintah pusat akhirnya membuat beberapa kelompok elit memperjuangkan kemerdekaan.meski pemerintah sudah menerapkan Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahuin
2001, beberapa elemen di Papua sudah tetap menyuarahkan pemisahan diri dari Indonesia . selain melakukan
konsolidasi di tingkat akar rumput, mereka juga menggalang dukungan
Internasional dengan melakukan kampanye dalam sejumlah forum Internasional.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sementara tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi
sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama: Pertama, sejarah integrasi
dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan
pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan
papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan
kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan
di terimanya hasil penentuan
tersebut oleh majelis umum sidang PBB.
Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di
lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan
warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan
pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan
NKRI adalah harga mati dan gagasan
memisahkan diri merupakan tindakan
melawan hukum yang di kemudian di
identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan
menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan.
Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya
akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara
seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai
sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan
pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi
akar konflik di Papua di karenahkan
adanya ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di
bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan
eksploitasi besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua.
Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan
di erah sebelum dari pada setelah pelaksanaan
otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang
tinggi antara penduduk asli dan
pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua
dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di singgung Amich
Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim lipi
menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik,
sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan
separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru,
orang Papua tercatat beberapa kali
menduduki jabatan gubernur.
Sedangkan inkonsistensi kebijakan otonomi dapat di lihat beberapa contoh
kasus, seperti adanya pemekaran provinsi Papua menjadi tiga bagian yakni Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, seiring
dengan keluarnya Inpres No 1 tahun 2003
tentang percepatan pelaksanaan undang-undang no 45 tahun 1999 tentang pembentukan
propinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, kabupaten Paniai, kabupaten
Mimika, kabupaten Puncak Jaya, dan kota Sorong,yang berisi inplementasi UU no
45 tahun 1999 tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Barat, Irian
Jaya Tengah, kabupaten Puncak Jaya, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, dan
kota Sorong, pada hal secara hukum. Pemekaran ini mengabaikan UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi ksusus
bagi provinsi Papua yang jelas mengamanatkan pemekaran provinsi Papua di
lakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Dengan
memperhatikan kesatuan sosial budaya. Apa yang di lakukan pemerintahan presiden
Megawati juga di artikan sebagai bentuk pengingkaran atas upaya yang pernah di
lakukan. Pemerintahan B.J. Habibie dalam mencari solusi damai mnegakhiri
konflik papua.
Sedari awal, kebijakan otsus dapat
di ambil sebagai salah satu cara untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat
Papua, termasuk perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan keuntungan secara
ekonomi. Meski disisi lain pemerintah
pusat tetap menjaga pengaruh terhadap pemerintah propinsi dan tidak
membuka peluang untuk pengakuan terhadap
hak tanah bagi warga Papua. Otto Ondowame juga mencatat pemerintah pusat juga
memiliki hak untuk mengontrol ketak perda khusus, perdasi dan keputusan Gubernur.
Dan pada akhirnya, otsus tidak mencerminkan kebutuhan semua warga Papua.
Secara umum otsus memang, mengakomodasi sejumlah tuntutan warga papua termasuk
otonomi luas, fiskal dan pembentukan MRP. Ada beberapa imlikasi yang berkaitan
dengan di terapkannya otsus, seperti yang di jelaskan Rodd,Mc.Gibbon yaitu, Pertama, luasnya RUU otsus papua,
menunjukan adanya kampanye advokasi yang terencana secara baik oleh kepentingan
Papua yang telah membawa perubahan di
tibgkatan DPR. Tim penyusun RUU otsus Papua
mampu menutupi kekurangan analisis dari riset DPR melalui advokasi dan penguatan kemampuan
untuk menangkal upaya pekemahan produk legislasi.
Kedua, di sahkannya otsus
menunjukkan jakarta telah mengadopsi strategi yang berbeda dalam mengalami
masalah Papua. Penerapan otsus mau tidak mau secara eksplisit menandai adanya
pengakuan tersebut juga di lakukan dalam
bentuk pendirian institusi berbasis etnisitas, yakni MRP; dan ketiga apa yang
di lakukan ini juga mengndikasikan bahwa pemerintah telah menunjukan itikat
untuk mengakomodasi kebutuhan Papua.
Akan tetapi dari Universitas Toronto, Jacques Bertrand, mencatat tidak ada
jaminan pelaksannaan otsus bebas dari kemungkinan perubahan. Beberapa kelemahan
otsus antara lain (1) banyaknya celah ambiguitas yang tedapat dalan UU No 21
tahun 2001, semisal tidak ada spesifikasi, peran yang jelas antara DPR
papua dengan MRP;(2) dualisme posisi Gubernur-
perpanjangan tangan pemerintah pusat dan pemimpin Papua pada level tertentu
dapat menyulitkan Gubernur untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Papua;
(3) tidak adanya ‘ desentralisasi’
kewenangan pengelolaan keamanan;
(4) UU otsus tetap akan mengacu pada UUD
1945 sehingga pelaksanaannya tidak dapat
melanggar UU lain ataupun merusak keutuhan NKRI; (5) DPR tetap berpeluang untuk
merevisi UU otsus karena lembaga tersebut mewakili wewenang legislasi.
Skretariat Keadilan dan perdamaian jayapura
Tinjauan sedikit berbeda mengenai
sumber konflik Papua di uraikan tim sekretariat kedilan dan perdamaian
(SKP) keuskupan Jayapura. Setidaknya ada
empat sumber konflik yang di temukan yaitu: pertama,
suasanna peradilan (Budaya). Tim SKP melihat perubahan dengan cepat di Papua seiring bergulirnya waktu yang membawa kompleksitas
tersendiri ternyata tidak bisa di
imbangi denngan nilai-nilai adat istiadat yang selama ini menjadi pegangan
warga Papua. Ketidakadilan pegangan inilah yang membuka celah konflik menjadi
besar., kedua, suasana kependudukan (
kemajemukan) tingginya arus transmigrasi ke Papua yang pada awalnya di dorong
pemerintah pusat- telahmenimbulkan kecemasan etrsendiri bagi penduduk asli. Warga pendatang yang memiliki
perbedaan budaya,gaya hidup, gaya religiusitas,kedudukan,kekuasaan dan
lain-lainn kemudian dilihat sebagai
sebuah kemajemukan yang harus di terimah melainkan lahan konflik penduduk asli
sering merasa di perlakukan diskriminatif dan di anggap tradisional sehingga
fenomena multikultur yang sejatinya tidak menonjolkan perbedaan justru malah
memperuncing keadaan.
Lebih lanjut, sumber konflik yang ke tiga
adalah suasana ekonomi,(
kesejahtraan), gesekan antara warga pendatang dan penduduk asli apua ternyata
juga di ikuti dengan kecemburuan dari sektor ekonomi. Warga pendatang sering
kali memiliki posisi yang lebih baik pada wilayah ekonomi dari pada penduduk
asli kenyataan ini tidak hanya antara
pendatang dengan penduduk asli bahkan
terjadi pula antar suku, kelompok
ataupun keluarga, yang ada di Papua.kondisi ini di perpara dengan masih
kentalnya, budaya proyek praktik perebutan kekuasaan lingkungan di papua.
Khusus konflik komunal maupun pendatang pedudukk asli,pemandangan ini
bukanlah hal yang baru terjadi di bumuh cenderawasih ini. Sebagai sebuah daerah
yang di huni kurang lebih dari 250 suku, konflik antar penduduk asli menjadi
sesuatu yang wajar. Konflik jenis ini sering kali berhubungan dengan adat
kebiasaan yang berbeda dan di akhiri dengan perang antar suku/ meskipun
demikian, mekanisme resolusi konflik secara adat telah melembaga dalam kehidupan
masyarakat papua.
Sumber konflik Papua yang ke empat adalah suasana sosial politik ( hak-hak
dasar). Tidak bisa di pungkiri lagi, suasana sosilal politik di papua sering
kali di nilai rawan. Intimidasi,kekerasan fisik dan nonfisik misalnya sudah mnejadi
pemandangan sehari hari di tanah papua. Kondisi ini di perparah dengan
masih belum jelasnya sejarah masyarakat
papua terutama misalnya, yang menyangkut penghargaan dan pengakuan jati diri serta hak dasar untuk menentukan nasip sendiri telah menjadikan masyarakat
memiliki mimpi untuk menghirup kebebasan. Dan inilah yang memicu ketegangan dan
konflik’.
Institute for Recearch anda Empowerment
Untuk konflik antara pendatang untuk penduduk asli penelitian
Institute for Recearch and Empowerment
(IRE) yogyakarta menyebutkan gesekan ini lebih di kategorikan sebagai
kebudayaan ekonomi yang memiliki perbedaan mendasar. Di satu sisi penduduk asli
masih pada tahapan masyarakat sederhana
yang berorientasi dengan mengadaptasi alam. Di sisi lain, pendatang yang
kemudian lebih banyak mendominasi perekonomianberada pada tahapan masyarakat
budidaya dan menguasai dunia perdagangan.
Menurut IRE terjadinya dua jenis konflik di atas di sebabkan atas tiga hal
yakni: (1) pelanggaran hak kepemilikan tanah yang di lakukan pemerintah pusat
dan daerah demi membela kepentingan bisnis dari pada mensejahterakan rakyat Papua.
(2) adanya konflik antara pemda dan perusahaan akibat tidak terserapnya pekerja
yang berasal dari penduduk asli dan (3) perusahaan cenderung membuat enclave
yang bergelimang kemewahan di tengah komunitas suku-suku asli papua.
sumber: kumpulan dari semua media:Buku, Televisi, Koran,dll