Tampilkan postingan dengan label suara yomanak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suara yomanak. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

STATUS QUO PROVINSI PAPUA & PAPUA BARAT DALAM NKRI

John Anari, ST, Amd. T

indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan wilayah papua barat miliknya.

Papua merupakan wilayah tak berpemerintahan sendiri (non self governing territory) sejak dibentuknya pbb pada oktober 1945. Papua didaftarkan pada dewan kepercayaan (trust territory) sebagai non self governing territory) pada desember 1945 di pbb. Oleh sebab itu, penjajah2 di wilayah pasifik seperti belanda, amerika, inggris dan perancis wajib mempersiapkan wilayah2 pasifik yang tidak bertuan (non self governing territory) untuk merdeka. Akhirnya penjajah2 ini mencetus perjanjian canberra pada tanggal 6 februari 1947 di australia untuk membentuk south pacific commission (spc) yang kini dikenal dengan nama pacific island forum (pif). Dalam pasal 2 perjanjian canberra secara jelas menyatakan bahwa batas spc di bagian barat meliputi netherlands new guinea (west papua).

namun akibat perang dingin, maka amerika membantu indonesia merebut administrasi papua dari tangan belanda secara paksa melalui perundingan2 rahasia yang tidak melibatkan orang asli papua barat.

Proses control administrasi secara paksa ini menyebabkan indonesia memberikan otsus pertama tahun 1963 kemudian dicabut lalu diganti dengan repelita (rencana pembangunan lima tahun). Setelah pelaksanaan jajak pendapat (pepera tahun 1969), repelita dicabut lalu diganti otsus melalui uu ri no. 12 tahun 1969. Uu ini tidak pernah dicabut, tetapi dimunculkan yang baru menindis uu no. 12 tahun 1969 yaitu uu otsus no. 21 tahun 2001.
Otsus ini kemudian dicabut lagi melalui uu otsus no.35 tahun 2008 dan hasilnya pun nihil kemudian diganti lagi melalui up4b (unit percepatan pembangunan papua dan papua barat). Up4b pun kini sudah siap dicabut dan diganti lagi melalui otsus plus tahun 2013.

Dari hasil di atas jelas terlihat status quo wilayah papua barat dalam nkri karena provinsi ini tidak disahkan melalui undang2 ri seperti provinsi lain di indonesia tetapi hanya disahkan menjadi provinsi 26 dan 33 melalui penpres no.1 tahun 1963 dan inpres no.1 tahun 2003.

Oleh sebab itu, pencurian, pembunuhan, genosida, manipulasi, korupsi, diskriminasi, marginalisasi, etnosida, dll.
Merupakan hal yang wajar dan bisa karena jelas papua barat bukan bagian dari nkri.

Senin, 13 Mei 2013

KRONOLOGI PENANGKAPAN dan PENAHANAN

Saat melakukan Olah TKP, Polisi Resort Aimas, Brimob dan Satuan TNI (Tim Gabungan) juga melakukan penangkapan terhadap Masyarakat sipil (yang diduga anggota OPM) mereka yang ditangkap pada saat Olah TKP pada jam 18.00 WIT, antara lain adalah :

1. BPK. YORDAN. MAGABLO
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Makbon, 16 November 1971
Alamat : Km. 12 Kota Sorong dan Batu Lubang Distrik Makbon Kab. Sorong
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
Suku : Moi
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan , baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Kap/21/V/2013/Reskrim) terhadap :Saudara Yordan Magablo

2. BPK. HENGKI. MANGAMIS
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Sangger, 21 Juli 1974
Alamat :Jl. Klalin Km. 20 Belakang Kantor Distrik Aimas Kab. Sorong
Pekerjaan :Petani
Agama : K. Protestan
Suku : Sangger Talaud
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan terhadap saudara Yordan Magablo di Polres AIMAS Kabupaten Sorong, baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Kap/22/V/2013/Reskrim) terhadap : Hengki Mangamis

3. BPK. OBAJA. KAMESRAR
Umur :
TTL : Teminabuan, 26 Oktober 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kampung Makbusun Distrik Mayamuk SP III Kabupaten Sorong
Pekerjaan : Petani
Agama :K. Protestan
Suku : Tehit Teminabuan Sorong Selatan
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan terhadap saudara Yordan Magablo di Polres AIMAS Kabupaten Sorong, baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Han/24/V/2013/Reskrim) terhadap : Obaja Kamesrar

4. BPK. OBETH. KAMESRAR
Umur :
TTL : Teminabuan, 15 Oktober 1948
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat :Kampung Makbusun Distrik Mayamuk SP III Kab. Sorong
Pekerjaan : Petani
Agama : K. Protestan
Suku : Tehit Teminabuan Sorong Selatan
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan terhadap saudara Yordan Magablo di Polres AIMAS Kabupaten Sorong, baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Kap/23/V/2013/Reskrim) terhadap : Bapak Obeth Kamesrar

5. BPK. KLEMENS. KUDIMDO
Umur :
TTL : Merauke, 26 November 1942
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Km. 10 Masuk Kota Sorong
Pekerjaan : Petani
Suku : Merauke,
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan terhadap saudara Yordan Magablo di Polres AIMAS Kabupaten Sorong, baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Han/21/V/2013/Reskrim) terhadap : Bapak Klemens Kudimdo

6. Antonius Saruf
Umur :
TTL : Merauke, 10 Oktober 1951
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat :Km. 10 Masuk Kota Sorong
Pekerjaan : Tani
Agama : Katholik
Suku : Merauke
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Setelah Penangkapan dan penahanan terhadap saudara Yordan Magablo di Polres AIMAS Kabupaten Sorong, baru Pihak RESKRIM POLRES Kabupaten Sorong Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (Nomor :SP.Han/24/V/2013/Reskrim) terhadap :Saudara Antonius Saruf

7. IBU.NINGSI (Istri dari Bapak Yordan Magablo (lihat No. 1 diatas))
Umur :
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat :Km. 12 Kota Sorong
Pekerjaan : rumah tangga
Agama :
Suku : Jawa
Tempat Penangkapan : Lokasi Penembakan Jl. Silas RT 03/RW 02 Kelurahan Aimas Distrik 
Aimas Kabupaten Sorong
Keterangan : Kemudian dibebaskan

Bentuk Ancaman saat di tangkap di lokasi kejadian :
Mereka yang ditangkap mengalami pemukulan, intimidasi serta meminta kepada mereka untuk segera meminta pimpinan mereka untuk serahkan diri baru mereka bisa di bebaskan.

Sebelum penangkapan, bapak Isak Kalaibin bersama keluarga, sudah mengasingkan diri ke KM. 18. Sehingga polisi tidak berhasil menangkapnya.

Dasar Penahanan menurut surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan oleh Polres Kab. Sorong
1. Pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 24 ayat (1) , dan pasal 29 KUHP
2. UU RI No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3. Laporan Polisi Nomor : LP/61/V/2013 SPK II tanggal 02 Mei 2013
Untuk melakukan penahanan terhadap para tersangka (yang telah disebutkan diatas / 6 orang) Dan membawa ke Kantor Polisi di Aimas karena di duga keras telah melakukan Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Negara (Makar), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 160, Pasal 164 KUHP yang terjadi di Jl. Klalin Distrik Aimas Kabupaten Sorong
Menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara Sorong Polres Sorong untuk selama 20 (dua puluh) hari mulai tanggal 05 Mei 2013 s/d 24 Mei 2013
Surat Perintah Penahanan dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Resor Sorong (selaku penyidik) dikeluarkan di Sorong, tanggal 05 Mei 2013
E. Zulpan , Sik.M.Si 
(Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 72070702)

Minggu, 12 Mei 2013

Akar konflik papua


Kilion Wenda
Sejarah integrasi tidak jelas, Pelanggaran HAM, kegagalan Pembangunan Marginalisasi Orang papua,
Jika dilihat dari sejarah, konflik di tanah papua sudah bisa di rasakan sejak awal kemerdekaan indonesia. Kekisruan makin terlihat ketika daerah ini tergabung kepada Indonesia setelah adanya penandatangan kesepakan politik antara RI-Belanda yang difasilitasi PBB pada 19962
Awalnya  saat bergabung, provinsi yang memiliki luas 427,981 km persegi dan terletak di koordinat 130 derajat- 141 derajat lintang timur, dan 2,25 derajat utara-9 derajat selatan ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan berubah menjadi Irian Jaya ( 1973-2001) nama “Iryan” di perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september 1945, yang dalam bahasa Biak Numfor berarti sinar matahari atau tanaha yang panas ( the hot land) barulah oleh presiden Abdul rahman Wahid pada 1 januari 2000, nama provinsi Papua kemudian di legalkan melalui UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi papua, dan sejak 10 november 2004 dengan keputusan mahkama konstitusi No 018/PUU-I/2003 area ini terdiri dari dua Provinsi: Provinsi Papua Barat dan papua yang terdiri dari 29  daerah pemerintahan dan dua kota praja.
Kesehatan masyarakat di daerah cukup sangat memprihatinkan. Penyakit-penyakit seperti malaria, infeksi pernapasan, dan disentri adalah penyebab utama dari kematian anak, dengan tingkat kematian anak yang  berkisar sampai 70 sampai 200 per 1,000 jiwa. Lebih dari 50% anak yang di bawah umur 5 tahun bergizi buruk, dan tingkat imunisasi pun rendah. Penyebaran  HIV/AIDS berkisar 40 kali lebih buruk dari rata-rata nasional penyebaran penyakit kematian ini di perparah dengan aktifitas seksual bebas yang meingkat, tingkat buta hrurf yag  tinggi, dan pencegahan dan penahan yang  minim untuk penyakit ini.
Semenjak terintegrasi dengan Indonesia, pergolakan di Papua tidak juga surut, hal ini di sebabkan  dari ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis penyatuan kawasan tersebut dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata bermunculan dan menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.
Secara sederhana, terminologi konflik dapat di definisikan sebaga relasi yang  menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang dimiliki atau yang di  rasa dimiliki oleh dua pihak atau lebih. Sedangkan kekerasan di artikan sebagai kegiatan yang mmencakup tindakan, sikap, berbagai struktur atau  sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensi penuh. Konflik atau perang internal di bagi  dalam dua jenis pertama, perang atau konflik yang terjadi antara pemerintah dengan gerakan separatis yang ingin memerdekakan diri ( konflik fertikal); kedua, konflik terjadi antar kelompok di dalam negara atau lebih di kenal sebagai perang sipil ( konflik horisontal)
Selanjutnya, Muscat mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. Konflik menurutnya ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup mencolok antar dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang  di sebabkan oleh politik, etnis  dan budaya adalah tidak adanya pembangunan dan  ekonomi  yang bisa menggeliminasi kemiskinan.
Sementara William J.Dixon mengategorikan konflik dalam dua hal pokok, pertama, konflik timbul dari pengakuan bersama atas kepentingan dan nilai-nilai dasar yang saling berbenturan; kedua, konflik merupakan gambaran yang sangat jelas dari hubungan sosial. Konflik yang berlangsung terus menerus dalam suatu negara bisa di sebabkan dengan adanya krisis dalam pemerintahan terasuk tidak adanya tujuan perdamaian dalam resolusi konflik, kebijakan yang lumpuh( polici paralysis) dan krisis kemanusiaan yang hebat.
Khusus untuk konflik internal, Michael E Brown menjelaskan ada dua pendorong yang menjadi penyebab terjadinya sengketa, yakni dari internal ( internally driven) dan eksternal ( externally-driven). Sementara faktor pemicu konflik saling berkaitan satu sama lain.Brown berargumen hampir semua konflik internal di pucu oleh problem internal dan di lakukan oleh aktor yang berada pada tingkatan elit. Pemimpin yang buruk telah menjadi katalis perubahan yang telah menjadi perang terbuka. Sementara, masalah pada tawaran mas-level seperti pada dampaknya pembangunan ekonomi, modernisasi atau diskriminasi politik dan ekonomi lebih pada penciptaan kondisi yang tersirat (underlyng condition) yang kemudian membuka peluang terjadinya konflik.


Table penyebab yang  dekat dari oknflik internal
(the proximate cause of internal conflict)

Pendorong dari internal
Internality driven)
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
Elite-level
Pemimpin yang buruk (bat leaders)
Negara tetangga yang buruk
( bat neighbors)

Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
Lingkungan sekitar yang buruk
(but neighborhoods)


 Jika melihat literatur ada banyak riset yang mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007) misalnya  mengkategirikan konflik papua dalam empat level; pertama adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua dengan indonesia, perbedaan ras,ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk dimusnahkan, ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua  dan begitu pula sebaliknya; kedua adalah issue level  yakni inkonsistensi kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi . ketiga adalah damand level, yakni integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi khusus.
Konflik papua secara sederhana menururt amich Alhumani dapat di lihat dari dua sisi, yakni sisi Ekonomi dan politik. Faktor utama yang bisa menjelaskan  sisi dimensi ekonomi adalah ekspoloitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang  tidak di rasakan oleh warga setempat. Semua orang tahu bahwa propinsi Papua adalah propinsi yang kaya di Indonesia. Akan tetapi fakta menunjukan standar hidup penduduk asli masih dibawah rata-rata daerah lain. Kebijakan pemerintah pusat telah menghasilkan adanya kesenjangan kesejahteraan ekonomi  yang besar di antara penduduk Papua tidak puas dengan strategi pembangunan nasional yang disiapkan pemerintah pusat yang telah nyata bahwa ketidak sejajaran kesejahteraan
 Tidak ada respon yang memadai atas ketidakpuasan itu juga yang kemudian membawa masalah ke wilayah politik. Kekecewaan atas praktik marjinalisasi yang di lakukan pemerintah pusat akhirnya membuat  beberapa kelompok elit memperjuangkan  kemerdekaan.meski pemerintah sudah menerapkan Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahuin 2001, beberapa elemen di Papua sudah tetap menyuarahkan pemisahan  diri dari Indonesia . selain melakukan konsolidasi di tingkat akar rumput, mereka juga menggalang dukungan Internasional dengan melakukan kampanye dalam sejumlah forum Internasional.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sementara tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama: Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil penentuan tersebut  oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969  itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul  sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati dan gagasan memisahkan diri  merupakan tindakan melawan  hukum yang di kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua  di karenahkan adanya ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa hal yang menjadikan  pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum  dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli  dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang  Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur.
Sedangkan inkonsistensi kebijakan otonomi dapat di lihat beberapa contoh kasus, seperti adanya pemekaran provinsi Papua menjadi tiga bagian yakni  Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, seiring dengan keluarnya  Inpres No 1 tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan undang-undang no 45 tahun 1999 tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, kabupaten Puncak Jaya, dan kota Sorong,yang berisi inplementasi UU no 45 tahun 1999  tentang  pembentukan propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, kabupaten Puncak Jaya, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, dan kota Sorong, pada hal secara hukum. Pemekaran ini mengabaikan  UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi ksusus bagi provinsi Papua yang jelas mengamanatkan pemekaran provinsi Papua di lakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya. Apa yang di lakukan pemerintahan presiden Megawati juga di artikan sebagai bentuk pengingkaran atas upaya yang pernah di lakukan. Pemerintahan B.J. Habibie dalam mencari solusi damai mnegakhiri konflik papua.
 Sedari awal, kebijakan otsus dapat di ambil sebagai salah satu cara untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua, termasuk perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan keuntungan secara ekonomi.  Meski disisi lain pemerintah pusat tetap menjaga pengaruh terhadap pemerintah propinsi dan tidak membuka  peluang untuk pengakuan terhadap hak tanah bagi warga Papua. Otto Ondowame juga mencatat pemerintah pusat juga memiliki hak untuk mengontrol ketak  perda khusus, perdasi dan keputusan Gubernur. Dan pada akhirnya, otsus tidak mencerminkan kebutuhan semua  warga Papua.
Secara umum otsus memang, mengakomodasi sejumlah tuntutan warga papua  termasuk  otonomi luas, fiskal dan pembentukan  MRP. Ada beberapa imlikasi yang berkaitan dengan di terapkannya otsus, seperti yang di jelaskan Rodd,Mc.Gibbon yaitu, Pertama, luasnya RUU otsus papua, menunjukan adanya kampanye advokasi yang terencana secara baik oleh kepentingan Papua yang telah membawa  perubahan di tibgkatan DPR.  Tim penyusun RUU otsus Papua mampu menutupi kekurangan analisis dari riset DPR  melalui advokasi dan penguatan kemampuan untuk menangkal upaya pekemahan produk legislasi.
Kedua,  di sahkannya otsus menunjukkan jakarta telah mengadopsi strategi yang berbeda dalam mengalami masalah Papua. Penerapan otsus mau tidak mau secara eksplisit menandai adanya pengakuan tersebut juga  di lakukan dalam bentuk pendirian institusi berbasis etnisitas, yakni MRP; dan ketiga apa yang di lakukan ini juga mengndikasikan bahwa pemerintah telah menunjukan itikat untuk mengakomodasi kebutuhan Papua.
Akan tetapi dari Universitas Toronto, Jacques Bertrand, mencatat tidak ada jaminan pelaksannaan otsus bebas dari kemungkinan perubahan. Beberapa kelemahan otsus antara lain (1) banyaknya celah ambiguitas yang tedapat dalan UU No 21 tahun 2001, semisal tidak ada spesifikasi, peran yang jelas antara DPR papua  dengan MRP;(2) dualisme posisi Gubernur- perpanjangan tangan pemerintah pusat dan pemimpin Papua pada level tertentu dapat menyulitkan Gubernur untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Papua; (3) tidak adanya ‘ desentralisasi’  kewenangan  pengelolaan keamanan; (4) UU otsus tetap akan mengacu  pada UUD 1945 sehingga pelaksanaannya  tidak dapat melanggar UU lain ataupun merusak keutuhan NKRI; (5) DPR tetap berpeluang untuk merevisi UU otsus karena lembaga tersebut mewakili wewenang legislasi.
Skretariat Keadilan dan perdamaian jayapura
 Tinjauan sedikit berbeda mengenai sumber konflik Papua di uraikan tim sekretariat kedilan dan perdamaian (SKP)  keuskupan Jayapura. Setidaknya ada empat sumber konflik yang di temukan yaitu: pertama, suasanna peradilan (Budaya). Tim SKP melihat perubahan  dengan cepat di Papua seiring  bergulirnya waktu yang membawa kompleksitas tersendiri ternyata tidak bisa  di imbangi denngan nilai-nilai adat istiadat yang selama ini menjadi pegangan warga Papua. Ketidakadilan pegangan inilah yang membuka celah konflik menjadi besar., kedua, suasana kependudukan ( kemajemukan) tingginya arus transmigrasi ke Papua yang pada awalnya di dorong pemerintah pusat- telahmenimbulkan kecemasan etrsendiri bagi  penduduk asli. Warga pendatang yang memiliki perbedaan budaya,gaya hidup, gaya religiusitas,kedudukan,kekuasaan dan lain-lainn kemudian dilihat  sebagai sebuah kemajemukan yang harus di terimah melainkan lahan konflik penduduk asli sering merasa di perlakukan diskriminatif dan di anggap tradisional sehingga fenomena multikultur yang sejatinya tidak menonjolkan perbedaan justru malah memperuncing keadaan.
Lebih lanjut, sumber konflik yang ke tiga  adalah suasana ekonomi,( kesejahtraan), gesekan antara warga pendatang dan penduduk asli apua ternyata juga di ikuti dengan kecemburuan dari sektor ekonomi. Warga pendatang sering kali memiliki posisi yang lebih baik pada wilayah ekonomi dari pada penduduk asli  kenyataan ini tidak hanya antara pendatang dengan  penduduk asli bahkan terjadi pula antar  suku, kelompok ataupun keluarga, yang ada di Papua.kondisi ini di perpara dengan masih kentalnya, budaya proyek praktik perebutan kekuasaan lingkungan di papua.
Khusus konflik komunal maupun pendatang pedudukk asli,pemandangan ini bukanlah hal yang baru terjadi di bumuh cenderawasih ini. Sebagai sebuah daerah yang di huni kurang lebih dari 250 suku, konflik antar penduduk asli menjadi sesuatu yang wajar. Konflik jenis ini sering kali berhubungan dengan adat kebiasaan yang berbeda dan di akhiri dengan perang antar suku/ meskipun demikian, mekanisme resolusi konflik secara adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat papua.
Sumber konflik Papua yang ke empat  adalah suasana sosial politik ( hak-hak dasar). Tidak bisa di pungkiri lagi, suasana sosilal politik di papua sering kali di nilai rawan. Intimidasi,kekerasan fisik dan nonfisik misalnya sudah mnejadi pemandangan sehari hari di tanah papua. Kondisi ini di perparah dengan masih  belum jelasnya sejarah masyarakat papua terutama misalnya, yang menyangkut penghargaan dan pengakuan jati diri  serta hak dasar untuk menentukan  nasip sendiri telah menjadikan masyarakat memiliki mimpi untuk menghirup kebebasan. Dan inilah yang memicu ketegangan dan konflik’.
Institute for Recearch anda Empowerment
Untuk konflik antara pendatang untuk penduduk asli penelitian Institute  for Recearch and Empowerment (IRE) yogyakarta menyebutkan gesekan ini lebih di kategorikan sebagai kebudayaan ekonomi yang memiliki perbedaan mendasar. Di satu sisi penduduk asli masih pada tahapan masyarakat  sederhana yang berorientasi dengan mengadaptasi alam. Di sisi lain, pendatang yang kemudian lebih banyak mendominasi perekonomianberada pada tahapan masyarakat budidaya dan menguasai dunia perdagangan.
Menurut IRE terjadinya dua jenis konflik di atas di sebabkan atas tiga hal yakni: (1) pelanggaran hak kepemilikan tanah yang di lakukan pemerintah pusat dan daerah demi membela kepentingan bisnis dari pada mensejahterakan rakyat Papua. (2) adanya konflik antara pemda dan perusahaan akibat tidak terserapnya pekerja yang berasal dari penduduk asli dan (3) perusahaan cenderung membuat enclave yang bergelimang kemewahan di tengah komunitas suku-suku asli papua.

sumber: kumpulan dari semua media:Buku, Televisi, Koran,dll

KANTOR OPM DI OXFORD DAN REAKSI PEMERINTAH INDONESIA

Oleh: Socratez Sofyan Yoman
Socratez Sofyan Yoman
Kita semua ikuti reaksi pemerintah dari berbagai media massa di Indonesia yang  berhubungan dengan pembukaan kantor OPM pada  28 April 2013 di Oxford. Pembukaan ini dihadiri  anggota Parlemen Inggris sebagai Koordinator Parlemen Internasional untuk Kemerdekaan Papua Barat (IPWP) Andrew Smith, Wali Kota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, mantan Wali Kota Oxford Elise Benjamin,  dan Jeniffer Robinson, Charles Foster dari  pembela dan penasihat hukum Internasional untuk Papua Barat Merdeka dan seorang pemain Rugby Nasional Papua New Guinea Paul Aiton.
Reaksi Pemerintah Indonesia
Reaksi Pemerintah Indonesia pada waktu Pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP)pada 15 Oktober 2008, di kantor Parlemen Inggris di London   dan  pembukaan kantor OPM di Oxford  28 April 2013 sangat berbeda. Reaksi pemerintah menyikapi peristiwa pembentukan IPWP lima tahun yang lalu seperti yang pernah disampaikan menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wiradjuda : “ kegiatan di London itu hanya kongkow-kongkow saja karena dihadiri oleh tiga orang anggota Parlemen Inggris dari semua yang diundang”. Peristiwa pembentukan IPWP itu dianggap remeh dan tidak ada dampak politik secara luas.
Sebalilknya, pembukaan Kantor OPM di Oxford tahun ini, pemerintah Indonesia memberikan reaksi keras kepada Pemerintah Inggris Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa  memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning untuk diminta penjelasan dan pertanggungjawaban.  Mark Canning menyampaikan posisi Pemerintah Inggris adalah tetap mendukung keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Papua.
Dinilai  dari bobot reaksi Pemerintah Indonesia seperti ini sangat memalukan kita semua.  Pemerintah Indonesia menjadi negara  paranoid. Pemerintah Indonesia diselimuti dengan rasa ketakutan yang sangat luar biasa dan berlebihan. Kalau pemerintah Indonesia paranoid-nya sudah berlebihan, patut dipertanyakan Apa yang dilakukan dan disembunyikan pemerintah  Indonesia terhadap rakyat Papua selama 50 tahun? Mengapa pemerintah tidak mengijinkan wartawan asing masuk Papua?
Pemerintah Indonesia harus menyadari dan mengakui kejahatan yang dilakukan dan kegagalan selama  50 tahun di Papua.  Sangat memalukan, pemerintah Indonesia  menyerang pemerintah Inggris dan Negara-negara lain yang simpati dan mendukung rakyat Papua untuk  penegakkan hak asasi manusia dan demokrasi sebagai pilar dan nilai universal.  Pembukaan kantor OPM di Oxford adalah hak politik rakyat dan bangsa Papua yang diperjuangkan selama 50 tahun. 
Respons  Rakyat Papua
Sementara reaksi rakyat Papua terhadap pembukaan kantor OPM di Oxford adalah disambut dengan penuh sukacita di seluruh Tanah Papua. Rakyat Papua melihat dan menilai bahwa pembukaan kantor OPM di Oxford merupakan cahaya kecil kemenangan dan harapan  yang diraih oleh rakyat Papua yang sudah diperjuangkan dan dinantikan selama 50 tahun dengan cucuran darah dan tetesan air mata. 
Menurut  rakyat Papua, walupun Pemerintah Inggris  dan Negara-negara lain di dunia internasional tidak mendukung perjuangan Papua Merdeka dan mereka tetap mendukung Indonesia, rakyat Papua sudah sadar, bahwa yang berjuang untuk bebas dan berdaulat penuh di atas tanah leluhurnya adalah rakyat Papua  bukan pemerintah Inggris dan negara-negara asing. Walaupun, rakyat Papua sangat membutuhkan dukungan Negara asing.  
Dalam semangat ini, rakyat Papua sudah merasa mendapat beberapa   keuntungan  dari pembukaan kantor OPM di Oxford adalah (1) persoalan Papua sudah menjadi masalah nasional dan  internasional. Sudah tidak lagi rahasia umum.  (2) Reaksi keras dan berlebihan Pemerintah Indonesia dapat memperkuat dan membuka mata komunitas internasional tentang masalah Papua yang selama ini ditutup-tutupi. (3) Sekarang Rakyat Papua sudah menyadari bahwa dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat demi masa depan mereka dan anak cucu  yang lebih baik dan damai tidak sendirian.  (4) Diplomasi pemerintah Indonesia yang berbasis pada  kebohongan-kebohongan selama ini  tidak berhasil meyakinkan komunitas internasional.  (5) Rakyat Papua yakin bahwa dunia sekarang semakin mengglobal dan masalah Papua yang disembunyikan selama ini sudah tidak lagi menjadi rahasia.  (6) Rakyat Papua semakin mendapat kepercayaan bahwa perjuangan melawan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia harus dilawan dengan cara-cara elegan bermartabat dan manusiawi, yaitu: lobby dan diplomasi di tingkat nasional dan internasional dengan menyampaikan bukti-bukti kejahatan dan kegagalan pemerintah Republik Indonesia atas Papua selama 50 tahun.
Reaksi PBB
Menanggapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia atas Papua,  Komisioner HAM PBB Ibu Navi Pillay   di Genewa pada 2 Mei 2013 menyampaikan kekecewaannya atas kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil Papua.  Pillay menyatakan ada banyak tanahan politik di Papua, tidak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul rakyat Papua.  “Setelah kunjungan resmi saya ke Indonesia bulan November tahun lalu, saya  kecewa atas kekerasan dan penyelahgunaan kekuasaan terus berlangsung di Papua.  Tidak ada pertanggungjawaban  terbuka terhadap kekerasan yang terjadi di Papua. Saya mendesak Indonesia untuk mengijinkan wartawan asing  masuk Papua dan difasilitasi pelapor Khusus Dewan HAM PBB”. (Sumber: Jakarta Globe, Saturday May 4, 2013, hal.8) 
Pembukaan kantor OPM di Oxport tidak terlepas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Dalam penegakkan HAM dan demokrasi, pemerintah di Indonesia mendapat raport merah dan  rekor terburuk dalam laporan PBB.  Penilain ini terbukti dengan tekanan dari Negara-negara anggota PBB( Amerika Serikat, Inggris, Swiss, Kanada, Norwegia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Jerman, Meksiko, Selandia Baru, Australia, Spanyol  dan Italia) dalam Sidang HAM PBB (UPR)  23 Mei 2012 di Genewa, Swiss.
Rekomendasi dari Negara-negara anggota PBB  ini belum dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Indonesia meningkatkan kekerasan dan kejahatan Negara atas rakyat Papua belakangan ini.    Tekanan dari PBB dan masyarakat Internasional itu sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah Indonesia dengan sungguh-sungguh membangun Papua sejak Papua dianeksasi ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa politik melalui PEPERA 1969
Kita patut pertanyakan sekarang setelah 50 tahun Papua dalam Indonesia.  Apakah  orang Papua sudah dimajukan dan berkembang dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan? Apakah pemerintah menghormati dan melindungi martabat dan hak-hak asasi orang Papua?  Bagaimana rakyat Papua sangat miskin di atas tanah dan sumber daya alam yang kaya? Apakah tidak ada tahanan politik di Papua? Mengapa Filep Karma dan Forkorus dan kawan-kawan sebagai tanahan politik tidak dibebaskan? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas kejahatan dan pelanggaran HAM selama 50 tahun dan pembunuhan 3 orang di Sorong Papua tanggal 1 Mei 2013? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap 2.200 anak Kristen Papua  yang dibawa ke Jawa Barat dan dididik dalam Pesantren dan di-Islam-kan yang selidiki oleh wartawan Michael Bacheland dimuat dalam laporan majalah The Sydney Morning Herald? 
Sebenarnya, ada kesempatan baik bagi  pemerintah Indonesia untuk memperbaiki rekor terburuk,  pemerintah dan sebagian orang terdidik Papua merancang UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan  DPR RI,  Pemerintah  dan didukung negara-negara asing. Ternyata Otonomi Khusus yang menjadi jalan tengah penyelesaian masalah Papua yang berprospek damai dan bermartabat itu telah gagal dan menjadi malapetaka terhadap rakyat Papua.  Otsus telah gagal, Pemerintah Indonesia menggantikan UP4B tanpa diminta pendapat rakyat Papua. Tapi sayang, UP4B  itu juga telah gagal dilaksanakan. Sekarang Pemerintah Indonesia sudah menyatakan Otsus Plus. Apa yang terjadi ke depan kalau pemerintah Indonesia terus-menerus berbohong dengan rakyat Papua?  
Kenyataan ini membuktikan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua telah gagal melindungi dan mengindonesiakan penduduk orang asli Papua. Keprihatinan ini sudah  disampaikan oleh orang Papua dalam (a) 11 rekomendasi Musyawarah Majelis Rakyat Papua Dan Masyarakat Asli Papua pada 9-10 Juni 2010; (b) Komunike bersama pimpinan  Gereja pada 10 Januari 2011; (c) Deklarasi teologi para pemimpin Gereja 26 Januari 2011;  dan (d) pesan profetis Pimpinan Gereja Papua kepada Presiden RI, 16 Desember 2011 di Cikeas, Jakarta.
Solusi yang diusulkan
1.         Dialog  damai, jujur dan setara tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral antara wakil-wakil rakyat Papua yang sudah dipilih dan ditetapkan seperti:  Rex Rumakiek di Australia, Otto Ondowame di Vanuatu, Benny Wenda di Inggris, Leoni Tanggahma di Belanda dan Otto Mote di Amerika) dan wakil Pemerintah Indonesia. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga yang netral karena persoalan Papua adalah masalah yang berdimensi internasional karena ada keterlibatan langsung PBB, Amerika dan Belanda. 
2.         Rakyat dan bangsa Papua diberikan kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri  (Self-Determination) dengan komitmen-komitmen politik, keamanan, dan ekonomi antara Papua dan Indonesia. Usulan ini sepertinya dianggap ekstrim Namun demikian, menurut saya usulan ini sangat relevan sesuai realitas dan tuntutan rakyat Papua selama ini karena  Pemerintah Indonesia sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat Papua.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Senin, 22 April 2013

Peluncuran website: www.papuansbehindbars.org

Jayapura, Selasa 16 April 2013

Pada hari ini Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua bekerjasama dengan sejumlah LSM HAM di Jakarta dan Internasional secara resmi meluncurkan sebuah situs internet yakni: www.papuansbehindbars.org, atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘Orang Papua Dibalik Jeruji’, yang diperuntukan bagi advokasi hak-hak para tahanan politik yang mendekam di berbagai penjara di Papua. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua, hingga akhir Maret 2013 terdapat 40 orang tahanan politik yang ditahan di dalam berbagai penjara di Papua.
Website ini merupakan media untuk menyampaikan keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, mereka yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya.  Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan. Hal lain yang akan dimuat dalam website ini adalah update situasi di dalam penjara.
Penting untuk mengupayakan dihormatinya hak asasi para tahanan yang ditahan di berbagai tahanan polisi saat mereka menjalani penahanan, pemeriksaan atas dugaan pelanggaran makar, maupun mereka yang menjalani masa tahanan sebagai akibat dari putusan proses pengadilan kasus makar. Hal ini tak lain karena berbagai kisah pelanggaran HAM seperti penyiksaan, dan lain sebagainya, yang terjadi mulai dari masa penangkapan, pemeriksaan, hingga ketika mereka menjalani masa tahanan sebagai akibat putusan pengadilan atas kasus mereka.
Terlepas dari fakta bahwa pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and Political Rights)melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, termasuk pula  pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment)  melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, yang terjadi adalah seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, sejak disahkannya kedua Kovenan tersebut di atas, tetap menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang jelas bernuansa pidana. Status para tersangka maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara dalam kasus-kasus makar tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya. Maka tak heran sikap brutal aparat mulai saat penangkapan, penahanan bahkan dalam menjalani masa tahanan sebagai akibat putusan pengadilan, mereka mengalami berbagai macam tindak pelanggaran HAM yang sepatutnya tak boleh terjadi.
Dengan adanya website www.papuansbehindbars.org, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua akan bekerja sama dengan berbagai kelompok pemerhati HAM lainnya dalam memantau keberadaan para tahanan politik yang saat ini mendekam dalam tahanan, baik mereka yang sedang menjalanai proses pemeriksaan maupun mereka yang sedang menjalani masa hukuman di berbagai penjara di Papua demi penegakan hak-hak mereka yang selayaknya.
Dengan mempertimbangkan konsekwensi logis negara Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, serta Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, maka kami meminta pemerintah Indonesia untuk:
1.    Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua dan segera memulai upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
2.    Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan, pelayanan hukum, dan lain sebagainya
3.    Terutama kepada Menkopolkam, agar berkunjung ke Papua dan bertemu dengan para tahanan politik yang sedang mendekam di berbagai penjara di Papua untuk mendapatkan fakta atas kondisi para tahanan.

                                           *******************

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua :
Foker LSM, KontraS, ALDP, ElsHAM Papua, LBH Papua, KPKC Sinode GKI, TIKI, AJI Papua, Baptis Voices, Sinode Kingmi Papua, Sinode Baptis Papua, BUK, SKPKC FP, Sinode GIDI, Septer Manufandu, Gustaf Kawer, Cs, Yan Christian Warinussy

Jakarta : KontraS dan Nasional Papua Solidarity (Napas)
Internasional: Tapol, Asian Human Rights Commission, East Timor and Indonesia Action Network, West Papua Network, Faith-based Network on West Papua

Kordinator: Septer Manufandu (HP: 08124876321/email: septer_manufandu@yahoo.com).

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...