Jumat, 18 Mei 2012

Kebebasan beragama di Indonesia harus disikapi


JAKARTA - Lembaga independen pemantau hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW), mengatakan respon Indonesia dalam menjawab sorotan anggota-anggota Dewan HAM PBB seputar kebebasan berkeyakinan dan berpendapat masih normatif, tanpa menyentuh masalah di akar rumput.
Wakil Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengungkapkan meskipun Indonesia telah membuat langkah besar untuk mengonsolidasikan hak-hak sipil yang kuat dalam pemerintahannya, pemerintahannya masih enggan memastikan kepatuhan aparat keamanannya terhadap prinsip HAM internasional, dan menghukum mereka yang bertanggungjawab dalam kekerasan atas nama agama.


Lantaran itulah dia meminta negara-negara anggota Dewan HAM PBB untuk memberi dorongan lebih kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan konkret, pada Tinjauan Periodik Universal (UPR) di sidang empat tahunan-nya, 23 Mei nanti. "Berbagai negara harus mengajukan pertanyaan serius kepada Indonesia, mengapa selama empat tahun terakhir kekerasan dan diskriminasi minoritas agama meningkat, dan mengapa Indonesia terus mengkriminalisasi dan memenjarakan aktivis damai," kata Pearson, di Jakarta.

Konsultan HRW di Indonesia, Andreas Harsono mengatakan mekanisme UPR ini merupakan program dewan HAM PBB untuk memantau pelaksanaan perlindungan HAM di negara-negara anggota PBB. Masing-masing negara anggota yang siap akan mengungkap penilaiannya kepada negara yang disorot, Indonesia misalnya. Dari sidang ini, dewan akan menerbitkan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan.

Dalam laporan sidang terakhirnya, yakni UPR 2008, pemerintah Indonesia menjawab atas pertanyaan soal Ahmadiyah dan kekerasan atas nama agama dengan gaya lama. Bahwa, kebebasan beragama dan praktek berkeyakinan sudah dijamin dalam konstitusi Indonesia.

Tak hanya Ahmadiyah yang kerap mendapat serangan berujung bentrok dan perusakan tempat ibadah. Kondisi terakhir, Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Tambun, Bekasi, Kamis ini, tidak bisa beribadah perayaan Hari Kebangkitan Isa Almasih. "Jemaat dihadang sekitar 600 orang massa entah dari mana," ujar kuasa hukum HKBP Filadelfia, Judianto Simanjuntak.

Karena dilarang beribadah, kata Judianto, jemaat berdialog dengan polisi. Namun dialog selama sekitar satu jam itu tak membuahkan hasil. Judianto menyatakan jemaat hanya berdoa bersama selama tiga menit sebelum akhirnya pulang. Judianto menilai peristiwa ini serupa kejadian 6 Mei 2012. Pemerintah, menurut Judianto, meminta jemaat HKBP FIladelfia mencari lokasi lain untuk beribadah. Padahal, kata Judianto, HKBP Filadelfia telah memenangkan perkara di pengadilan.

Pada bulan Desember 2009, Bupati Bekasi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dengan nomor 300/675/Kesbangponlinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009. Surat tersebut berisi tentang penghentian kegiatan pembangunan dan kegiatan ibadah di gereja HKBP Filadelfia, yang terletak di RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Namun, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung nomor 42/G/2010/PTUN-BDG tanggal 2 September 2010 serta Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta nomor 255/B/2010/PT.TUN.JKT, tanggal 30 Maret 2011 menyatakan surat keputusan tersebut batal. Sebagai konsekuensi atas putusan pengadilan, kata Judianto, segel gereja harus dicabut dan Bupati mengizinkan jemaat beribadah kembali.

Judianto mengatakan hari ini massa tak hanya menghadang, namun juga melempari jemaat HKBP Filadelfia dengan air. "Ada skenario sistematis pihak tertentu yang memainkan isu ini secara politis," ujar Judianto. Menurut Judianto, ada ibu-ibu dan anak-anak yang ikut menghadang jemaat.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=246722:kebebasan-beragama-di-indonesia-harus-disikapi&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91
(dat03/wol/media/tempo)

Senin, 14 Mei 2012

Pendekatan Militer Akan Menuai Hasil Buruk di Tanah Papua

Yan Christian Warinussy, Direktur LP3BH Manokwari, Papua Barat (Foto: Ist)
PAPUAN, Jakarta --- Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI]) adalah sebuah integrasi politik, dan bukan integrasi budaya atau sosial.

Oleh sebab itu, tekanan yang dibuat dalam konteks integrasi politik tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan yang cenderung bertujuan menghapus kebudayaan utama dari kelompok minoritas, yaitu Orang Asli Papua (OAP).
“OAP sebagai kelompok minoritas selanjutnya dipaksakan untuk menerima kebudayaan dari kelompok dominan melalui asimilasi.”

Demikian penegasan Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, dalam siaran pers yang dikirimkan ke redaksi
 suarapapua.com, Sabtu (12/5). 

Menurut Warinussy, bukti konkritnya ketika pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatan militer untuk melakukan tekanan terhadap OAP agar tidak bisa bebas menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hak asasinya yang sudah diatur di dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
 (the Universal Declaration of Human Rights).

Karena itu, apabila ada orang Indonesia lain atau ahli sejarah atau pejabat publik di daerah ini yang mengatakan bahwa Papua dan Indonesia adalah saudara atau memiliki kesamaan budaya, maka itu adalah bohong besar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, sejarah maupun hukum.
 

”Dalam sejarah perjalanan OAP yang bisa disebut sebagai sebuah bangsa, mereka tidak memiliki kesamaan tertentu dengan Indonesia, baik dari aspek historis, kesamaan simbol, perasaan subyektif yang bersama,” ujar Warinussy yang juga salah satu pengacara senior di tanah Papua.
 

Warinussy justru berharap agar para pengamat dan penjabat daerah yang tidak paham tentang persoalan Papua untuk membaca buku karya Ibaraham Peyon, salah satu dosen Antropologii di Universitas Indonesia dengan judul "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat".

Dikatakan juga, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan-pendekatan dengan hati dan komunikasi secara baik dengan pihak yang dipaksakan berintegrasi, seperti halnya OAP.
 

Menurut pengacara senior ini, karena perilaku Pemerintah Indonesia yang senantiasa suka mengedepankan pendekatan kekerasan militer dan barbarisme politik, pada gilirannya akan menuai hasil buruk akibat jatuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan sikap kuat untuk menuntut kesempatan yang adil dalam menentukan nasib sendiri berdasarkan mekanisme hukum internasional yang berlaku.

Dalam siaran pers tersebut, Warinussy juga ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa fakta hukum telah membuktikan bahwa dalam penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas (Act Of Free Choice) yang oleh Indonesia disebut sebagai Penenetuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Tanah Papua pada tahun 1969 nyata-nyata tidak menerapkan mekanisme yang resmi sesuai dengan praktek internasional dalam Perjanjian New York (New York Agreement) tanggal 15 Agustus 1962, yaitu
 one man one vote atau satu orang satu suara. 

”Pemerintah Jakarta justru merekayasa secara sistematis dan terencana penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas itu dengan sistem musyawarah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, bahkan fakta yang ada membuktikan jika musyawarah tersebut telah dibarengi dengan kekerasan fisik dan intimidasi psikis yang serius bahkan ada sejumlah tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diduga melibatkan aparat TNI dan POLRI ketika itu dalam rangka memenangkan PEPERA 1969 tersebut.”

Karenanya, menurut Warinussy wajar jika OAP terus memberontak karena merasa harga dirinya dan hak asasinya sama sekali tidak dihormati oleh Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB}.
Ini karena OAP tidak pernah terlibat bahkan tidak pernah dilibatkan ketika terjadi perundingan-perundingan mengenasi status politik dan nasib mereka sebagais ebuah komunitas bangsa yang juga ada di muka bumi ini sejak purbakala. 

“Orang Papua sebagai subjek yang disengketakan dalam hal itu tidak pernah dilibatkan untuk berbicara mengenai bagaimana keinginan mereka atas dirinya sendiri,” kata Warinussy yang juga pernah bertindak sebagai pengacara Forkorus Yaboisembut Cs.
 

Perlu diingat juga, bahwa walapun PEPERA 1969 menentukan Papua menjadi bagian integral dari Republik Indonesia, tetapi itu belum final di tingkat internasional, khususnya di PBB.
Kenapa demikian, kata dia, karena di dalam Resolusi PBB Nomor 2504 yang selama ini dikatakan termasuk oleh Gubernur Papua Barat saat ini sebagai justifikasi bahwa Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai adalah bohong besar.
"Karena di dalam Resolusi tersebut tidak sedikitpun memberi penjelasan tentang Status Politik Papua Barat yang ketika itu disebut sebagai Irian Barat."

Di dalam Resolusi 2504 tersebut, PBB sama sekali tidak secara tegas mengakui dan mengesahkan Act of Free Choice atau PEPERA di Papua Barat tahun 1969.
Di dalam Resolusi tersebut,hanya disebutkan bahwa PBB mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal dan memahami dengan penghargaan atas pelaksanaan tugas Sekretaris Jenderal dan wakilnya sesuai tugas yang dipercayakan kepada mereka dan sesuai Perjanjian New York 1962.
Serta juga dicatat tentang penghargaan PBB atas misi bantuan internasional melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga PBB dan missi lainnya kepada Indonesia untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat.

Jumat, 11 Mei 2012

HAK UNTUK MENENTUKAN NASIP SENDIRIBAGI RAKYAT DAN SATUAN-SATUAN NYA YANG BELUM MERDEKASecara tegas oleh majelis umum PBB didalam resolusi tentang penentuan nasi sendiri Tgl12 desember 1958dan dalam deklarasi tentang pemberia kemerdekaan kepada Negeri2 yang belum merdeka dan Rakyat2 jajahan.Pada tanggal 14 desember 1960 hak tersebut telah diuraikan secara rinci di bawah judul"prinsip persamaan hak dan penentuan nasip sendiri rakyat"Pada tanggal 16 desenber 1966secara bulat disetujui oleh Covenant on economic social and cultural right dan covenant civilon politicalright.Kedua untuk ditanda tangani tanggal 15 desember1967dalam kedua covenent tersebutdiakui hak2 Rakyat untuk menentukan nasip sendiri.Penentuan nasip sendiri tidak perluhanya menyangkut atau secara eksekutif merupakan hak untuk memilih status negara otonom tetapi juga pilihan untuk berintegrasi dengan negara induk.Contoh: olehrakyat IRIAN BARAT yang sekarang dikenal dengan nama PAPUA BARAT dan TIMOR-TIMUR yang sekarang sudah berdiri sendiri atau sudah M E R D E K A (1999)• Kepulauan cocos-keelingyang beintegrasi dengan AUSTRALIA

yomanak

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...