Tampilkan postingan dengan label Dialog. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dialog. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Mei 2014

Jaringan Antariman Indonesia untuk Perwujudan Papua Tanah Damai melalui Dialog

Petisi

Kami, warga negara Republik Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Antariman Indonesia (JAII) prihatin atas kekerasan yang terjadi di Papua selama ini. Konflik di Papua selama puluhan tahun hingga saat ini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda akan berakhir. Berbagai operasi militer dan perlawanan kelompok sipil bersenjata justru melahirkan bentuk kekerasan baru dan memakan semakin banyak korban di kalangan masyarakat sipil yang tidak berdosa di Papua.
Kami menyadari bahwa kekerasan tidak pernah akan bisa mengatasi berbagai ketegangan karena perbedaan. Kekerasan juga tidak dapat menyelesaikan konflik, melainkan akan membuat negeri ini jatuh terpuruk ke titik nadir. Kami yakin bahwa jalan dialog damai merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai, menyeluruh, dan bermartabat.
Kami saat ini mengetahui ada inisiatif individu, kelompok, maupun institusi yang mendorong upaya terciptanya dialog damai di Tanah Papua dengan harapan Papua sungguh menjadi Tanah Damai. Berkaitan dengan hal itu, kami merasa perlu menyampaikan beberapa hal berikut:
  1. Kami mendukung secara penuh terwujudnya Dialog Damai Jakarta-Papua yang didorong oleh masyarakat sipil serta pimpinan agama-agama di Papua dan Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia demi terciptanya keadilan dan perdamaian secara menyeluruh, utuh dan bermartabat di Tanah Papua dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
  1. Kami mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum mengakhiri masa jabatannya agar segera melaksanakan Dialog Damai antara Jakarta dan Papua, dan membuka ruang komunikasi yang adil secara luas dan menjaga agar tercipta situasi kondusif selama upaya maupun pada saat proses Dialog Damai sedang berlangsung.
  1. Kami mendesak pihak-pihak yang berkompeten, antara lain kementerian-kementerian fungsional, Gubernur dan para Bupati beserta jajarannya, DPRP dan MRP untuk dapat segera menyelesaikan masalah ataupun menghentikan potensi konflik yang ada  agar tak memberi imbas negatif bagi upaya dialog damai.
  1. Meminta semua pihak untuk menghentikan stigmatisasi orang Papua sebagai kelompok separatis.
  1. Mengajak para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, jurnalis dan pimpinan media massa untuk mendukung sepenuh hati dan mendorong upaya Dialog Damai Jakarta-Papua demi terciptanya Papua Tanah Damai.
  1. Mengajak semua pihak untuk menolak dan tidak memilih Calon Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, agar pelanggaran HAM di Papua pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, dapat diakhiri.
  1. Kami yakin, penyelesaian persoalan Papua secara damai demi mencapai Papua menjadi Tanah Damai akan menjadi indikator bagi bangsa Indonesia yang adil dan beradab.

Kami, Jaringan Antariman Indonesia (JAII), baik sebagai individu maupun lembaga  menyatakan siap membantu dan memfasilitasi pertemuan lintas kepentingan dalam upaya mewujudkan Papua Tanah Damai.
Jayapura, 23 Mei 2014
Jaringan Antariman Indonesia (JAII) untuk Papua Tanah Damai

http://sejuk.org/

Jumat, 16 Mei 2014

DAMAI TANAH PAPUA, ADIL & TOLERAN INDONESIA

Siaran Pers

Konfrensi Nasional VI
Jaringan Antariman Indonesia (JAII)
19-23 Mei 2014 Jaringan Antariman Indonesia (JAII) kembali menyelenggarakan konferensi. Konferensi Nasional JAII yang menghadirkan berbagai organisasi dari berbagai wilayah di Indonesia yang bekerja pada isu hubungan antariman ini merupakan pertemuan keenam setelah pertemuan Malino, Sulawesi Selatan (2002), Candi Dasa, Karangasem, Bali (2003), Banjar Baru, Kalimantan Selatan (2006), Yogyakarta (2008), dan Yogyakarta (2011).
Konferensi Nasional VI JAII memilih Papua sebagai lokasi kegiatan dengan tujuan mendukung berbagai upaya agama-agama di Papua dalam rangka membangun Papua Tanah Damai. Hal tersebut sesuai visi dan misi JAII, yaitu “agama-agama untuk keadilan dan perdamaian”.
Tema konferensi yang digelar di Hotel Sentani Indah, Jayapura, Papua ini adalah Membangun, Merawat dan Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif. Adapun sub-temanya: Tantangan Konkrit menuju Keadilan, Kebenaran, Kesetaraan, Perdamaian bagi Seluruh Rakyat-Suku Bangsa Indonesia. Isu pokok yang dibahas dalam konferensi ada empat:
1) Hubungan Agama-agama dan Keyakinan dengan Negara: kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan.
2) Papua Tanah Damai: upaya agama-agama menciptakan Papua menjadi Tanah Damai.
3) Pendidikan Karakter: membangun bangsa agar mampu menghadapi radikalisme beragama dan radikalisme keserakahan kekuasaan sosial-politik-ekonomi-budaya.
4) EKOSOB di Indonesia: respon atas perusakan alam/lingkungan dan budaya lokal.
JAII akan mendorong dan mengawal hasil konferensi agar digunakan dalam upaya pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun masyarakat melakukan perubahan positif dan konkrit bagi keberlanjutan kehidupan bangsa ini. Sebab, seluruh proses konferensi nasional ini diorientasikan pada: eksplorasi dan perumusan solusi-solusi mendasar yang memberi efek jangka panjang positif dan konstruktif bagi hubungan antariman di Indonesia; memperluas dan memperkuat tanggungjawab JAII; memperkuat potensi JAII sebagai kekuatan bersama dari masyarakat, bersama masyarakat, untuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Konferensi Nasional VI JAII ini akan diisi dengan pemberian penghargaan kepada kepala daerah yang dianggap mampu menjaga dan menciptakan toleransi umat beragama di wilayahnya sesuai dengan garis Konstitusi bangsa ini. Penghargaan ini diharapkan memberi motivasi bagi upaya-upaya menciptakan Indonesia yang damai dan tanpa kekerasan, mengingat kekerasan atas nama agama sering kali muncul di Indonesia, dan dapat menginspirasi kepala daerah-kepala daerah lainnya untuk menegakkan Konstitusi dalam memfasilitasi perbedaan agama di wilayahnya.
Terselenggaranya Konferensi Nasional VI JAII di Sentani, Jayapura, kali ini berkat kerjasama Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKKPA) di Tanah Papua dengan Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei).

Yogyakarta, 15 Mei 2014
Elga Sarapung, koordinator Jaringan Antariman Indonesia


Jumat, 04 Oktober 2013

Mencari Solusi untuk Konflik Papua

Oleh: Dr.Neles Tebay,Pr

Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua

Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka.
Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten.
Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah.
Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B).
Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini.
Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua?

Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif.
Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan.
Pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan.
Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflikPapua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM.

Penulis Adalah: Dosen STFT Fajar Timur Abepura dan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di  Papua

Bisa lihat Juga:

http://www.jdp-dialog.org/kolom/opini-publik/728-mencari-solusi-untuk-konflik-papua



Sabtu, 21 September 2013

Koordinator Jaringan Damai Papua Jadi Penasihat Komnas HAM


DR. Neles Kebadabi Tebay,Pr
Jayapura: Neles Tebay, penulis buku Dialog Jakarta-Papuayang juga koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal tersebut disampaikan oleh komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Pelanggaran HAM, Natalius Pigai, saat di Kota Jayapura, Papua, Jumat (20/9). "Iya, Pastor Neles Tebay, satu-satunya yang berasal dari luar Pulau Jawa yang terpilih menjadi anggota Dewan Penasihat Komnas HAM," katanya. 
 Menurutnya ada sejumlah nama lainnya selain Neles Tebay, yang terpilih menjadi anggota Dewan Penasihat Komnas HAM. "Ada juga nama-nama lainnya, dan mereka dalam waktu dekat ini akan dikukuhkan. Jadi tugas Pak Neles adalah memberikan masukan, saran, pertimbangan, solusi dan hal positif lainnya terkait kinerja Komnas HAM," katanya. Natalius mengatakan, dirinya bersama Sriyana dan sejumlah stafnya berada di ibu kota Provinsi Papua karena dua hal, pertama mencari masukan tentang program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) serta penyusunan UU Otonomi Khusus (Otsus) Plus yang di dalamnya diduga dikutip dari Nangroe Aceh Darussalam. "Komnas HAM kekurangan data sehingga perlu turun langsung ke sejumlah daerah di Papua untuk mencari masukan tentang MIFFE dan penyusunan draf Otsus Plus, karena kami hanya melihat dan membaca berita lewat media,"katanya.Menurutnya, program MIFFE jika tidak diperhatikan dan ditangani secara baik dan benar, masalah ekonomi, budaya dan sosial masyarakat setempat akan tergusur.

"Kami sudah lakukan pertemuan dengan sejumlah pihak di Merauke, dengan mendatangi Kampung Senegi. Termasuk berbicara dengan bupati, pihak perusahaan, dan sejumlah pihak terkait lainya," katanya.

"Sedangkan terkait draf Otsus Plus, kami sudah lakukan pertemuan dengan beberapa orang berkompeten di antaranya Pak Socrates Sofyan Yoman dari tokoh agama, Weynan Watori dari komisi A DPR Papua dan prakitisi kampus Universitas Cendrawasih," katanya.

Pater Neles Tebay mengaku masih harus banyak belajar apa saja yang perlu dilakukan. "Saya berterima kasih. Dan terkait hal itu, saya masih harus belajar banyak apa saja tugas yang dibebankan pada lembaga tersebut," katanya. (Antara)

 http://www.metrotvnews.com

Kamis, 01 Agustus 2013

‘Dialog Jakarta-Papua Bisa Menjawab Teriakan ‘M’

Pdt. Bas: Tunda Dialog Berarti Buka Pintu Peluang Menuju Referendum  

JAYAPURA - Wacana dialog Jakarta-Papua yang terus didengungkan,  bahkan telah menjadi kesepakatan pada acara Dengar Pendapat MRP dan MRP Papua Barat, nampaknya turut menjadi perhatian serius Tokoh Agama dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pdt. Bas Weyai, S.Th.,
  Mantan Ketua Klasis Jayapura ini, mengatakan, sesungguhnya dialog sendiri adalah sebuah percakapan yang kaitannya dengan sejarah panjang di Papua, dimana sering terjadi permasalahan-permasalahan dan teriakan masyarakat, yang semestinya diminta masyarakat untuk diselesaikan melalui dialog Jakarta-Papua, entah itu dialog dilakukan oleh para elit politik, tokoh masyarakat/adat, tokoh gereja.

  “Harus duduk bersama bicara agar adanya kesadaran bersama atas masalah Papua ini. Dialog itu sangat penting, karena sepanjang kita tidak duduk bicara, sepanjang itu pula antara Jakarta dan Papua tetap ada situasi yang tidak bisa kita pungkiri dalam hal masyarakat Papua selalu menuntut kesejahteraan yang harus dibangun, dan masalah teriakan merdeka,”  ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Selasa, (30/7). Singkatnya bahwa dengan menggelar dialog Jakarta-Papua bisa menjawab teriakan ‘M’ (merdeka) 
  Menurutnya, jika Jakarta berjiwa besar membangun Papua ini dengan hati dan kasih, serta pandangan yang positif, tentunya dipastikan tidak ada teriakan dari masyarakat, namun selama Jakarta menutup kupingnya terhadap teriakan masyarakat Papua, maka itulah jelas terus menjadi persoalan bagi rakyat Papua-Jakarta, baik itu teriakan secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat, maupun teriakan secara vertikal dengan pemerintah atau lembaga-lembaga yang punya kepentingan untuk pembangunan di Papua ini, dan pembangunan secara nasional.
  Baginya, bila dialog direalisasikan antara Jakarta-Papua, jelas segala hal yang selama ini berada di balik stigma teriakan merdeka dan teriakan-teriakan persoalan kesejahteraan itu akan terungkap dan dapat diselesaikan dengan baik. Tapi sebaliknya jika tidak terealisasi, maka kebisuan antara Jakarta-Papua tetap terjadi, yakni, masalah demi masalah terus menerus terjadi,  bahkan bisa meningkat.
  Ditambahkan, untuk masalah dialog Jakarta-Papua, secara internal daerah, setidaknya Pemerintah Provinsi Papua, dalam hal ini Gubernur Papua dan DPRP,  serta MRP proaktif untuk memfasilitasinya ke Jakarta untuk dialog Jakarta-Papua itu.
  “Gubernur Papua tidak memandang masalah ini dengan sebelah mata, tapi harus mengakomodir teriakan masyarakat itu, dan memfasilitasinya dialog Jakarta-Papua. Tapi kelihatannya kurang proaktif sumbangan pikiran atau permintaan ketegasan dari Pemerintah Pusat,” terangnya.
  Lanjutnya, jika inisiatif dialog Jakarta-Papua itu datang dari Gubernur Papua, maka apa yang dicita-citakan masyarakat untuk duduk bersanding dengan Pemerintah Jakarta dan Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan pembangunan akan berjalan dengan baik. Dan semua hal dapat dibicarakan secara kekeluargaan.
  Pemerintah Provinsi Papua harus memberikan jaminan terhadap hal itu, karena dilihat dari kaca mata Otsus Papua (dan UU No 32 Tahun 2012) ataupun Otonomi Daerah (Otda) yang harus didudukkan secara baik,  yang mana kebijakan yang masuk dalam Otsus dan mana yang masuk dalam kebijakan Otda. Karena ini kedua-duanya belum jelas untuk masyarakat yang menyebabkan rakyat terus berteriak. Ini yang harus dibicarakan dalam dialog itu.
“Untuk masalah kesejahteraan rakyat Papua itu belum menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Ini yang sering memicu terjadinya teriakan-teriakan yang lain. Ini harus dijelaskan dengan baik oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat menjelaskan dengan baik supaya masyarakat tahu bahwa Otsus tidak gagal,” imbuhnya.
    Ditempat terpisah, Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, secara singkat menyatakan, pilihan terakhir mari semua orang Papua dan orang non Papua kita mendorong dialog damai Jakarta-Papua dalam tahun ini yang pra dialognya sudah dilakukan oleh Jaringan Damai Papua dan Aliansi Liga Demokrasi Papua dan juga telah menjadi keputusan bersama rapat dengan pendapat MRP dengan orang asli Papua. Menunda dialog, berarti mempercepat proses buka pintu Papua menuju referendum. 
  Menunda  dialog, juga membuka pintu bagi intervensi asing masuk dalam rangka Responsibility to protect terhadap penduduk asli Papua yang mengalami pelanggaran HAM  berat, dan tindakan ini menjadi bagian dari konvensi dewan keamanan PBB.  “Bola panas dialog Papua-Jakarta ada di tangan Pemerintah Pusat sekarang,” pungkasnya.

Selasa, 30 Juli 2013

Perwakilan Rakyat papua menuntut dialog

KOMPAS cetak_ Perwakilan rakyat dari semua kabupaten dan kota di Papua  dan Papua Barat  sepakat menuntut dialog sebagai sarana menyelesaikan persoalan di Papua , kesepakatan tersebut tertuang dalam rekomendasi rapat dengar pendapat yang di gelar  Majelis Rakyat Papua terkait dengan evaluasi undang-undang otonomi khusus.
 Yakobus Dumupa ketua panitia kegiatan itu, minggu 28/07  di Jayapura menyatakan ada dua rekomendasi yang di hasilkan. Pertama Dialog Jakarta-Papua  yang di mediasi oleh pihak ketiga yang netral. Kedua  setelah dialog di gelar perlu ada evaluasi Otsus.
 Dengan demikian ujar Yakobus, pembahasan rekontruksi undang-undang Otonomi Khusus di bahas setelah dialog.  Hasilnya itu akan diserahkan kepada pimpinan ketua MRP untuk di bahas dalam rapat pleno.
Ketua MRP Timotius Murib dalam penutupan rapat dengar pendapat mengatakan sebenarnya rapat di gagas untuk mendukung upaya Pemerintah Provinsi Papua merekontruksi undang-undang Otsus papua menjadi undang-undang otsus plus, namun di namika dalam rapat yang di gelar  selama dua hari sejak kamis lalu justru menghasilkan rekomenadasi berbeda.
Semua perwakilan dari 40 kabupaten/kota dari kedua Provinsi itu  meminta Dialog sebagai mekanisme penyelesaian persoalan Papua. Thobias Bagubau, tokoh muda dari suku Wolani, mengatakan pihaknya memintah pemerintah pusat  dan masyarakat papua segerah menggelar dialog yang sejajar dan bermartabat.

Secara terpisah Anggota komisi I DPR RI Yorrys Raweyai mengatakan, selama ini pihaknya terus mendorong agar pemerintah pusat membuka diri untuk tawaran dialog itu. Sebaiknya Presiden susilo Bambang Yudoyono segera menanggapinya dan menyerahkan konruksi dialog itu kepada masyarakat Papua.(YOS)

edisi senin29 juli 2013

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...