Senin, 28 September 2015

Interfidei dan FKPPA, Menggelar Konferensi – FGD II Papua Tanah Damai di Jayapura.

Institut DIAN Interfidei bekerja sama dengan Forum Konsultasi Para pimpinan Agama (FKPPA),Provinsi Papua Ilalang Papua dan dinas Kesbangpol Kota Jayapura, telah Menggelar Konferensi dan Focus Group Discussionn (FGD), II di Hotel Sahid Papua, pada 6-9  September 2015.
Kegiatan ini dirselenggarakan lanjutan dari Konferensi dan FGD I di Kabupaten Jayapura pada 23-27 november 2014, dengan tema: menata dan memaknai perbedaan, demi Papua Tanah Damai, diikuti oleh seluruh para pimpinan agama-agama di Kaupaten/kota seprovinsi Papua
Pada konferensi dan FGD ke II ini, lebih fokus pada monitoring dan evaluasi, Untuk mengetahui sampai sejauhmana kegiatan yang diikuti sebelumnya untuk memberi pengaruh signifikan kepada peserta dalam melakukan perubahan, demi terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai dan apakah manfaat bagi komunitas dan masyarakat dari mana peserta diutus, demi sebuah perubahan, terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai.
Dalam Konferensi dan FGD II  diikuti  dari para pemimpin agama dan tokoh agama  dari tujuh daerah yakni. Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, kabupaten Timika, Kabupaten Nabire, dan Kelompok Avatan (Kabupaten jayawijaya dan Sarmi).
Pada  Kegiatan  yang berlangsung selama empat  hari ini, membahas  beberapa isu-isu penting  Yaitu. Perlindungan dan palayanan keagagamaan  bago Umat Agama disampaikan langsung oleh Prof. Dr. M. Machasin, Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Republik Indonesia, sebagai Keynote speech. Juga para pakar lain, dr.Gunawan Ingkokusumo menyampaikan (tentang tantangan, ancaman dan tindakan menghadapi perluasan HIV/AIDS di Tanah Papua). Ida Bagus Suta Kertya (Memelihara alam semesta secara adil-bersih-indah, demi kelangsungan hidup masyarakat papua), Dr.Tonny Wanggai,S.Ag,MA (Ancaman dan tindakan menghadapi masuknya gerakan radikalisme agama di Tanah Papua).  Uskup Dr.  Leo Laba Ladjar, OFM  (Tantangan, ancaman dan tindakan dunia Pendidikan di Papua). Prof.Dr.Sidney Jones (Peta perubahan dan dinamika perbedaan dalam keragaman agama-agama di Indonesia, persoalan KBB, dan pembiaran Negara terhadap kelompok intoleran atas nama agama).  Dr. Theo van den Broek (Dinamika hubungan antar warga di masyarakat Papua, dalam perubahan demografi agama-agama di Propinsi Papua). Dan Dr.Pater.Neles Tebay,Pr (Makna perbedaan agama-agama di Tanah Papua demi Papua menjadi Tanah Damai: Dialog Damai sebagai jalan tanpa kekerasan).

Kegiatan tersebut diakhiri dengan menysun rencana tindak lanjut (RTL) dari  masing-masing daerah yang berkaitan dengan membangun toleransi Umat beragama, menjaga kelestarian lingkungan hidup, bahaya HIV/AIDS, Radikalisasi Agama, menjaga perubahan demografi,membangun karakter dalam pendidikan dan memaknai perbedaan agama-agama di Tanah papua demi Papua Tanah Damai.(JDP.Kilion)

Rabu, 29 April 2015

Papua Di Integrasikan?

(Artikel ini telah dimuat :http://suarabaptispapua.org, Pada Senin  27 April 2015)

“Refleksi gereja terhadap peringatan May 1,  sebagai hari integrasi Papua kedalam Indonesia (NKRI)”

Setiap tahun di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) sebelum memasuki tanggal 1 Mei, diakhir-akhir bulan April TNI dan Polri selalu sibuk, memasang spanduk, bendera merah-putih di badan Jalan, pinggir jalan dan tempat-tempat umum.  Hal ini membuat saya jadi bertanya?
”Setiap Tanggal 1 mei itu hari Intergasi Papua dalam NKRI, kok TNI dan Polri yang sibuk? apakah  mereka ini yang berintegrasi?” demikian pertanyaan penulis.
Yang berintergasi dengan Indonesia adalah orang Asli Papua (OAP), bukan   masyarakat Papua (paguyuban- paguyuban). Seharusnya seluruh OAP dengan semangat integrasi, tgl 1 mei dirayakan dengan meriah,  setiap  rumah masing- masing harus mengibarkan bendera merah-putih sebagai simbol pembebasan. (seperti pembebasan bangsa Israel di Mesir, bebas dari penjajahan Raja Firaun di Mesir).
Bendera merah- putih tidak bisa pasang di sepanjang perut Jalan, dan pinggir jalan, seperi bendera organisasi, bendera merah- putih  harus di kibarkan di tempat yang terhormat.
Sejak OAP berintegrasi dengan Indonesia, dalam setiap hari-hari besar seperti 17 Agustus, 1 Mei 28 Oktober dll, sangat jarang bahkan tidak pernah lihat pada setiap halaman rumah OAP mengibarkan bendera merah-putih, sekalipun ada tapi hanya segelintir orang misalnya Anggota TNI, Polri dan PNS.
Saya ingin menguraikan secara singkat proses- proses yang dilakukan untuk Integrasi Papua  ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian dikatakan Kilion Wenda.
Perdebatan-Perdebatan Indonesia dan Belanda  terhadap Papua
Sebelum Papua di integrasikan kedalam NKRI, perdebatan-perdebatan antara Belanda Indonesia sudah cukup lama,  hal itu di ketahui dalam  karya seorang Tokoh sejarawan Belanda Profesor Pieter Drooglever “Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasip sendiri”  (hal 127,128 dan 132).
Penjelasan tentu bahwa bagian terbesar Hindia Belanda pada saat itu masih kuat dalam genggaman Jepang dan bahwa anggota BPUPKI walau Nasionalis- Nasionalis Indonesia, tetapi terpilih sedemikian rupah sehingga dapat diterima oleh penguasa Jepang. diantaranya mereka tak disangkal Soekarno, Muhamad Hatta, Mohamad Yamin, dan Prof Soepomo yang memegang peran utama. Mayoritas anggota berasal dari Jawa, atau Sumatra. satu-satunya orang Ambon adalah Latuharhary yang sebagai pemimpin Serikat Ambon, dapat dihitung dalam jajaran gerakan  nasional sebelum perang. Selanjudnya diantara peserta dari Indonesia Timur ada Dr, Sam Ratulangi yang telah kita jumpai dalam hubugan lain. orang- orang Papua tidak termasuk  dalam kawanan Itu.
Alasan Mohamad Yamin adalah sejarah indonesia selama perjuangan  kemerdekaaan Indonesia, orang-orang Belanda menjadikan Boven Digoel sebagai Kamp tawanan  pejuang politik sehingga  dengan sendirinya  Papua termasuk  bagian dari Indonesia sekalipun  secara  etnologis dan fisik tidak menjadi bagian dari Indonesia.
Reakasi Anggota lain seperti Kahar Muzakar, kemudian memimpin Darul Islam  berpendapat bahwa orang-orang Papua masuk ke dalam Indonesia, walaupun bangsa berlainan sedikit dari pada kita, mereka memang dapat saja lebih hitam dari penduduk yang lain, tetapi tanah mereka merupakan sumber kekayaan dan warisan semacam itu tidak boleh dibuang begitu saja.
Sementara Mohamat Hatta  berpendapat bahwa, kita harus puas dengan mantan Hindia-Belanda, itu sudah cukup luas, argumen-argument Yamin sama sekali meyakinkan dia bahwa  bangsa Papua sama  dengan orang-orang Indonesia yang lain, di mana-mana di timur nusantara  terdapat berbentuk campuran, tetapi orang tidak beloh menjadikan alasan untuk begitu saja mencaplok orang-orang Papua kedalam Indoenesia.
Akhirnya  dalam diskusi yang panjang lebar itu  dirumuskan dalam tiga opsi  yaitu. Indonesia Raya, memilih 36 suara, Hindia Belanda 19 suara, dan pendapat Hatta untuk mengeluarkan  Papua dari Indonesia  mendapat 6 suara.
Dalam konferensi Malino 1946, Frans Kaisepo,didampingi  Victor de Bruyn, saat itu,namun tidak mendapat dukungan dari Indonesia maupun Belanda untuk mewakili orang orang Papua, dia hanya  hadir sebagai pendengar, dan tidak sama sekali berbicara.
Konferensi meja bundar lebih disngkat KMB 1949, konferensi itu Papua tidak dimasukan sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), Namun Pasal 2 ayat 6  Hanya berbunyi  bahwa status politik Papua akan didiskusikan Indonesia dan Belanda.
Keterlibatan Orang Papua
Pada Proses ini lebih ditegaskan bahwa, sebelumnya Frans Kaisepo pernah  diikutkan dalam konferensi Malino, Namun sebagai pembantu mendampingi  Victor de Bruyn, dan tidak sama sekali dianggap sebagai perwakilan Orang Papua.
Sementara dalam karyanya Socratez Sofyan Yoman, “Apakah Indonesia menduduki dan Menjajah Bangsa Papua?, Tantangan dan Hapan Masa depan Bangsa Papua dalam Pemaksaan Nasionalisme Keindonesiaan dan Imperialisme Kapitalis di Papua”, (Itawaku Purom 2013, hal 24-30), sangat jelas menggambarkan  bahwa orang- orang Papua ditipu oleh Pemerintah Indonesia.
Profokator utama  yang membohongi  orang- orang Papua adalah Soegoro Atmoprasodjo yang notabenenya Jebolan tahanan politik Indonesia, yang menjadi  salah satu guru pada sekolah Pamong Praja di Kota Nica Holandia ( Kampung Harapan Jayapura).
Para elit pertama  yang pernah belajar di kota Nica saat itu Frans Kaisepo, Marthen Indey, Silas Papare Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Corinus Krey, Baldus Movu, O.Manupamai, Herman Wayoi.
Frans Kaisepo adalah korban pertama saat itu oleh Profokator Sugoro,untuk menyangkal bangsa Papua dan Ras Melanesia, selanjutnya disusul , Marthen Indey, dan Silas Papare,
Soegoro bermain peran sangat penting dalam memperkenalkan kebudayaan melayu, dengan simbol “Bhineka Tunggal Ika” dia mencontohkan  pulau Papua ada banyak suku yang mendiami namun mereka itu semuanya adalah orang Papua satu, sama halnya Indonesia, ada banyak suku bangsa, adat istiadat, tapi mereka adalah satu bangsa Indonesia.
Papua di Integrasikan
Terkait dengan perbedaan pandangan terhadap peringatan tgl 1 Mei 1963 ada banya versi  yaitu dineksasi, berintegrasi, kembali ke pangkauan ibu pertiwi, dicaplokan, dimasukan, menganeksasi, terintegrasi, mengintegrasi, dan lain-lain.
Dari Sekian banyak Istilah itu saya berpendapat bahwa tanggal 1 mei adalah hari “di integrasikan Papua Kedalam NKRI”. karena sejarah singkat membuktikan tidak ada orang Papua yang terlibat dalam perdebatan- Perdebatan panjang antara Belanda dan Indonesia juga libatkan Amerika Serikat, dalam Sidang BPUPKI, konferensi Malino,Konferensi Meja Bundar, juga Perjanjian New York, Penjanjian Roma. Persejuangan Linggajati, dll.
Ada banyak tokoh-tokoh tepelajar asal Papua  pada saat itu, namun tidak dilibatkan.  hal ini membuat saya bertanya- tanya, apakah saat itu  semua orang Papua ini bodoh?,  kalau perdebatan- Perdebatan,Persetujuan- Persetujuan ini membicarahkan demi masa depan Papua, kenapa Orang-Orang Papua yang punya ahli waris itu sendiri tidak pernah dilibatkan?
Gelar Pahlawan
Gelar Pahlawan Nasional kepada Frans Kaisiepo Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993, Silas Papare Pahlawan Nasional 14 September 1993  Keppres No. 77/TK/1993, Marthen Indey Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993. Ini sebenarnya hanyalah siasat Pemerintah Indonesia untuk meredam adanya  kebangkitan nasionalisme bangsa Papua untuk merdeka sebagai bangsa yang berdaulat.
Apakah tokoh-tokoh seperti Farns Kaisepo, Silas Papare, Marthen Indey, pernah terlibat dalam perang untuk melawan pemerintah  Hindia Belanda? Kalaupun ada dimana, kapan, siapa komandan regu Mereka, apa Kesatuanya?
Bagaimana dengan Johanes Abraham Dimara?. Dimara dilahirkan dari rahim ibu orang Biak dan ayahnya juga orang Biak. Tetapi saat diamara umur 13 tahun,ia dijadikan  anak angkat oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi di Biak, lalu ia dibawa ke Kota Ambon untuk mendidik dan membesarkannya.
Johanes Dimara  yang saat itu berprofesi sebagai Guru Injil di daerah Ambon saat itu,  namun karena ia bergabung dengan Patimura, sehingga ia diangkat menjadi seorang polisi, untuk melawan RMS di Ambon.
Sangatlah wajar Abraham Dimara diberi gelar Pahlawan Nasional, karena sejak ia  masih kanak-kanak sudah dididik diluar Papua, sehingga ia sulit memiliki Ideologi Kepapuaan.
Dimara diberikan pahlawan Naional melalui Keppres No.52/TK/2010 tertanggal 8 November 2010,itu atas perjuangannya mempertahankan NKRI di Ambon.
Keliru bila foto Abraham Dimara selalu dipaparkan dalam spanduk setiap hari-hari besar kenegaraan di seluruh Tanah Papua, sebab dia bukan pejuang mempertahankan NKRI atas Tanah Papua.dan berjuang untuk Papua bergabung dengan NKRI.
Kilion Wenda: Staff Departemen Informasi dan Komunikasi Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua.

Rabu, 25 Februari 2015

Penerjemah Alkitab Dari Bahasa Indonesia ke bahasa Lanny, Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th Tutup Usia.

alm Pdt.Yunus Kogoya Dip.Th
Penasihat Badan Pelayan pusat-Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP)  Pendeta Yunus Kogoya Dip.Th Meninggal Dunia, Sabtu (/20/2/15), sekitar Pukul 05:00 dini hari  waktu papua di Rumah Sakit Umum Dian Harapan (RUSDH) Jayapura,Papua.
Menurut keterangan Rekanya Joni Kogoya, korban sebelumnya  sakit Paru- paru sejak lama ketika  berada di Suka Bumi Jawa Barat,namun menurutnya  sesudah tahun 2002 pulang ke papua, sering mengalami sakit- sakitan dengan  Sakit paru- parunya.
Sebelum Almarhum diantar oleh keluarga di rumah sakit, dirinya yang sakit lebih dulu sehingga,Almarhum pendeta Yunus  mendoakanNya;ungkap Joni.
Dia (almarhum) sering melalaikan perintah dokter, bahkan obat yang di berikan oleh dokter jarang minum, dia  lebih banyak menghabiskan waktu duduk di depan  layar komputer,untuk menyelesaikan buku- buku rohani dalam bahasa lani; ungkap  salah satu Badan pelayan di gereja Baptis Bahtra Ramoho Sentani Jayapura.
Alm.Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th. dikebumikan pada Minggu 22, Maret 2015 di Pekuburan umum Kemiri Sentani Papua.
Sebelumnya Alm.Pdt.Yunus Kogoya,Dip.Th, menyampaikan pada puncak peringatan  hari Hut Badan pelayan pusat-Persekuruan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP) 14 desember 2014 di Jayapura, bahwa, dirinya sudah selesai mengerjakan tugas yang di berikan oleh Tuhan Allah,
“Sejak saya umur 13 tahun sampai sekarang jadi,  tahun 2015, itu waktunya untuk saya harus beristirahat, kalau Tuhan masih berikan kesempatan untuk saya harus melayani, saya akan siap melayani, tapi kalau, Tuhan panggil saya untuk  harus beristirahat maka, saya akan istirahat”
Auto biografi .
Pdt.Yunus Kogoya, Dip.Th   Lahir di Nggoyagame,Distrik Pirime Kab Lani Jaya 15 April 1949, semenjak 12 Tahun, tepatnya pada tahun 1957-1960 misionaris “Tuan Larson” membawa injil Masuk di Ilaga.
Sedangkan  pada tanggal 28 Oktober, 1956 Missi ABMS sekarang GIA “Tuan Norman Drarpet,Tuan Hein Noordyk, dan Ian Gruber menginjak kaki di Tiom.
Sejak saat itu  Yunus Kogoya belum memakai Koteka ( belum berbusana), tepatnya pada tahun 1961,memakai koteka Pakaian adat orang Lani.
Tahun 1963, Ia belajar Sekolah dasr (Buta Huruf) di Pirime,
Tahun 1964 ia melanjutkan sekolah dasar di di Tiom
Tanggal 12 Desember 1965, Ia di Baptis secara ( menyelam), oleh Gembala Wurupanggup kogoya di Kuwogwe Tiom.
Tahun 1966, Yunus Kogoya, dipilih untuk belajar  Bahasa indonesia  di Tiom,dan Mengenakan Pakaian ( Celana dan Baju), sebelumnya Pakai koteka.
Tahun 1967, Ia dipilih sebagai Guru injil bersama gembala Nawimban kogoya di utus ke Kwiyawagi.
Tahun 1968, ia Kembali  dari Kwiyawagi Ke Pirime untuk menjadi Guru sekolah minggu di Nambume, sampai  tahun 1969.
25 Desember 1969, seluruh Anggota Jemaat Gereja Baptis Nambume, secara aklamasi Yunus Kogoya di pilih menjadi Gembala sidang, ia melayani selama lima tahun
Tahun 1971, saat itu Yunus Kogoya berumur 21 tahun, bertunangan dengan Dortea wakerkwa, Ia Menikah  tepat pada  6 Agustus 1971, di  Gereja Baptis Kulok Enggame. Tepatnya pada  10 Desember 1972 Yunus Kogoya dan Dortea wakerkwa di karuniai  satu anak, Yuratinus Kogoya.
Pada Bulan desember 1972 melalui sebuah konferensi gereja, Yunus Kogoya di tamatkan, dari sekolah Alkitab oleh Guru Tuan Noel Melzer.
Tahun 1973  Yunus Kogoya dipindahkan dari Nambume ke gereja Baptis Yiwaktogu, sementara sebagai gembala di gereja Yiwaktogu, ia masuk Kelas VI, SD YPPGI Kuopaga, sesudah tamat SD, Yunus Melanjudkan SMP di Tiom.
Tahun 1976, ia tamat SMP di Tiom, selanjudnya Yunus Kogoya dipindahkan sebagai gembala dari yiwaktogu ke Wulume.
Tahun 1977, Yunus di panggil oleh Misi Tuan  Magi Rod Bensly, untuk menjadi tenaga pengajar pada Sekolah Alkitab Bahasa Lanny, sekaligus di tugaskan sebagai Gembala sidang Magi-NggetPaga, selama 1 Tahun.
 Tahun 1978, Yunus Kogoya di kirim  sebagai Gembala di gereja Baptis Kondena.
Tahun 1980.Yunus Kogoya  diberhentikan sementara (Siasat) oleh pengurus Gereja karena terjadi perang suku di Pirime.
Tahun 1981.Yunus Kogya  diaktifkan kembali (cabut Siasat), untuk menjadi Gembala,  ia dipanggil oleh salah satu guru Peter Barclay untuk belajar Sekolah Alkitab Bahasa Indonesia di Tiom, selain ia belajar,juga sebagai gembala di gereja Baptis Ngguripaga selama tahun 1982-1983.
Tahun 1983 Yunus Kogoya dikirim  ke gereja Baptis Ongge’me, selama di sana tepat pada 6 September 1984 Yunus Dikaruniai  satu anak Rina Kogoya.
Tahun 1985. Yunus kogoya diutus untuk melanjudkan pada Sekolah Tinggi Teologi Baptis (STT Baptis) di Kota Raja, Jayapura.
Tahun 1990 Yunus Kogoya Tamat dari STT Baptis Kotaraja Jayapura, di berikan Gelar Diploma (Dip.Th)
Tahun 1990. Yunus Kogoya bersama Tuan  Gardon Larsonpergi ke Ilaga selama dua bulan.
Tahun 1991, Yunus Kogoya Dip.Th di panggil oleh  Tuan Wesley Dale untuk pergi ke Kanggime selama 6 bulan untuk menterjemahkan Alkitab perjanjian baru dalam  Bahasa Lani. Nanu satu  tantangan yang dia hadapi, setelah Tuan Wesly Dale sudah habis Visa, sehingga Yunus Kogoya kembali Ke Pirime, lalu ia sendiri melanjudkan pekerjaan sebagai menterjemahkan Alkitab dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Lani.
Tahun 1993, tepatnya pada tanggal 3 Agustus, Yunus Kogoya Dip.Th bersama, Rekannya Elaby bersama Keluarganya di panggil oleh Misi, Tuan David Scivill da, Tuan. Wesley Dale untuk melanjudkan pekerjaannya menterjemahkan Alkitab dalam Bahasa lani,  yang sempat tertunda di Kanggime, ke Parombong Cianjuang, Suka Bumu Provinsi Jawa Barat.
 Sejak tanggal 3 Agustus 1993, Sampai Tahun 2002 Yunus Kogoya  sukses menterjemahkan Alkitab Perjanjian Lama (PL) Dalam Bahasa Lanny.
Pada Tanggal 3 Agustus 2002, Yunus Kogoya,Dip.Th Pulang dari Jawa Barat ke Papua, menetap di Pos 7 sentani.
Tahun 2004. Yunus Kogoya,Dip.Th di pilih sebagai Gembala 1 dan Mazmur Kogoya sebagai Gembala 2.
Selama tugas Sebagai gembala Sidang di Gereja Baptis  Bahtra Ramoho Sentani, Ia juga menulis buku untuk  anak-anak sekolah minggu dan pemuda remaja, dalam  Bahasa lanny “AWANA”  nit ninone paga “ Aap ambi Enggali Lek Logonet Yetut Abok Paganiyak Mbake kenok”  dan “ Kabar baik yang bersambar. Wologwe komologwe inake mbanak”.
Yunus juga  terganung dalam Tim untuk menulis buku Sejarah perjalanan gereja GIDI, KINGMI, dan BAPTIS, berhasil di terbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 2012.
Pada 9 Mei 2010, Istri Yunus Kogoya meninggal Dunia.
Pada  6 April 2011, Yunus Kogoya menikah lagi dengan istri yang kedua Melinche Wakerkwa  di gereja Baptis Ramokho sentani Jayapura.

Saat rasa percaya mulai tumbuh

Jabat tangan erat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum  dan Keaman Tedjo Edhi Purdijatno  kepada peserta pertemuan eksploratif keenam di Jakarta pertengahan Februari lalu, mengesankan mereka. Anggota Majelis Rakyat Papua Wolas Krenak, melihat apa yang terjadi dalam pertemuan  sebagai pertanda baik.

Kehadiran Menko Polhukam, bahkan berkenan menjadi pembicara utama dalam pertemuan yang di gelar Jaringan Damai Papua, sejumlah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  dan pihak lainnnya itu bukan persoalan sederhana. Mengingat isu yang di bicarakan adalah tentang Papua yang masih manjadi salah satu isu sensitif di Indonesia, kehadiran Tedjo membuka harapan.
Di depan para peserta, Tedjo menegaskan pemerintah akan mengurangi pendekatan keamanan dan akan lebih memperkuat pendekatan kesejahtraan di Papua. Pemerintah, katanya juga   ingin secara konsisten  membangun Papua sebagai kultur yang hidup di tanah itu.
Bagi para peserta, kehadiran tersebut bentuk dukungan atas upaya  yang telah di bangun bersama semua pemangku kepentingan, baik di Papua maupun di Jakarta, dalam empat tahun terakhir.
Proses itu tidak mudah karena lebih dari 50 tahun bercuran dana triliunan rupiah, ternyata belum membuat masyarakat Papua nyaman. Gugatan berbasis argumentasi  sejarah seputar pelaksanaan penentuan pendapat rakyat pada 1969 hingga tuntutan referendum yang  di suarahkan sejumlah kalangan di Papua menjadi indikasi bahwa persoalan itu ada.
Gugatan itu kian menguat ketika  sejumlah program kesejahtraan rakyat juga tidak membuahkan hasil optimal. Minimnya proses transformasi  dan penguatan masyarakat asli membuat mereka masih marjinal.
Gandah dengan kondisi itu, sejumlah pemerhati persoalan Papua berhimpun mencari upaya membagun perdamaian di Papua. Melalui Jaringan Damai Papua (JDP) yang terdiri dari sejumlah akademisi, Peneliti LIPI, termasuk sejumlah LSM dan kalangan profesional,  di gelar Konferensi Perdamaian Papua pada Juli 2011 yang di hadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto serta perwakilan masyarakat asli dari Papua.
Pada akhir konferensi itu medikator Papua  damai dan menyepakati untuk mengajukan dialog sebagai sarana menyelesaikan aneka persoalan di Papua.
Suasana ketidakpercayaan dari Jakarta dan sejumlah pihak di Papua membuat upaya itu seolah jalan di tempat.  Sejumlah pihak bersama JDP dan LIPI  kemudian mengundang perwakilan dari Papua, seperti dewan adat papua (DAP),  dan perwakilan dari pemerintah untuk mengikuti pertemuan eksploratif di Bali. Menurut koordinator JDP Papua Neles Tebay, suasana pertemuan pertama di Bali pada Februari 2013 itu di liputi ketegangan.
Namun agaknya para peserta menilai pertemuan itu penting dan harus di lanjutkan. Kemudian, berturut-turut pertemuan di gelar di Manado (april 2013), Lombok (Agustus 2013),Yogyakarta (Januari 2014), Semarang ( September  2014) dan  Jakarta (16-18 Februri 2015).
Setelah melewati beberapa tahap pertemuan tiap-tiap pihak menjadi kian berani menyampaikan berbagai hal yang sebelumnya mungkin sulit diungkapkan.  Perwakilan dari DAP, dan MRP, dengan terbuka menyampaikan kritik kepada TNI dan Polri yang juga terbuka menanggapi.  Akademisi dan kelompok madani juga leluasa menyampaikan pemikiran mereka.  Perlahan kecurigaan mulai terurai dan rasa percaya mulai tumbuh.


"JOSI SUSILO HARDIANTO "Kompas 25 Februari 2015".

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...