Senin, 06 Agustus 2012

GEREJA BERSUARA UNTUK UMAT BUKAN UNTUK POLITIK

Kilion Wenda
Gereja hadir di masyarakat adalah kenyataan sosial karena melihat sejarah gereja tidak bisa lari dari kenyataan bahwa , gereja itu berkarya di tengah-tengah masyarakat yang terbagi dalam kelompok-kelompok social ke agamaan dan etnis serta status sosial yang berbeda satu dengan yang lain. kenyataan kehidupan masyarakat kemudian mendorong komitmen dan keikutsertaan gereja untuk menggumuli persoalan-persoalan yang di alami oleh warga gereja yang terus menerus di bantai di siksa, di penjarakan, di adili, di bunuh di perkosa. sehingga gereja tidak hanya memiliki tetapi memperjuangkan visi umatnya yang berbeda satu dengan yang lain. kita membaca dalam sejarah gereja bagaimana kelompok dan pihak-pihak yang lemah menjadikan sebagai mangsa oleh kelompok yang kuat dalam pertarungan kepentingan lapangan, lalu Gereja ada dimana ? semua proses perkembangan umat ini ?. Gereja berada di salah satu pihak dari dua kemungkinan yaitu (a)menjadi bagian dari pihak-pihak yang menciptakan masalah-masalah tadi alat dan kendaraan dari pemerintah dan swasta yang menyebarkankelumpuhan dan ketidak berdayaan tadi artinya melalui ajaran gereja menjadi umat tidak berdaya dengan menyebarkan paham bahwa kekuatan-kekuatan tadi sebagai penyelamat.(b) atau gereja menjadi kekuatan dan wada unruk menjadi kekuatannya lalu bangkit untuk merubah demi merubah keadaan dan mengubah masalah menjadi peluang dan kesempatan.
dalam kenyetaan kehidupan masyarakat kemudian mendoronng komitmen dan keikut sertaan gereja untuk menggumuli persoalan-persoalan yang di alami oleh masyarakat. sejalan dengan halini maka para pemimpin gereja bisa mempelajari dari para tokoh-tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti OSCAR ARNULFO ROMERO dari san salfador (Amerika Tengah), MARTHEN LUTHER KING seorang tokoh gereja Baptis (Amerika serikat), DOM HELDER CAMARA dari (Brasi), USKUP DESMON TUTU di (afrika selatan), USKUP CARLOSFILIPE XIMENES BELO di (Timor Leste) dal lain-lain mengambil langkah kongkrit dalam pergumulan manusia. maka peran gereja menjadi strategis mengawal panji-panji kemerdekaan,kebebasan, persatuan, keadilan,dan perdamaian bahwa semua permasalahan itu harus dinilai secara kritis dan di letakan kritis firman Allah dan injil Kristus. namun pada kenyataan di papua barat dalam sejarah gereja bahwa pemikiran-pemikiran krits para pimpinan gereja seperti Pdt NDMMA SOCRATEZ SOFYAN YOMAN,Pdt DR BENY GIAY P.hd ,DR.NELES TEBAY.Pr teman-teman lain nya sering di sikapi secara negative oleh pemerintah yang berkuasa dan masyarakat. Gereja yang krirtis sering di sikaopi sebagai pembawa bendera politik. Pada kenyataan secara awam politik itu adalah usaha sadar seseorang yang lebih di kenal di masyarakat pada lembaga-lembaga social dalam pemerintahan seperti lembaga legislative, eksekutif, partai –partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan atau etnis dan agama tertentu dalam masyarakat tadi untuk
Ø pemenfaatan sarana dan prasarana lembaga social dan keagamaan.
Ø untuk mejakinkan visi dan kepentingan kepada masyarakat sebagi kepentingan umum
Ø menyusun social dan strategi
Ø mencari dukungan dari sama unsure masyarakat untuk mewujudkan visinya.
Gereja sebagai benteng terakhir dan “gen”kerajaan Allah di dunia ini tidak bisa menghindar atau lari dari masalah social, ekonnomi, budaya bahasa, agama, politik dan pelanggaran HAM. Gereja harus tampil sebagai terang dan garam “ kamu adalah garam dunia, kamu adalah terang dunia (matius 5:13-14). tugas adfokasi persoalan hokum dan keadilan serta ham di papua di butuhksn peran profetis agar gereja tetap dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran,hak asasi manusia, dalam rangka pembebasan dan perdamaianbagi umat tuhan di tanah Papua.
Dekade pembebasan sabagai komitmen dan janji dimana seluruh tugas dan misi gereja dibidang kesaksian yang menbebaskan dalam bidang koinonia menjadi persekutuan dan menjadi koinonia yang membebaskan. namun dari pandangan pandangan tersebut timbulah pertanyaan-opertanyaan yang harus di jawab.
Apakah gereja-gereja di Papua pernah mereekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menangkap, membunuh, mnyiksa, memperkosa, mengadili, memenjarahkan, dan menghilangkan umat tuhan di tanah Papua ? Apakah dalam pelayanan misi kemanusiaan, demokrasi, keadilan, kebebasan, perdamaiian, Hak asasi manusia, ialah sebagai penerapan nilai-nilai injil Yesus Kristus ini di sebut mengurus politik ? tidak bisa seorang pendeta atau gembala yang berlatar belakang pendidikan teologia yang seharusnya meyani umat  namun malahan menari-nari di atas penderitaan diatas penderitaan rakyat di tanah papua barat. apakah ini seorang pendeta ? selalu memperjuangkan untk mendapatkan kursi yang terhormat sementara umat nya di bawah penderitaan cucuran darah dan air mata. dalam sangat jelas dalanm roma 13:1-2) “ tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atas nya sebab tidak ada pemerintah yang brasal dari Allah dan pemerintah-pemerintah yang ada di tetapkan oleh Allah. sebab itu barang siapa yang melawan pemerintah ia melawan ketetapan oleh Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya ”. Darikutipan ini mendorong orang supaya mengakui pemerintah sebagai lembagayang di angkat oleh Allahuntuk menciptakan tertip hidup masyarakat. Pimpinan-pimpinan gereja selalu mendukung program pemerintah karena dengan pemerintah sebagai alat Tuhan menjamin dan memelihara orang Kristen dengan memberi tempat bagi masyarakat untuk berkarya dan mengembangkan dirinya bagi potensi-potensinya pada dewasa ini di Papua seorang hamba Tuhan mengutip ayat ini untu kembenarkan. tetapi penguasa Indonesia menekan gereja supaya untuk mematikan peran profesinya di masyarakat. Akibatnya gereja tidak kritis terhadap dosa –dosa social yang di lakuakan oleh pemerintah yang di sengsarakan banyak orang khususnya kelompok minoritas dan disisikan atas nama pembangunan nasional.
sebagai seorang pemimpin gereja harus belajar dalam apa saja kebiijakan dan ideologinya harus di terimah karena pemerintah itu lembaga yang dipilih Allah untuk menjamin kesehatan dan perlindungan masyarakat. Amanat agung Yesus Kristus sangat jelas “ pergilah dan jadikanlah segalah bangsa muridku baptislah, dan ajarlah merekauntuk melakukan apa yang aku ajarkan kepada mu (matius 28:18-19) mandate selanjutnya ialah “ gembalakanlah domba-dombaku ,gembalakaanlan domba-dombaku ( yohanes 21:15-19) terutama gembala/ pendeta harus menyelidiki firman Tuhan dari perjjanjian lama dan perjanjian baru bahwa mandat Tuhan Yesus untuk menangkap, membunuh,menculik, memperkosa,mengadili, menghilangkan,memenjarakan, menyiksa umat Tuhan dengan stigma sebagai anggota OPM,GPK, GPL, dan melakukan Makar ,separatis di bumi papua barat ini telah dan ters menghancurkan martabat orang Papua hak asasi orang papuam karakter dan kepribadian orang papua lalu gereja ada di mana ? pimpinan gereja harus memahami bahwa yesus kritus relah mati di kayu salip karena kepentingan manusia,Mahatma Gandhi di India berbicara untuk kepentingan manusia,Marthin Luther King Jr di Amerika serikat berbicara untuk kepentingan manusia, Nelson Mandela di Afrika selatan berbicara untuk kepentingan umat manusia Uskup Belo di timor leste berbicara untuk kepentingan umat manusia , Ndumma Socratez Sofyan Yoman MA,Dr Beny Giay P.hd dan teman-teman sementara bersuara di tanah Papua barat Juga untuk kepentingan umat manusia lalu pimpinan gereja yang lain di Papua ada di mana ? dan bersuara untuk siapa ? apakah penguasa atau di kuasa ? di tanah Papua barat ini.

MEMAHAMI KONFLIK

PENGANTAR
Konflik adalah suatu keniscayaan sejarah, jangankan antar manusia antar lidah dan gigi sajah,yang posisi dan fungsinyah sudah sangat jelas,tetapi roh masih kerap dijumpai kasus lidah dan tergigit gigi.
Karena konflik hanya merupakan fakta kehidupan maka sesunggunya konflik tidak terkait dengan persoalan baik degan buruk, dan yang penting adalah bagaimana kita mengelolah konflik tanpa pertentangan opini, tdak tidak akan ada dorongan menuju perubahan yang tidak ada kemajuan.
PRESEPSI DAN KONFLIK
Orang memmiliki pesektif yang berbeda-beda mengenai kehidupan dan berbagai  permasalahannya, hal ini di sebabkan karena adanya perbedaan dalam berbagai hal yang melatarbelakanginya, yaitu: sejarah dan karakter masing-masing orang,jenis kelamin,pandangan hidup yang khas,
KONFLIK DAN KEKERASAN
Secara konseptual konflik dibedakan dengan kekerasan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih,yang memiliki atau mereka menganggapmemiliki tujuan yang berentangan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, kata-kata dan sikap struktur atau sisten yang menyebabkankerusakan fisik,psikis,lingkungan dan menutup keungkinan orang untuk mengembangkan potensinya.
FAKTOR PENYEBAB KONFLIK
Beberapa faKtor yang menyebabkan terjadinya konflik itu dibedakan dalam beberapa yenis yaitu:
*       Pemicu, peristiwa yang  memicu sebuah konflik namun tidak di perlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri.
*       Inti/ penyebab dasar, erletak pada akar konlik yang perlu di ganti supaya padaakhirnya mengtasi konflik.
*       Mobilisasi, masalah-masalah yang memobilisasi kelompok unuk melakukan tindakan kekerasan.
*       Memperburuk, faktor yang memberkan tambahan kepada  faktor mobilisasi  dan factor inti/penyebab dasar, namun tidak cukup untuk dapat menimbulka konflik itu sendiri.
TEORI PENYEBAB KONFLIK
Kita perlu mempertimbangkan cara unuk membahas konflik sehingga di pertimbangkan ringkasan teori-teori besar tentang penyebab konflik masing- masing menunjuk pada metode sasaran yang berbeda yaitu:
*    Hubungan komunitas, mengasumsikan bahwa konflik di sebabkan oleh polarisasi, ketidak percayaan, dan permusuhan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu komunitas
*    Negosiasi utama, mengasumsiakan bahwa konflik di sebabkan oleh posisi yang tidak tepat serta pandangan tentang pengukurannya mengenai konflik yang di adopsi oleh kelompok yang bertentangan.

Jumat, 03 Agustus 2012

Presiden Didesak Bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc

Masih maraknya pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Dewan Perwakilan Rakyat, Kejaksaan Agung dan Presiden juga didesak segera bisa menuntaskan lima kasus pelanggaran HAM berat. Kelima pelanggaran HAM meliputi kasus 65, penembak misterius (Petrus), Semanggi 1 dan 2 serta Trisakti.
"Melihat kondisi yang terjadi, hingga kini (pelanggaran HAM, red) belum juga selesai. Wajib hukumnya dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Itu desakan Komnas HAM pada Presiden," tegas Komisioner Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simalue yang ditemui di Kota Malang, Jumat (3/8/2012).
Menurut Syafruddin, DPR, Presiden dan Kejaksaan Agung dalam waktu dekat bisa membuat konsensus bersama untuk mempercepat penanganan kasus tersebut. Karena, jika dibiarkan, penanganan kasus pelanggaran HAM berat akan terus tertunda.
"Sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM, Presiden harus membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Namun, hingga kini meski DPR telah mengeluarkan rekomendasi, tapi Presiden tak segera membentuk pengadilan HAM," katanya.
Akibatnya, tambah Syafruddin, Kejaksaan Agung tak bisa menyidik kasus tersebut. "Alasannya, penyidik membutuhkan surat pemanggilan paksa dari pengadilan yang ditunjuk jika ada saksi yang mangkir," ujarnya.
Akibatnya, hasil penyelidikan Komnas HAM, kelima kasus itu terbengkalai di Kejaksaan Agung.
"Sebenarnya, hasil penyelidikan telah lama dilimpahkan ke Kejaksaan Agung," katanya.


 Sumber:http://regional.kompas.com/read/2012/08/03/16231036/Presiden.Didesak.Bentuk.Pengadilan.HAM.Ad.Hoc.

Kamis, 24 Mei 2012

Brimob Pelaku Penembakan di Paniai belum Dijatuhi Sanksi

JAYAPURA--MICOM: Sebanyak tiga anggota Brimob Polda Papua yang menjadi pelaku penembakan di pedalaman Paniai, Papua hingga saat ini belum dijatuhi sanksi. 

Kabid Humas Polda Papua AKBP Yohannes Nugroho mengakui hingga saat ini pihaknya belum menjatuhkan sanksi kepada ketiga anggota Brimob yang menjadi pelaku penembakan hingga menewaskan satu warga sipil serta mencederai empat orang lainnya. 

"Ketiga anggota Brimob itu beum dijatuhi sanksi karena masih dalam terus dilakukan penyelidikan oleh Propam (Profesi dan Pengamanan) Polda Papua," kata Yohannes di Jayapura, Kamis (24/5). 

Ia menambahkan dari hasil sementara ada beberapa versi yang berbeda, yakni kasus penembakan itu berawal dari pemukulan yang dilakukan para korban ke anggota Brimob. 

Menurut Yohannes, selain melakukan pemukulan di antara para korban ada yang berupaya merampas senjata milik anggota. 

Walaupun ada keterangan tersebut, bukan berarti pihaknya tidak akan memberikan sanksi kepada mereka. "Itu semua masih menunggu hasil penyelidikan lanjutan," katanya.     Kasus penembakan lima warga sipil itu terjadi tgl 15 Mei di kawasan penambangan rakyat kampung Nomowadide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai. 

Peristiwa itu berawal berawal dari keributan di rumah biliar milik ibu Yona ketika kelima warga sipil yang kemudian menjadi korban memaksa dan mengancam untuk menggunakan meja biliar padahal sudah digunakan orang lain. 

Akibatnya  si pemilik kemudian melaporkan insiden tersebut ke pos Brimob dan tak lama kemudian datang tiga anggota Brimob ke TKP dan meminta agar mereka tidak melakukan keributan di tempat tersebut. 

Namun tiba-tiba ada warga memukul salah satu anggota Brimob dengan menggunakan stik hingga terjatuh dan senjatanya direbut salah satu korban yakni Melianus Kagepe tetapi tidak berhasil. 

Melihat kondisi tersebut, salah satu anggota Brimob lainnya kemudian mengeluarkan tembakan hingga menggenai korban (Melianus Kagepe), dan rekan korban Lukas Kegepe kemudian berupaya menikam anggota Brimob dengan menggunakan pisau sehingga Brimob kembali menggeluarkan tembakan. 

Kelima korban itu penembakan itu masing masing Amos Kagepe yang mengalami luka tembak di kaki, Lukas Kagepe tertembak bagian perut, Alpius Kagepe luka tembak di lengan kanan dan satu korban lainnya belum diketahui identitasnya terkena tembakan di bagian dada serta korban yang tewas Melianus Kagepe tertembak di bagian pinggang. (Ant/OL-9) 

Asing Vanuatu kepala urusan membela link Bahasa Indonesia menjelang ACP

Sebagai Vanautu mempersiapkan untuk, Afrika Karibia dan Pasifik pertemuan negara dengan Uni Eropa bulan depan, Pejabat Direktur Luar Negeri telah dibenarkan negara itu meningkat berurusan dengan Indonesia.
Johnny Koanapo mengatakan Indonesia "hanya satu pasangan lain", meskipun reaksi lokal pekan lalu di Port Vila ketika demonstran rally terhadap kehadiran sebuah pesawat militer Indonesia.
"Kami pikir tidak ada gunanya dalam menciptakan musuh," katanya. "Kami ingin menjadi teman bagi semua dan musuh tidak ada."
Orang-orang Vanuatu telah lama menjadi pendukung Melanesia "saudara" di Papua Barat dan pada tahun 2010 Parlemen mengeluarkan resolusi meminta PBB untuk meninjau legalitas dari pengaturan antara Belanda dan Indonesia atas Papua Barat.
Pekan lalu, 24 demonstran ditangkap di Port Vila ketika sebuah pesawat Hercules mendarat bahasa Indonesia.
Salah satu spanduk berbunyi: "Vanuatu bagi orang Papua Barat; [Perdana Menteri Sato] Kilman untuk bahasa Indonesia pembunuh."
Wakil editor dari Vanuatu Independen Evelyn Toa mengatakan penahanan itu perhatian. Dia mengkritik pemerintah Vanuatu dalam kolom pendapatnya di surat kabar mingguan.
'Mulia penyebab'"Mereka yang ditangkap dan berdiri melawan Indonesia di terminal Internasional Bauerfield setidaknya memberi harapan bagi negeri ini yang masih memiliki beberapa orang yang bijaksana yang bersedia untuk membuat berdiri untuk tujuan mulia bahkan jika pemimpin kita tidak," katanya .
Ketika ditanya tentang konflik kepentingan yang terlibat dalam mendukung sebuah negara yang telah dituduh pelanggaran di Papua Barat, Koanapo mengatakan bahwa penting untuk terlibat tetap.
"Pendekatan-satunya adalah dengan dialog, dan Anda tidak bisa menutup pintu dan berpura-pura bahwa Anda berada dalam dialog," katanya.
"Tidak ada yang bisa lari dari fakta sejarah bahwa Vanuatu, antara lain sangat sedikit di Pasifik, telah mendorong ide dekolonisasi Papua Barat," katanya.
"Dan memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia tidak merusak itu."
Dia mengatakan Vanuatu telah meminta bantuan dari sejumlah negara untuk menyediakan untuk pertemuan ACP bulan depan dan Indonesia serta Luksemburg telah menanggapi.
Pemerintah Indonesia memberikan pelatihan bagi petugas polisi di menjelang konferensi, dan mengisi celah yang ditinggalkan oleh Australia diusir petugas Polisi Federal.
Polisi dideportasiPerdana Menteri Sato Kilman dideportasi petugas dan keluarga mereka setelah ia tidak dihormati di bandara Sydney saat transit bulan lalu.
Koanapo mengatakan "bersejarah" Pertemuan itu adalah kesempatan untuk menampilkan Vanuatu dan Pasifik.
"Banyak orang-orang ini belum pernah ke Pasifik, sehingga akan menjadi penting bagi kami secara nasional, tetapi juga secara internasional seperti yang kita menempatkan masalah Pasifik dalam agenda global."
Ini akan menjadi pertemuan internasional terbesar di Vanuatu di 32 tahun sejarahnya, dan editor dari Vanuatu Independen Tony Wilson mengatakan itu adalah tanda bahwa Pasifik telah datang usia.
"The Pacific adalah menemukan bahwa ia dapat tumbuh bersama sebagai sebuah wilayah, yang merupakan sesuatu yang cukup baru," katanya.
"Misalnya Kelompok Spearhead Melanesia sangat kuat, dan berkembang dalam status. Anda bertanya orang di sini di jalan dan mereka akan tahu tentang MSG. "
Pertemuan ini akan memerlukan logistik dan pendanaan yang Vanuatu belum terlihat sebelumnya, tetapi Koanapo mengatakan hal ini akan memberikan dorongan bagi negara untuk mengadakan konferensi masa depan.
Kapasitas stimulus"Tanpa konferensi ini kita tidak akan mampu untuk membangun pusat konferensi kami yang baru, jadi stimulus yang dipicu kemampuan kita untuk pertemuan ini.
"Ekonomi-bijaksana, kita berharap ini juga akan menjadi kesempatan untuk membantu meningkatkan jalan dan infrastruktur dasar."
"Ini adalah momen bersejarah dalam banyak cara."
Alex Perrottet memberikan kontribusi editor Pasifik Media Watch dan telah di Vanuatu selama seminggu terakhir untuk proyek penelitian.
Vanuatu polisi penangkapan demonstra

Kepulauan Solomon untuk Papua Barat mendesak para pemimpin kelompok MSG untuk bertindak


Kepulauan Solomon untuk Papua Barat, sebuah kelompok advokasi gratis panggilan gerakan Papua Barat pada pemimpin Melanesia untuk berbicara terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran orang Papua Barat oleh pasukan pendudukan Indonesia.
Dalam pernyataannya, kelompok itu mengatakan posisi yang diambil oleh para pemimpin Melanesia tentang berkesinambungan pelanggaran HAM yang diderita oleh Melanesia Papua Barat merupakan langkah penting untuk penentuan Papua Barat pribumi untuk referendum."Pada token Kepulauan Solomon untuk Papua Barat bergabung dengan pro-barat pendukung Papua mengutuk tindakan dari pemerintah Vanuatu untuk menandatangani pakta tanda militer dengan Indonesia.
"Minggu lalu sekitar dua Pro-Barat lusin pendukung Papua ditangkap di Vanuatu untuk memprotes hubungan militer pemerintah Vanuatu mengembangkan dengan Indonesia.
"Hal ini menjadi suatu pertahanan umum oleh para pemimpin pemerintah Melanesia bahwa pemerintah dan orang-orang selalu memiliki pandangan yang berbeda dan pendapat tentang isu-isu, baik itu domestik atau diplomatik tapi satu hal para pemimpin kita gagal pahami adalah bahwa bahkan diplomasi harus memiliki wajah manusia dan tidak hanya pada basis buku cek diplomasi mutlak. "
Kelompok itu mengatakan negara-negara Melanesia Kepulauan Solomon, Vanuatu, Papua Nugini, Fiji dan New Kaledonia perlu bersatu dan mengutuk penderitaan yang dihadapi oleh orang Papua Barat di tangan pasukan Indonesia.
"Dukungan dari negara-negara Melanesia sangat penting dan langkah perusahaan pemimpin kita mengambil melawan pelanggaran HAM di Papua Barat merupakan langkah maju yang penting dalam membantu penduduk asli Papua Barat semakin dekat dengan tujuan akhir penentuan nasib sendiri.
"Manusia pelanggaran hak asasi di Papua Barat tidak dapat dihentikan kecuali kita bersatu melawan itu untuk memilikinya berhenti.
"Melanesia solidaritas adalah platform penting bahwa orang Papua Barat dapat mengandalkan untuk mewujudkan aspirasi mereka."
Kelompok kata "dalam terang kekerasan yang sedang berlangsung yang diderita oleh saudara-saudara Melanesia Papua Barat, Kepulauan Solomon banding Papua Barat kepada pemerintah Kepulauan Solomon untuk mengambil peran proaktif dalam membahas masalah yang berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat di yang ke-43 Forum Kepulauan Pasifik pertemuan pada bulan Agustus ".
"Kami juga menghimbau kepada para pemimpin MSG untuk memberikan status pengamat khusus untuk Papua Barat dalam organisasi regional seperti MSG dan Forum Kepulauan Pasifik.
Kelompok Kepulauan Solomon untuk Papua Barat menekankan bahwa Indonesia harus menanggalkan statusnya sebagai pengamat dengan MSG.
"Kami menyerukan kepada anggota parlemen kita untuk bergabung dengan kelompok tekanan internasional seperti Parlemen Internasional untuk Papua Barat [IPWA] bersama dengan anggota parlemen lain dari Australia, Vanuatu, Selandia Baru dan Papua Nugini untuk menangani tantangan yang dihadapi masyarakat Melanesia Papua Barat."
Kelompok itu mengatakan anggota parlemen lokal tertentu telah menegaskan kepada mereka dukungan mereka terhadap gerakan kemerdekaan Papua Barat.
"Karena itu kami berencana untuk mengadakan dialog dengan para pemimpin kita pada masalah yang berhubungan dengan nasib orang Papua Barat."
Dengan EDNAL Palmer
sumber :http://www.solomonstarnews.com/news/national/14734-solomon-islands-for-west-papua-group-urges-msg-leaders-to-act

Dewan minta polisi ungkap pelaku penembakan Mulia

yomanak

Rabu, 23 Mei 2012

Penduduk Asli Papua Bukan Makar, Separatis dan OPM


“Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak,  mereka akan bergerak untuk memberontak. (hal. 37). …Penghancuran kebanggaan pribumi dipandang sebagai suatu kebutuhan; karenanya dilakukan pencemaran watak pribumi” (hal. 44), ( S.H. Alatas).

Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Setelah saya membaca bukunya Syed Hussein Alatas yang berjudul: “Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial” (1988),  terdiri dari 12 Bab dan 282 halaman, saya mendapat gambaran yang jelas tentang watak, perilaku, ideologi, siasat, strategi dan  pendekatan yang dilakukan oleh kaum penjajah (kolonial) untuk menghancurkan  penduduk yang diduduki dan dijajah. Menurut saya, kutipan di atas adalah tanggapan jitu dan brilian dari Alatas  tentang ideologi kaum penjajah. Alatas dengan cerdas dan tepat menggambarkan pencintraan yang dibangun oleh para penjajah dengan ideologi penjajahan dan ideologi  kapitalisme   tentang penduduk pribumi malas melalui pernyataan-pernyataan dan lebih dahsyat adalah melalui buku-buku yang ditulis oleh kaum penindas.  Contoh-contoh  penulis penjajah yang dikemukakan Alatas adalah seperti: J.S. Furnivall yang menerbitkan bukunya: “Netherland India” yang menjelaskan dalam dua belas halaman tentang perjuangan Indonesia tapi  satu pun tidak menyebutkan tokoh-tokoh besar yang dimiliki Indonesia seperti: Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Alimin atau Muso. Furnivall dalam bukunya yang berjudul: “ Colonial Policy and Practice”  lebih merendahkan nasionalisme Indonesia. Seorang pelancong Italia dan doktor ilmu  hukum, John Francis Gamelli Careri  pada tanggal 27 Juni 1695 berkunjung ke Malaka dan menulis “Malaka kota yang mahal, orang-orang Melayu (Minangkabau) yang Muslim itu adalah para pencuri yang sangat ulung. Mereka adalah musuh Belanda yang garang, yang menolak menjalin hubungan dengan siapa saja,mereka adalah penduduk liar yang hidup seperti binatang…” (hal. 51). Sedangkan  seorang pengamat dari Belanda Fancois Valentyn pada tahun 1726 melaporkan dan sedikit  manusiawi dan bermartabat: “ orang Melayu itu lincah, jenaka, kesombongan diri yang besar, penduduk yang paling cerdik, paling berbakat, dan paling sopan santun dari dunia Timur, namun tidak banyak yang dipercaya” (hal. 52).
Sedangkan seorang Kapten Portugis yang dapat dipercaya, de Vellez Guirreiro, dalam laporannya tentang  Johore dengan sangat kasar menyatakan: “ orang Melayu adalah orang yang biadab.” (hal. 52). Sementara  Sir Thomas Stamford Raffles, “orang Melayu tidak memperoleh tingkat pegembangan intelektual yang tinggi. Karakter bangsa  Melayu yang relatif primitif dan tak beradab, tidak didapat dari risalah resmi yang terdengar, tetapi dari berbagai gagasan sederhana; yang diutarakan secara sederhana, bahkan dapat menggambarkan karakter mereka baik daripada laporan keilmuan atau karangan halus” (hal. 51). Raffless juga memberikan penjelaskan: “…kebiasaan mereka (orang Melayu) adalah sopan, dan jika mereka harus dikatakan orang biadab, tentu saja mereka adalah yang paling beradab diantara seluruh kaum biadab; namun sebenarnya mereka sangat jauh dari menjadi orang biadab…” (hal.57).
Selanjutnya John Crawfurd, Residen Inggris di Istana Sultan Jawa memberikan penjelaskan tentang penduduk Melayu dan Indonesia. “ Kelemahan intelektual seperti itu adalah akibat dari keadaan masyarakat dan iklimnya, yang selalu kita anggap bahwa kekuatan terbesar akal pribumi akan sukar sekali untuk dibandingkan dalam hal kekuatan dan sumber daya dengan patokan lumrah tentang pemahaman manusia dalam tingkat peradaban tertinggi, meskipun mereka mungkin akan lebih cocok untuk membedakannya dalam keadaan yang ganjil di mana mereka terpanggil untuk bertindak.” (hal. 58).
Sementara  Frank Stettenham adalah  Resien Inggris dan dia menulis dengan penilaian yang  manusiawi, beradab dan bermoral.” Orang Melayu berkulit sawo matang, agak pendek, gempal dan kuat, berdaya tahan tinggi. Wajahnya, biasanya jujur dan menyenangkan; ia tersenyum kepada orang lain yang menyapanya sebagai orang yang sederajat. Rambutnya hitam, lebat dan lurus. Hidungnya cenderung agak datar dan lebar pada cupingnya, mulutnya besar; biji matanya hitam pekat dan cerah, bagian putihnya sedikit kebiruan; tulang pipinya biasanya agak menonjol, dagunya persegi, dan giginya semasa sangat putih. Ia diciptakan dengan baik dan bersih, berdiri kuat di atas kakinya, tangkas menggunakan senjata, terampil membuat jala, menggenjot pedal, dan menguasai perahu; biasanya ia perenang dan penyelam yang ahli. Keberaniannya yang baik merata hampir pada semua laki-laki, dan tidak ada sikap budak di antara mereka, hal yang tidak biasa di Timur.  Dipihak lain ia cenderung bersikap angkuh, khususnya terhadap orang asing.” (hal. 60). Hemat saya, Frank adalah salah satu orang Eropa yang menilai dan menulis tentang orang Melayu, Indonesia dengan pendekatan nurani kemanusiaan.
Dari beberapa  tulisan dari penulis dunia Barat yang berwatak penindas dan penjajah yang telah dikutip tadi, kita mendapat gambaran tentang perilaku para penjajah terhadap penduduk yang diduduki dan dijajah. Struktur ideologi dan sistem penjajahan yang dibangun dengan pencitraan terhadap penduduk asli yang sedang ditindas seperti  pengalaman penjajahan yang dialami Indonesia dari Belanda menjadi jelas.  Sekarang ini,  saya tempatkan dalam konteks Papua-Indonesia.  Betapa terkejutnya kita semua, karena sekarang di era peradaban manusia semakin tinggi   ini  penduduk Asli Papua  benar-benar diduduki dan dijajah oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menghancurkan penduduk Asli Papua dengan berbagai mitos dan stigma dengan seenaknya sesuai dengan selera  penjajah. Contoh mitos dan stigma: “Orang  Asli Papua adalah Gerakan Pengacau Liar (GPK); Gerakan Pengacau Keamanan (GPK); Primitif, kanibal, terbelakang, termiskin, terbodoh, terasing, belum bisa, belum mampu, tukang mabuk (tapi siapa yang membawa masuk minuman alcohol? Tujuan dan misi apa?), Jangan melawan Pemerintah karena Pemerintah wakil Allah (walaupun yang disebut wakil Allah itu selalu membantai umat Tuhan di Tanah Papua seperti hewan atas nama NKRI, pembangunan dan keamanan nasional);  orang Asli Papua adalah melakukan Makar, anggota separatis dan  anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Mitos lain yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia adalah kurangnya perhatian dalam kesejahteraan rakyat Papua. Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul:  Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya dikasih jadi mereka menuntut dan meminta apa lagi”.  Orang yang sama pada acara di TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan”.   Pemahaman yang sama disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011).  Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi, pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.” (Baca: Opini saya: Kesejahteraan Bukan Akar Masalah Papua, TabloitJubi dan Pasific Post, 15 November 2012).
Semua mitos dan stigma dari Penjajah Indonesia ini, penduduk Asli Papua menerima secara utuh tanpa dikritisi dan disaring. Karena  sejak awal,  kesadaran, nilai-nilai budaya, sejarah, ideologi, pandangan hidup,  penduduk asli Papua sudah dilumpuhkan dan dimatikan oleh Penjajah Indonesia selama hampir 41 tahun dari 1961-sekarang (2012)  dengan pendekatan kekerasan militer dan berbagai bentuk undang-undang, Keputusan Presiden (Kepres), Instruksi Presiden (Inpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) dan pernyataan-pernyataan palsu yang mengadung kejahatan di berbagai media massa.  Pemerintah Indonesia bersama Perguruan Tinggi, akademisi, peneliti,  kaum pengusaha, Pers, Gereja, Missionaris Asing, Partai Politik, Sekolah, buku-buku, semuanya digunakan  untuk mengembangkan ideologi penjajah dan menyebarkan terus-menerus dengan pencitraan buruk terhadap penduduk asli Papua. Bahkan Pemerintah Indonesia berhasil secara gemilang memaksakan orang-orang Papua Asli sendiri untuk menerima sistem nilai dan ideologi  penjajahan Indonesia (Melayu) dengan menghancurkan nilai-nilai budaya penduduk Asli Papua. Pengetahuan yang ditanamkan, metode dan buku-buku, semuanya berasal dari luar Papua, Jawa. Inilah jebolnya bendungan kebudayaan  penduduk pribumi Papua.   Ada pemaksaan ideologi penjajah yang sangat merusak dan menghancurkan  harapan hidup pribumi. Contoh:  “Penduduk Pribumi Papua  dipaksa menerima ideologi Penjajah seperti  NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika” yang tidak pernah ada dalam hidup leluhur dan nenek moyang Penduduk Asli Papua. 
Dalam buku saya berjudul: “Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah Dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” (2008) yang dilarang Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung,  telah saya gambarkan Penjajahan dan Pembunuhan Struktural yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam bab 3 pada halaman 61-118.  ”Penindasan Ideologis atau Sandiwara Dalam Ideologis, Bersandiwara Dalam Waktu, Penjajahan Dengan Stigmatisasi/Labelisasi, Pembunuhan Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua, Penjajahan Dalam Bentuk Polarisasi Atau Adu-Domba, Orang Asli Papua diadili dalam Sandiawara Pengadilan Indonesia, Pemiskinan dan Ketergantungan Struktural, Referendum No, NKRI Yes, NKRI Harga Mati, Penjajahan Dalam Bentuk Pernyataan-Pernyataan, Bersandiwara Dengan Kunjungan-Kunjungan Pejabat dari Jakarta, Pembunuh disambut Dengan Tarian Adat Papua…..Penjajahan Melalui Rekayasa OPM” (Yoman: 2008). 
Sementara cendikiawan,teolog, intelektual dan ilmuwan yang dimiliki Papua di era ini, Dr. Neles Tebay, dengan  cerdas  memberikan gambaran tentang  mitos Pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah Papua ini dalam kata pengantar buku saya yang berjudul: “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (2010). “ Pemerintah Indonesia sudah biasa merangkum segala permasalahan di Papua dalam “tiga K” (Kemiskinan, Kebodohan, dan Keterbelakangan). Sudah lama Pemerintah memiliki pandangan ini. Pandangan ini diungkapkan secara eksplisit dalam berbagai pidato oleh para pejabat Indonesia dan pernyataan-pernyataan mereka di media massa. Pernyataan bahwa “masalah yang dihadapi oleh Papua adalah kemiskinan, kebodohan,dan keterbelakangan”, selalu diulangi oleh para pejabat dalam berbagai kesempatan. Pernyataan ini kemudian terekam dalam ingatan banyak orang, termasuk pejabat orang Papua,putra daerah di Papua”………..” Penyataan “tiga K” yang diulangi terus-menerus secara tidak langsung juga mempengaruhi pandangan orang luar terhadap orang Papua. Akibat pengulangan atas pernyataan “Tiga K” itu, maka orang luar memandang orang Papua sebagai orang miskin, bodoh dan terbelakang….” (Yoman: 2010).   
Jadi, kesimpulan dari opini ini ialah  Pemerintah Indonesia adalah benar-benar  penjajah berwatak kejam dan kultur kekerasan militer yang sedang menduduki, menjajah, menindas dan memusnahan penduduk pribumi Papua dengan ideologi kolonialnya seperti yang telah dijelaskan tadi. Maka benarlah apa yang dikatakan Forkorus Yaboisembut, Ketua Umum Dewan Adat Papua : “ Saya pikir persidangan ini lucu, masak yang punya tanah diadili oleh orang lain sebagai tamu di tanah ini. Papua adalah Negara kami sendiri dan saya berharap melakukan apa saja untuk menegakkan hukum dan kedaulatan Negara saya sendiri” (Cenderawasih Pos, Rabu, 29 Februari 2012, hal. 7). Seperti yang diakui oleh  Mako Tabuni, Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB)  kepada wartawan: “Kami Tak Menuntut Keadilan dalam Hukum NKRI” (Bintang Papua, 05 Mei 2012).
Dan juga ditegaskan  Marthinus Wandamani, pada saat mengibarkan 400 Bendera Bintang dan menyampaikan pidato politik  pada saat demo tanggal 1 Mei 2012 menentang Aneksasi Papua ke dalam Indonesia menyatakan: “Sudah saatnya dunia tahu tentang kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia di atas tanah ini dan hal-hal yang tidak manusiawi dilakukan pihak Indonesia terhadap rakyat Papua antara lain: pelecahan, penculikan, pembunuhan terhadap rakyat Papua.” Selanjutnya Marthinus menyatakan: “Pemerintah Indonesia harus tahu walaupun atributnya ditahan oleh pihak keamanan, tetapi bendera yang ada di hati kami, anak-anak bangsa Papua tidak pernah hilang sampai kapanpun” ( Serui, Bintang Papua, 02 Mei 2012). Memang benar, para penjajah tidak pernah mengakui dan menghargai keunggulan dan kehebatan yang dimiliki Penduduk Pribumi yang dijajah. Jadi, saya mau sampaikan kepada Penjajah Indonesia yang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua ini bahwa Penduduk Asli Papua Pemilik Negeri dan Ahli Waris Tanah ini bukan Separatis, Makar dan OPM.  Sudah saatnya Pemerintah Indonesia harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan atas Tanah Papua dan Penduduk Asli Papua sesuai dengan Mukadimah UUD 1945: “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan  dan perikeadilan.”  Walaupun, Pemerintah Indonesia membangunan kekuatan dengan perlengkapan senjata canggih  dan pemekaran banyak kabupaten dan provinsi yang liar di Papua untuk mempertahankan Papua dalam koloni  Indonesia, tetapi nubuatan ini cepat dan lambat  pasti terwujud.  ”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat (termasuk Otsus yang telah gagal dan UP4B yang palsu)   tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Akhirnya,saya hormat kepada S.H.Alatas yang menulis buku: “Mitos Pribumi Malas.”
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.


http://bintangpapua.com/opini/22980-penduduk-asli-papua-bukan-makar-separatis-dan-opm

Mahasiswa Papua Desak Polri Usut Kasus Pembunuhan di Papua

JAKARTA--MICOM: Sejumlah mahasiswa Papua di Jakarta dan Bogor mendesak Polri mengusut kasus pembunuhan di Papua paad 19 Mei lalu. Hal tersebut mereka sampaikan dalam aksi diam di Mabes Polri. 
Puluhan mahasiswa tersebut menutup mulutnya menggunakan kain hitam yang diikat melingkar melalui kepala. 
Aksi tersebut merupakan bentuk duka dari mahasiswa Papua untuk warga Papua yang menjadi korban pembunuhan orang tak dikenal. Selama ini, Polri dinilai gagal melakukan pengungkapan di pulau paling timur Indonesia itu. 
Koordinator aksi tersebut, Martin Goo, mencontohkan kejadian pada 19 Mei 2012 lalu. Lima orang warga sipil terkena tembakan di sebuah wilayah di Papua, seorang di antaranya meninggal di tempat. 
"Polisi sebagai instansi negara semestinya melindungi warganya," ujar Martin dalam orasinya di depan Gedung Badan Pemeliharaan dan Keamanan, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (22/5). 
Bahkan, lanjutnya, polisi sering kali melakukan intimidasi terhadap warga dan pendeta di Papua. "Warga tak berdosa juga sering dikambunghitamkan," lanjutnya. Oleh karena itu, mahasiswa menuntut persamaan hak dalam penegakan hukum di Indonesia.(Bob/X-13)

Jumat, 18 Mei 2012

Beberapa Bandara di Papua Dijaga Paskhas AU

Liputan6.com, Papua: Sejumlah anggota Pasukan Khas TNI Angkatan Udara berjaga-jaga di Bandar Udara Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Kamis (17/5). Beberapa pasukan khas AU terlihat mengatur alur pesawat yang masuk dan keluar bandara.
Pengamanan juga dilakukan di sejumlah bandara lain di Papua. Hal ini dilakukan setelah insiden penembakan pesawat Trigana oleh Organisasi Papua Merdeka di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua, awal April lalu.
Menurut Komandan Regu Paskhas AU di Kabupaten Puncak, Letnan Satu Akni Vitalis, penempatan para personil paskas ini merupakan instruksi presiden untuk mengamankan bandara perintis di Papua dari aksi OPM.

Insiden penembakan itu menewaskan seorang penumpang dan lima lainnya terluka termasuk pilot dan co pilot. Sejak penembakan itu, jumlah perusahaan penerbangan menghentikan sementara penerbangan ke beberapa daerah di pegunungan Papua karena dianggap rawan. (APY/YUS)

Polda Kirim Tim Selidiki Penembakan di Paniai

INILAH.COM, Jayapura - Kepolisian Daerah (Polda) Papua mengirim tim ke lokasi penambangan rakyat kampung Nomowadide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, untuk menyelidiki kasus penembakan yang dilakukan anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda pada Selasa malam (15/5) sekira pukul 20.00 WIT.

Direktur Reserse Umum Polda Papua, Kombes Pol Wachyono, Kamis (17/5/2012) mengemukakan bahwa tim yang berjumlah lima orang telah berangkat ke Nabire guna menuju lokasi penembakan yang merupakan kawasan penambangan rakyat.

Tim yang berangkat itu terdiri atas Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Papua bersama satu anggotanya, Kepala Satuan (Kasat) Brimob bersama satu orang anggotanya, dan anggota Reserse Kriminal (Reskrim) Polda Papua yang diharapkan dapat menyelidiki penyebab terjadinya kasus penembakan hingga menewaskan seorang warga sipil, Melianus Kagepe.

Dia mengatakan, tim tersebut berangkat dari dari Jayapura menuju Nabire baru ke lokasi penambangan, karena untuk mencapai tempat kejadian perkara (TKP) tidak ada jalan darat dari Enarotali, ibu kota Paniai, sehingga harus melalui Nabire.

"Mudah-mudahan tim dapat segera tiba di lokasi, sehingga dapat menyelidiki kasus tersebut," ujarnya.

Dari laporan sementara, menurut dia, insiden tersebut berawal dari keributan di rumah biliar milik ibu Yona, saat ada lima warga sipil memaksa dan mengancam untuk menggunakan meja biliar yang sudah digunakan orang lain.

Akibatnya, Yona melaporkan insiden tersebut ke Pos Brimob, dan tak lama kemudian datang tiga anggota Brimob ke TKP yang meminta kelima orang itu tidak melakukan keributan di tempat umum.

Tiba-tiba ada warga memukul salah seorang personel Brimob menggunakan tongkat biliar, sehingga polisi itu terjatuh, dan senjatanya direbut Melianus Kagepe. Polisi berhasil mengamankan senjatanya.

Melihat kondisi tersebut, salah seorang personel Brimob lainnya meletupkan tembakan hingga menggenai Melianus Kagepe. Saat itu pula Lukas Kegepe berupaya menikam anggota Brimob menggunakan pisau, sehingga ia pun ditembak.

Ke lima korban penembakan itu adalah Amos Kagepe terluka di kaki, Lukas Kagepe tertembak di perut, Alpius Kagepe tertembak di lengan kanan, dan satu korban lainnya belum diketahui identitasnya tertembak di dada. Korban yang tewas, Melianus Kagepe, tertembak di pinggang. [ant]

Kritis, Lima Warga Ditembak Oknum Brimob


PANIAI-Penembakan oknum pasukan Brimob terhadap warga sipil kembali terjadi di Papua. Kali ini di wilayah pendulangan emas, Desa Nomowodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Selasa (15/5) pukul 20.00 WIT kemarin. Lima warga tertembak dan dua di antaranya dalam kondisi kritis.

Dari informasi yang berhasil dihimpun, penembakan berawal ketika pasukan Brimob mendatangi sebuah tempat permainan billiard di lokasi tambang emas tersebut. Lalu terlibat cekcok dengan kelima warga, yang berujung dengan aksi penembakan.

Kapolres Paniai, AKBP Anton Diance saat dikonfirmasi, Rabu 16 Mei membenarkan adanya penembakan itu. "Ada lima warga yang ditembak, karena membuat keonaran dan berupaya merebut senjata milik Brimob," kata dia.

Menurut Kapolres, kejadian bermula ketika 5 warga mendatangi tempat permainan billiard milik Yona. Saat itu meja penuh dipakai, tapi kelima warga itu malah memaksa main. "Mereka memaksa sambil marah-marah dan mengancam pemilik billiard,"ucapnya.

Lantas, karena melihat sikap kelima orang itu, bisa mengundang keonaran, pemilik billiard mendatangi Pos Brimob untuk meminta tolong mereka. Dan tiga anggota Brimob kemudian menuju tempat billiard. "Tiga anggota masing-masing  atas nama Briptu Ferianto Pala, Bripda Agus dan Bripda Edi  mendatangi TKP menindaklanjuti laporan pemilik billiard,"jelasnya.

Ketiga anggota itu lalu menegur kelima warga agar tidak membuat keributan, sambil mengarahkan masyarakat yang berkerumun untuk membubarkan diri. "Namun, di saat bersamaan  Briptu Ferianto Pala yang saat itu menghadap ke arah kerumunan massa, tiba-tiba dipukul dengan menggunakan tongkat. Karena dipukul dengan keras  anggota tersebut jatuh, di saat bersamaan kelima warga berupaya merebut senjatanya,"ucapnya.
Warga yang berupaya merampas senjata anggota bernama  Melianus Kegepe. Melihat kondisi itu maka Bripda Edy mengeluarkan tembakan hingga mengenai pinggang korban. "Tapi, Sesaat setelah bunyi letusan itu, warga lain atas nama Lukas  mengejar Bripda Edy sambil memegang pisau dan hendak  menikam, merasa terdesak Bripda Edy mengeluarkan letusan dan mengenai perut korban,"papar Kapolres.viv

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=1cb66e0a407b46ee08f856774b2583d2&jenis=c4ca4238a0b923820dcc509a6f75849b

Kebebasan beragama di Indonesia harus disikapi


JAKARTA - Lembaga independen pemantau hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW), mengatakan respon Indonesia dalam menjawab sorotan anggota-anggota Dewan HAM PBB seputar kebebasan berkeyakinan dan berpendapat masih normatif, tanpa menyentuh masalah di akar rumput.
Wakil Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengungkapkan meskipun Indonesia telah membuat langkah besar untuk mengonsolidasikan hak-hak sipil yang kuat dalam pemerintahannya, pemerintahannya masih enggan memastikan kepatuhan aparat keamanannya terhadap prinsip HAM internasional, dan menghukum mereka yang bertanggungjawab dalam kekerasan atas nama agama.


Lantaran itulah dia meminta negara-negara anggota Dewan HAM PBB untuk memberi dorongan lebih kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan konkret, pada Tinjauan Periodik Universal (UPR) di sidang empat tahunan-nya, 23 Mei nanti. "Berbagai negara harus mengajukan pertanyaan serius kepada Indonesia, mengapa selama empat tahun terakhir kekerasan dan diskriminasi minoritas agama meningkat, dan mengapa Indonesia terus mengkriminalisasi dan memenjarakan aktivis damai," kata Pearson, di Jakarta.

Konsultan HRW di Indonesia, Andreas Harsono mengatakan mekanisme UPR ini merupakan program dewan HAM PBB untuk memantau pelaksanaan perlindungan HAM di negara-negara anggota PBB. Masing-masing negara anggota yang siap akan mengungkap penilaiannya kepada negara yang disorot, Indonesia misalnya. Dari sidang ini, dewan akan menerbitkan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan.

Dalam laporan sidang terakhirnya, yakni UPR 2008, pemerintah Indonesia menjawab atas pertanyaan soal Ahmadiyah dan kekerasan atas nama agama dengan gaya lama. Bahwa, kebebasan beragama dan praktek berkeyakinan sudah dijamin dalam konstitusi Indonesia.

Tak hanya Ahmadiyah yang kerap mendapat serangan berujung bentrok dan perusakan tempat ibadah. Kondisi terakhir, Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Tambun, Bekasi, Kamis ini, tidak bisa beribadah perayaan Hari Kebangkitan Isa Almasih. "Jemaat dihadang sekitar 600 orang massa entah dari mana," ujar kuasa hukum HKBP Filadelfia, Judianto Simanjuntak.

Karena dilarang beribadah, kata Judianto, jemaat berdialog dengan polisi. Namun dialog selama sekitar satu jam itu tak membuahkan hasil. Judianto menyatakan jemaat hanya berdoa bersama selama tiga menit sebelum akhirnya pulang. Judianto menilai peristiwa ini serupa kejadian 6 Mei 2012. Pemerintah, menurut Judianto, meminta jemaat HKBP FIladelfia mencari lokasi lain untuk beribadah. Padahal, kata Judianto, HKBP Filadelfia telah memenangkan perkara di pengadilan.

Pada bulan Desember 2009, Bupati Bekasi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dengan nomor 300/675/Kesbangponlinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009. Surat tersebut berisi tentang penghentian kegiatan pembangunan dan kegiatan ibadah di gereja HKBP Filadelfia, yang terletak di RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Namun, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung nomor 42/G/2010/PTUN-BDG tanggal 2 September 2010 serta Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta nomor 255/B/2010/PT.TUN.JKT, tanggal 30 Maret 2011 menyatakan surat keputusan tersebut batal. Sebagai konsekuensi atas putusan pengadilan, kata Judianto, segel gereja harus dicabut dan Bupati mengizinkan jemaat beribadah kembali.

Judianto mengatakan hari ini massa tak hanya menghadang, namun juga melempari jemaat HKBP Filadelfia dengan air. "Ada skenario sistematis pihak tertentu yang memainkan isu ini secara politis," ujar Judianto. Menurut Judianto, ada ibu-ibu dan anak-anak yang ikut menghadang jemaat.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=246722:kebebasan-beragama-di-indonesia-harus-disikapi&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91
(dat03/wol/media/tempo)

Senin, 14 Mei 2012

Pendekatan Militer Akan Menuai Hasil Buruk di Tanah Papua

Yan Christian Warinussy, Direktur LP3BH Manokwari, Papua Barat (Foto: Ist)
PAPUAN, Jakarta --- Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI]) adalah sebuah integrasi politik, dan bukan integrasi budaya atau sosial.

Oleh sebab itu, tekanan yang dibuat dalam konteks integrasi politik tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan yang cenderung bertujuan menghapus kebudayaan utama dari kelompok minoritas, yaitu Orang Asli Papua (OAP).
“OAP sebagai kelompok minoritas selanjutnya dipaksakan untuk menerima kebudayaan dari kelompok dominan melalui asimilasi.”

Demikian penegasan Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, dalam siaran pers yang dikirimkan ke redaksi
 suarapapua.com, Sabtu (12/5). 

Menurut Warinussy, bukti konkritnya ketika pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatan militer untuk melakukan tekanan terhadap OAP agar tidak bisa bebas menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hak asasinya yang sudah diatur di dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
 (the Universal Declaration of Human Rights).

Karena itu, apabila ada orang Indonesia lain atau ahli sejarah atau pejabat publik di daerah ini yang mengatakan bahwa Papua dan Indonesia adalah saudara atau memiliki kesamaan budaya, maka itu adalah bohong besar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, sejarah maupun hukum.
 

”Dalam sejarah perjalanan OAP yang bisa disebut sebagai sebuah bangsa, mereka tidak memiliki kesamaan tertentu dengan Indonesia, baik dari aspek historis, kesamaan simbol, perasaan subyektif yang bersama,” ujar Warinussy yang juga salah satu pengacara senior di tanah Papua.
 

Warinussy justru berharap agar para pengamat dan penjabat daerah yang tidak paham tentang persoalan Papua untuk membaca buku karya Ibaraham Peyon, salah satu dosen Antropologii di Universitas Indonesia dengan judul "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat".

Dikatakan juga, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan-pendekatan dengan hati dan komunikasi secara baik dengan pihak yang dipaksakan berintegrasi, seperti halnya OAP.
 

Menurut pengacara senior ini, karena perilaku Pemerintah Indonesia yang senantiasa suka mengedepankan pendekatan kekerasan militer dan barbarisme politik, pada gilirannya akan menuai hasil buruk akibat jatuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan sikap kuat untuk menuntut kesempatan yang adil dalam menentukan nasib sendiri berdasarkan mekanisme hukum internasional yang berlaku.

Dalam siaran pers tersebut, Warinussy juga ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa fakta hukum telah membuktikan bahwa dalam penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas (Act Of Free Choice) yang oleh Indonesia disebut sebagai Penenetuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Tanah Papua pada tahun 1969 nyata-nyata tidak menerapkan mekanisme yang resmi sesuai dengan praktek internasional dalam Perjanjian New York (New York Agreement) tanggal 15 Agustus 1962, yaitu
 one man one vote atau satu orang satu suara. 

”Pemerintah Jakarta justru merekayasa secara sistematis dan terencana penyelenggaraan Tindakan Pilihan Bebas itu dengan sistem musyawarah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, bahkan fakta yang ada membuktikan jika musyawarah tersebut telah dibarengi dengan kekerasan fisik dan intimidasi psikis yang serius bahkan ada sejumlah tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diduga melibatkan aparat TNI dan POLRI ketika itu dalam rangka memenangkan PEPERA 1969 tersebut.”

Karenanya, menurut Warinussy wajar jika OAP terus memberontak karena merasa harga dirinya dan hak asasinya sama sekali tidak dihormati oleh Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB}.
Ini karena OAP tidak pernah terlibat bahkan tidak pernah dilibatkan ketika terjadi perundingan-perundingan mengenasi status politik dan nasib mereka sebagais ebuah komunitas bangsa yang juga ada di muka bumi ini sejak purbakala. 

“Orang Papua sebagai subjek yang disengketakan dalam hal itu tidak pernah dilibatkan untuk berbicara mengenai bagaimana keinginan mereka atas dirinya sendiri,” kata Warinussy yang juga pernah bertindak sebagai pengacara Forkorus Yaboisembut Cs.
 

Perlu diingat juga, bahwa walapun PEPERA 1969 menentukan Papua menjadi bagian integral dari Republik Indonesia, tetapi itu belum final di tingkat internasional, khususnya di PBB.
Kenapa demikian, kata dia, karena di dalam Resolusi PBB Nomor 2504 yang selama ini dikatakan termasuk oleh Gubernur Papua Barat saat ini sebagai justifikasi bahwa Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai adalah bohong besar.
"Karena di dalam Resolusi tersebut tidak sedikitpun memberi penjelasan tentang Status Politik Papua Barat yang ketika itu disebut sebagai Irian Barat."

Di dalam Resolusi 2504 tersebut, PBB sama sekali tidak secara tegas mengakui dan mengesahkan Act of Free Choice atau PEPERA di Papua Barat tahun 1969.
Di dalam Resolusi tersebut,hanya disebutkan bahwa PBB mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal dan memahami dengan penghargaan atas pelaksanaan tugas Sekretaris Jenderal dan wakilnya sesuai tugas yang dipercayakan kepada mereka dan sesuai Perjanjian New York 1962.
Serta juga dicatat tentang penghargaan PBB atas misi bantuan internasional melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga PBB dan missi lainnya kepada Indonesia untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat.

RINDU SAHABATKU

Seorang sahabat, yang ku nantikan kehadirannya dalam kehidupanku pada tgl 25/06/2020  pukul 15: 30 itu, terasa hatiku berdebar bahagia, da...